19 Agustus 2025
15:00 WIB
BPK Akui Kelemahan Tata Kelola di Indonesia Sistemik
BPK akui implementasi tata kelola, risiko dan kepatuhan (GRC) Indonesia masih lemah, lantaran proses perencanaan dan penganggaran organisasi publik maupun swasta yang masih belum berbasis kinerja.
Penulis: Siti Nur Arifa
Editor: Khairul Kahfi
Wakil Ketua BPK Budi Prijono mengakui Indonesia masih memiliki kelemahan menerapkan tata kelola, manajemen risiko, dan kepatuhan (GRC) dalam organisasi secara sistemik, Jakarta, Selasa (19/8). Tangkapan layar/OJK
JAKARTA - Wakil Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Budi Prijono mengatakan, Indonesia masih memiliki kelemahan menerapkan tata kelola, manajemen risiko, dan kepatuhan (Governance, Risk Management, and Compliance/GRC) dalam organisasi.
Sayangnya, kelemahan tersebut terjadi saat praktik GRC di berbagai belahan dunia justru menunjukkan tren kuat menuju integrasi dan otomatisasi, didukung teknologi untuk meningkatkan efisiensi pengelolaan risiko serta perlindungan terhadap data dan privasi.
“BPK masih menemukan kelemahan GRC di Indonesia yang bersifat sistemik, mulai dari proses perencanaan dan penganggaran yang masih belum berbasis kinerja, hingga lemahnya pengendalian internal, kesiapsiagaan risiko, dan kepatuhan dalam pengadaan dan pengelolaan aset,” ungkapnya dalam 'Risk & Governance Summit 2025', Jakarta, Selasa (19/8).
Baca Juga: Strategi Pemerintah 2026 Kuatkan Hilirisasi Untuk Topang Investasi
Budi mengatakan, koordinasi lintas entitas juga masih menjadi kendala di berbagai Proyek Strategis Nasional. Ditambah lagi, berbagai penelitian juga mengonfirmasi adanya kelemahan GRC Indonesia yang ditandai dengan minimnya partisipasi swasta dan regulasi yang kurang adaptif.
Misalnya, rendahnya transparansi di BUMN dan proyek Kerja Sama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU), lemahnya integrasi kebijakan di wilayah rawan bencana, serta penerapan standar internasional yang masih terbatas jadi penyebab praktik GRC di Indonesia masih lemah.
“Karena itu, BPK sangat mendorong adanya suatu penguatan GRC melalui tata kelola kolaboratif yang bukan hanya memerlukan sinergi internal antarsatuan kerja, tetapi juga kementerian lintas sektor dan partisipasi aktif di tataran global,” imbuhnya.
Lebih lanjut, Budi mengungkap kepatuhan terhadap UU Perlindungan Data Pribadi (PDP) dan Standar International Organization for Standardization (ISO) masih perlu diperkuat, serta masih adanya pelanggaran etika yang turut menghambat sinergi GRC dalam penjagaan fraud di tanah air.
Sebab itu, Budi menyampaikan gagasan untuk penguatan ekosistem GRC melalui tata kelola kolaboratif, melalui kontribusi BPK dan profesi GRC yang difokuskan pada peran strategis dalam mendukung keberlanjutan pembangunan nasional, penguatan sinergi dan kolaborasi lintas pemangku kepentingan dalam meningkatkan akuntabilitas keuangan negara, serta strategi BPK dalam meningkatkan nilai tambah rekomendasi hasil pemeriksaan.
OJK Beberkan Kelemahan Indonesia
Dalam kesempatan sama, Ketua Dewan Audit sekaligus Anggota Dewan Komisioner OJK Sophia Wattimena mengingatkan, saat ini perekonomian dunia sedang menghadapi tantangan yang makin kompleks.
Menurut Global Risk Report 2025 yang diterbitkan oleh World Economic Forum (WEF), risiko global seperti disinformasi, ancaman siber, dan ketidakpastian geopolitik memberikan tekanan besar pada perekonomian dunia, termasuk sektor keuangan di Indonesia.
Baca Juga: Airlangga Optimistis Pertumbuhan Ekonomi Capai 8% Asal Ada Perbaikan Tingkat ICOR
Lebih dari itu, transformasi digital yang makin cepat membuka peluang besar untuk inovasi, tetapi juga membawa risiko baru, termasuk dalam hal keamanan siber.
“Menghadapi kompleksitas ini, penguatan ekosistem GRC bukanlah sekadar kewajiban administratif, namun sesuatu yang memang dibutuhkan,” ujar Sophia.
Namun, dirinya mengungkap sejumlah permasalahan yang saat ini masih Indonesia hadapi dalam hal tata kelola organisasi, mulai dari tindak korupsi, permasalahan investasi, hingga tantangan iklim usaha.
Sophia menyorot Indeks Persepsi Korupsi Indonesia 2024 yang berada di angka 37, menempatkan RI di peringkat ke-99 dari 180 negara.
“Skor tersebut tidak dapat dilepaskan dari angka ICOR Indonesia yang masih berada di angka 6,3, menunjukkan bahwa efisiensi investasi masih perlu dioptimalkan,” urainya.
Baca Juga: Kadin: Jika Tata Kelola Impor Benar, Ekonomi Indonesia Tumbuh 8%
Lebih lanjut, skor keseluruhan Indonesia Business Ready Index 2024 masih berada di bawah rata-rata global, Sophia menuturkan, capaian ini menunjukkan bahwa iklim usaha di Indonesia masih menghadapi berbagai hambatan struktural
Karena itu, dia kembali menegaskan, Indonesia masih menghadapi kesenjangan dalam efisiensi layanan publik, akses ke layanan keuangan dan regulasi bisnis yang menjadi fokus perbaikan RPJMN.
Kondisi tersebut yang menurutnya menjadi alasan OJK untuk meningkatkan kesadaran atas pentingnya tata Kelola untuk mengawal pembangunan, yang secara konsisten diwujudkan lewat penyelenggaraan Risk and Governance Summit, khususnya di sektor keuangan.
“RGS konsisten menjadi forum strategis lintas sektor untuk membahas tata kelola, manajemen risiko, dan kepatuhan di industri jasa keuangan. Melalui tema-tema yang relevan, RGS berperan memperkuat penerapan governansi dan integritas untuk mendukung sektor keuangan yang sehat dan berdaya saing,” jelasnya.