23 Oktober 2024
15:29 WIB
BP Jamsostek Didorong Beri Subsidi Iuran Bagi Pekerja Informal
Jumlah pekerja informal yang menjadi anggota BPJamsostek harus terus ditambah dengan berbagai insentif. Salah satunya, pihak ketiga selaku mitra dari pekerja informal bisa mensubsidi iuran
Sejumlah pengemudi ojek daring menunggu penumpang di Jalan Raya Margonda, Kota Depok, Jawa Barat, R abu (20/3/2024). Antara Foto/Yulius Satria Wijaya
JAKARTA - Anggota DPR RI Fraksi PKS Kurniasih Mufidayati mengatakan, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan (BPJamsostek) perlu mencari kerja sama dengan perusahaan mitra para pekerja informal untuk ikut menyubsidi iuran. Hal ini penting untuk menjamin para mitranya saat bekerja.
"BPJamsostek seharusnya bisa memperluas kepesertaan pekerja informal tanpa membebani ekonomi lewat iuran yang memberatkan," kata Kurniasih yang merupakan Bendahara Fraksi PKS DPR RI melalui keterangan resmi di Jakarta, Rabu (23/10).
Kurniasih berharap BPJamsostek bisa memperluas kepesertaan termasuk bagi pekerja di sektor informal. Saat ini, memang pekerja informal bisa menjadi peserta BPJamsostek untuk kategori bukan penerima upah.
Namun kata Kurniasih jumlah pekerja informal yang menjadi anggota BPJamsostek harus terus ditambah dengan berbagai insentif yang diberikan.
Salah satunya, lanjut dia, yaitu kerja sama dengan pihak ketiga selaku mitra dari pekerja informal untuk menyubsidi iuran pekerja informal yang menjadi mitranya.
"Seorang pengemudi ojek online atau kurir paket yang mayoritas berstatus mitra, perusahaan mitra bisa memberikan subsidi iuran bagi mitranya. Mitranya ini mendukung proses bisnis yang menghasilkan keuntungan bagi perusahaan. Pekerja informal juga berhak untuk mendapatkan jaminan sosial apalagi tetap ada risiko kecelakaan kerja," ujarnya.
Dia menambahkan, pekerja informal ini sudah mendominasi angkatan kerja, tapi rentan dari sisi jaminan sosial termasuk jaminan keberlangsungan dalam bekerja. Kurniasih bahkan menyebutkan saat ini sektor informal telah terbukti menjadi penyelamat di tengah maraknya PHK dan sulitnya mencari pekerjaan di sektor formal.
Menurutnya, tren pekerjaan mendatang pun akan banyak didominasi oleh sektor kerja informal. Badan Pusat Statistik (BPS) sendiri mencatat penduduk Indonesia yang bekerja pada kegiatan informal masih mendominasi angkatan kerja sebanyak 84,13 juta orang atau setara 59,17% pekerja pada Februari 2024.
Sementara itu, penduduk yang bekerja pada kegiatan formal sebanyak 58,05 juta orang atau 40,83% dari total penduduk bekerja.
Kebijakan Yang Tepat
Sebelumnya, Pemerintahan baru di bawah Presiden Prabowo Subianto dan Wapres Gibran Rakabuming Raka, diharapkan bisa menyusun kebijakan yang tepat bagi pekerja informal salah satunya di industri transportasi berbasis aplikasi (ride hailing). Direktur Eksekutif Segara Research Institute Piter Abdullah mengatakan, saat ini banyak angkatan kerja yang tidak terserap oleh sektor-sektor formal.
Tak heran, lanjutnya, banyak dari angkatan kerja yang memilih bekerja di sektor informal yang antara lain buruh harian, pekerja borongan pabrik, atau juga sebagai Gig Worker (pekerja lepas) seperti ojek online (ojol) atau taksi online.
“Saat ini ekonomi RI hanya mampu menyerap sekitar 200 ribu tenaga sektor formal setiap 1 persen pertumbuhan ekonomi. Sehingga dengan PDB di kisaran 5 persen maka sektor formal hanya mampu menyerap sekitar 1-1,2 juta tenaga kerja per tahun,” kata Piter dalam keterangannya di Jakarta, Selasa.
Pertumbuhan angkatan kerja baru setiap tahunnya berkisar antara 3- 4 juta, katanya, sementara ketersediaan lapangan kerja formal hanya mampu menyerap sekitar 1 juta tenaga kerja.
Dampak ketidakseimbangan antara pertumbuhan lapangan kerja formal dengan pertumbuhan angkatan kerja inilah yang membuat banyak angkatan kerja yang memilih pekerjaan informal, seperti ojol sebagai penopang biaya hidup.
Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Segara Research Institute bertajuk “Potret Beban Kerja Dan Penghasilan Pekerja Informal di Indonesia” disebutkan, pekerjaan informal sebagai pengemudi taksi online dan pengemudi ojol menyerap lulusan S1 tertinggi dibandingkan pekerjaan informal lainnya.
Hasil survei itu menunjukkan sebesar 26,53% dari responden pengemudi taksi online, dan 17,42% dari responden pengemudi ojol adalah lulusan sarjana. Menurut hasil survei tersebut, banyaknya angkatan kerja yang memilih bekerja sebagai pengemudi taksi online dan ojol, dikarenakan keduanya memiliki banyak kelebihan dibandingkan sektor informal lainnya.
Pertama yaitu dari sisi penghasilan yang lebih besar, dimana rata-rata penghasilan per bulan mereka masing-masing Rp7,23 juta per bulan dan Rp 5,36 juta per bulan. Sementara itu, pekerjaan informal lainnya, misalkan pengemudi konvensional, hanya mendapatkan penghasilan rata-rata Rp4,79 juta per bulan.
Kemudian dari sisi jaminan keselamatan kerja dan kesehatan kerja, rata-rata pengemudi taksi online dan ojol mendapatkan bantuan kedua fasilitasi tersebut. Sementara pekerja informal lainnya menyatakan hanya sedikit dari mereka yang mendapatkan fasilitas tersebut.
Selain itu dari sisi waktu atau jam kerja. Di mana ojol atau taksi online memiliki waktu kerja yang lebih fleksibel dalam menentukan sendiri jumlah jam kerja mereka.
Oleh karena itu, Piter berharap pemerintah memberikan dukungan kebijakan yang tepat terhadap potret pekerja informal sehingga regulasi yang ada mampu melindungi pekerja informal termasuk di sektor ride hailing.
Ketika hendak menerbitkan regulasi terhadap Gig Worker, tambahnya, pemerintah perlu memahami kondisi, tingkat kesejahteraan, dan fasilitas yang dibutuhkan para pekerja informal itu.
"Dan jangan sampai kebijakan tersebut mereduksi prinsip Gig Worker, karena akan merusak ekosistemnya," serunya.
Menurut dia, tugas pemerintah seharusnya bukan memformalkan pekerjaan informal ke formal, tapi lebih fokus pada penyerapan tenaga kerja di sektor formal.