c

Selamat

Selasa, 4 November 2025

EKONOMI

15 September 2025

20:35 WIB

Bisnis Lesu Darah, Saatnya Kibarkan Bendera Putih?

Persaingan bisnis yang ketat di tengah daya beli melemah membuat bisnis lesu. Lantas, apa solusinya?

Penulis: Fin Harini

Editor: Fin Harini

<p id="isPasted">Bisnis Lesu Darah, Saatnya Kibarkan Bendera Putih?</p>
<p id="isPasted">Bisnis Lesu Darah, Saatnya Kibarkan Bendera Putih?</p>

Ilustrasi pelaku bisnis online tengah menghadapi penurunan penjualan. Envato/Ijeab

JAKARTA – Mengisi waktu luang dengan mencari cuan, begitu awal mula Esthi Utami Dayuputri memulai bisnis sepatu. Kala itu, ibu empat anak ini tak memiliki kegiatan saat anak-anak bersekolah dan suami bekerja. Scrolling hp (handphone.red) jadi kesibukan saat pekerjaan rumah sudah selesai.

Suami pun menyarankan Esthi mencari kesibukan lain. Merespons keinginan suami, Esthi mencoba mencari-cari ide kegiatan yang mendatangkan manfaat lebih namun bisa dijalankan dari rumah.  

Satu waktu, dia melihat unggahan temannya yang berjualan sepatu murah. Merasa tertarik, Esthi menghubungi sang teman dan meminta informasi. Akhirnya Esthi menjadi reseller produk sepatu.

Tak disangka, dagangan baru Esthi laris manis. Pesanan bermunculan. Laba pun cukup tebal, per pasang Esthi bisa mendapatkan hingga Rp25.000 per pasang.

Bersemangat, ia meneruskan bisnis ini. Tak lagi menjadi reseller, ia kulakan sepatu dari Beteng Trade Center (BTC), sebuah pusat pertokoan di Solo, Jawa Tengah, yang terkenal miring harganya.

Esthi akhirnya membuka toko online di Tokopedia pada kisaran 2014, disusul Shopee dan Bukalapak beberapa waktu kemudian. Saat itu diakui persaingan masih sangat longgar. Tak heran jika permintaan terus mengalir.

“Waktu itu belum ada saingan yang banyak, paling di Solo yang buka marketplace itu baru 3-4,” tuturnya kepada Validnews beberapa waktu lalu.

Permintaan yang cukup kencang, membuat Esthi sering menyambangi BTC yang cukup jauh dari domisilinya untuk mengambil sepatu.

“Tapi, lama-lama kok capek ya, akhirnya aku ngambil produk dari grosiran. Aku stok barang sendiri,” tuturnya.

Memang ada risiko yang dihadapi. Jika stok yang dimiliki kurang diminati. Namun, langkah ini membuat Esthi menghemat waktu untuk bolak balik ke BTC. Penjualan lancar, tanggung jawab di rumah juga beres.

Kunjungan ke grosir mempertemukan Esthi dengan salesman sepatu. Pertemuan ini dianggap Esthi sebagai peluang baik. Pasalnya, ia tinggal memesan, dan barang sudah dikirim ke rumahnya. Membuatnya menghemat waktu bolak balik.

“Sales dari mana-mana ke sini semua, karena pembayarannya tunai. Kayak truk gede-gede ngantri,” imbuhnya.

Situasi bahkan berbalik dengan awal mula ia membuka usaha. Banyak orang yang menyambangi rumah Esthi untuk mengambil produk secara grosiran untuk dijual kembali di Shopee.

Pada saat puncak penjualan itu, Esthi bisa melayani ribuan paket per bulan.

Mulai Muram
Memasuki 2000, saat covid-19 merebak, bisnis sepatu yang diberi nama Blue Twinkle masih bisa tegak berdiri. Penjualan drop hanya di awal perebakan, namun stabil di bulan-bulan berikutnya.

Maklum, dengan pembatasan yang diberlakukan pemerintah, orang memilih untuk berbelanja online.

“Kira-kira sebulan lah ngedrop, setelah itu balik lagi,” katanya.

Kini kisahnya berubah. Bisnis terasa suram, terutama setengah tahun terakhir. Daya beli yang melemah membuat penjualan merosot.

“Selisih Rp1.000 pun membuat konsumen berpindah tempat,” katanya.

Ia mencontohkan, ada sepatu yang cukup diminati. Tiba-tiba, penjualan merosot tajam dari 30 produk per hari, tersisa hanya 3 produk per hari. Saat ditelusuri, ternyata ada kompetitor yang memasang harga lebih murah Rp1.000.

“Sekarang war harga, tapi bukan tinggi-tinggian. Justru siapa yang paling murah,” katanya.

Padahal, margin sudah tak segemuk awal mula membuka usaha. Esthi juga sudah menggeser produknya menjadi produk sehari-hari dengan harga murah. Hitungannya, permintaan sepatu jenis ini akan tetap ada karena diperlukan untuk bekerja dan beraktivitas.

Persaingan telah berubah menjadi lebih ketat. Tak hanya melawan reseller, persaingan juga terjadi dengan para produsen. Pasalnya, tak sedikit produsen atau perajin yang juga melayani penjualan ritel lewat e-commerce.

“Otomatis aku nggak bisa bersaing harga, karena mereka sudah melepas murah. Mereka hanya mengambil margin sedikit, sementara aku masih ada biaya packaging, gaji karyawan,” katanya.

Ia mencoba menyiasati dengan berjualan di TikTok Shop yang belakangan booming. Sayangnya, cara ini belum berhasil mendongkrak kembali penjualan. Selain itu, pembayaran yang lama membuat Esthi tak memilih TikTok Shop sebagai saluran utama penjualan.

Persaingan diperparah dengan serbuan sepatu impor dengan harga yang super miring dan langsung menghantam sepatu lokal. Karena itu, Esthi menilai, saat ini penjual harus berlomba-lomba menurunkan harga dan memangkas margin setipis mungkin.

Masalah lain yang membuat bisnis kembang kempis adalah fitur retur yang disediakan e-commerce. Hitunganya, per hari ada sekitar 30% barang yang diretur.

“Padahal pesanan sesuai, tidak ada kesalahan. Tapi mungkin tidak suka atau alasan lain, barang diretur. Itu otomatis pembayaran akan dikembalikan,” katanya.

Barang retur ini membuat kerugian yang tak sedikit. Salah satunya, ongkos kirim yang harus ditanggung penjual. Lalu, barang umumnya kembali dengan kondisi rusak sehingga tak bisa lagi dijual dengan harga penuh.

“Ya akhirnya ini jadi barang obralan, aku jual Rp5 ribu, Rp10 ribu. Ini yang harus dipikirkan oleh -commerce karena kerugiannya tidak sedikit,” sesalnya.

Kini dengan order di bawah 50 per hari, ia berfikir untuk mengurangi pegawai. Bahkan menutup penuh bisnis dan mengganti dengan usaha lain juga masuk dalam opsi yang dipertimbangkan.

Mencari Pendampingan
Aryo Dwi Haryaprudi, Chairman Yayasan Dreamdelion Indonesia, menilai terdapat beberapa penyebab yang membuat UMKM memilih menutup bisnis. Pertama, UMKM memang memiliki nafas usaha yang terbatas.

Sebagai informasi, Dreamdelion Indonesia merupakan Yayasan yang memberikan pendampingan pada UMKM, dengan spirit social enterprise.  Tujuannya mendorong masyarakat berpenghasilan rendah untuk berdaya. Dari yang tidak memiliki usaha menjadi punya usaha, yang usahanya kecil berkembang menjadi besar.

Nafas usaha terbatas, lanjutnya, karena modal yang dimiliki juga terbatas. Hal ini membuat risk appetite, atau kesediaan pemilik bisnis untuk mengambil tingkat dan jenis risiko untuk mengembangkan bisnis, juga menjadi terbatas. Tak semua potensi peluang yang muncul dalam setiap risiko bisa ditangkap lantaran modal yang cekak.

Minimnya modal dan risk appetite juga membuat ruang gerak usaha juga terbatas. Misalnya, UMKM tidak memiliki banyak ruang untuk trial and error untuk mencari produk yang lebih baik atau menjangkau pemasaran yang lebih luas. Salah melangkah pun bisa membuat modal amblas dan bisnis harus terhenti.

“Pasti untuk dia bounce back itu agak sulit, karena dia punya keterbatasan resources. Beda dibandingkan orang-orang yang lebih wealth, kalau dia gagal, oke dia bisa take a break, dia bisa mikirin, lebih punya waktu. Jadi tidak ada tuntutan ekonomi lebih lah. Maksudnya kalau UMKM kan emang bisnisnya itu riil untuk makan hari itu juga, atau besok,” katanya saat berbincang dengan Validnews, Selasa (9/9).

Namun, selain modal, Aryo menilai ada hal yang turut memengaruhi jalannya bisnis yakni mentalitas pemilik. Ketakutan menghadapi kerugian kerap membuat patah semangat untuk kembali menjalankan bisnis dan memilih untuk menutup bisnisnya.

“Memang kalau menurut aku yang menjadikan UMKM itu akhirnya failed, enggak lanjut sebenarnya bukan dari sisi UMKM-nya sih, bukan dari sisi lingkungan usaha, kondisi usaha dan lain-lain semua. Tapi, lebih kepada si founder atau si pemilik UMKM itu sendiri,” imbuhnya.

Aryo pun menyarankan beberapa langkah sebelum pemilik usaha menutup bisnis. Pertama, pemilik usaha perlu mencari pendampingan. Lewat pendampingan, pemilik usaha akan diarahkan untuk memperbaiki bisnisnya, entah dari produk, kemasan, cara penjualan hingga pembukuan.

Pendampingan juga bisa mengarahkan pemilik UMKM untuk melihat potensi bisnis yang mungkin untuk digarap dengan modal yang ada.

“Kondisi sulit kadang jadi opportunity. Artinya bukan tidak ada peluang kan, peluang lebih kecil aja. Jadi sebenarnya jangan terburu-buru menutup usaha,” paparnya.

Pendampingan bukan berarti harus berbayar. Intinya adalah belajar dari siapapun termasuk dari internet atau mengikuti forum komunitas UMKM.

Keuntungan lain aktif dalam komunitas UMKM adalah saling menguatkan. Lewat forum itu, pelaku UMKM bisa tahu bahwa memang bisnis tengah redup in this economy dan bisa

“Artinya dia, ‘oh ya emang sedang tidak baik-baik nih, bukan gue doang gitu.’ Kadang kan dia feeling alone gitu kan, merasa produk jelek dan nggak ada yang mau, nggak suka dan lain-lain. Akhirnya ya udah tutup,” katanya.

Mengurangi Risiko
Namun, bagaimana seandainya kondisi memang sudah sangat berat dan modal tergerus, sementara tidak ada opsi untuk mencari pinjaman untuk modal baru untuk melanjutkan bisnis, apa yang perlu dilakukan?

Pertama, Aryo menyarankan untuk menggeser bisnis untuk menurunkan risiko. Misalnya, semula berjualan ayam ungkep, bisa digeser menjadi berjualan hanya bumbunya saja. Dengan demikian, sisa stok masih bisa digunakan, begitu juga dengan peralatan yang dimiliki. Pemilik juga masih bisa menggunakan keahlian meramu bumbu.

Selain itu, risiko yang dihadapi pemilik usaha berkurang. Dari semula harus menyetok ayam yang rentan rusak, menjadi hanya menyetok bumbu. Modal yang dikeluarkan pun lebih kecil, lantaran tak harus kulakan ayam.

Menggeser bisnis juga bisa dilakukan dengan menyediakan jasa yang masih terkait dengan bisnis utama. Misalnya dari bisnis berjualan sepatu, menjadi bisnis reparasi sepatu.

“Artinya coba dilihat lagi kira-kira peluang bisnis apa dan tidak jauh dari usaha yang dia punya saat ini. Cari usaha yang lebih low risk,” imbuhnya.

Dengan demikian, saat ingin kembali ke bisnis semula, tidak perlu penyesuaian lebih panjang.

Namun, jika memang melihat tidak ada opsi lain selain menutup usaha untuk menghindari kerugian yang lebih besar, usaha bisa ditutup. Sisa stok perlu dikelola agar tidak rusak, sehingga masih bisa dijual untuk mengurangi kerugian.

Bukan tidak mungkin, pelaku UMKM menutup satu usaha yang dirasa seret dan membuka bisnis lain yang lebih menjanjikan. Aryo berprinsip, memulai usaha berarti mengawinkan dua hal yaitu kemampuan yang dimiliki dengan kebutuhan pasar.

Kemampuan yang dimiliki bisa berupa kemampuan dan modal. Namun, itu saja tak cukup. Ketersediaan pasar bagi produk atau jasa yang akan ditawarkan juga faktor penting agar nafas bisnis memanjang.

“Lihat apa yang dibutuhkan orang-orang. Artinya bisa lakukan riset kecil-kecilan dulu, entah melihat teman sekitar atau sosmed,” ujarnya.

Langkah ini penting, agar tidak buta saat memasuki pasar. Dengan riset ini, diketahui misalnya ada kebutuhan sepatu olahraga seiring meningkatnya tren olahraga lari. Kenaikan tren ini menciptakan ceruk pasar untuk sepatu lari lokal dengan harga terjangkau.

Lalu, mulai dulu dengan skala usaha kecil dan risiko rendah, salah satunya dengan sistem PO.  “Dimulai dari risiko yang rendah dulu ya, coba jual kecil-kecilan dulu. Baru nanti pelan-pelan ketika secara skala usaha dan jualannya oke, baru dia pelan-pelan dibesarkan lagi. Tapi ini harus based on research,” pungkasnya.

Mengibarkan bendera putih adalah satu opsi. Tapi, bangkit dan mencoba lagi, jelas merupakan langkah berani. Dengan syarat, ada hitungan yang lebih pasti.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar