13 September 2025
18:00 WIB
Bingungnya Daerah Menyiasati Fiskal Akibat Pemangkasan TKD
Kepala daerah memutar otak mencari cara mengompensasi transfer pusat tahun depan yang direncanakan berkurang drastis. Beban berat menanti, menaikkan pendapatan tak semudah membalik telapak tangan.
Penulis: Fitriana Monica Sari, Siti Nur Arifa, Ahmad Farhan Faris
Editor: Khairul Kahfi
Petugas Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Kota Denpasar melayani warga di Mal Pelayanan Publik Graha Sewaka Dharma Kota Denpasar, Bali, Selasa (17/6/2025). Antara Foto/Nyoman Hendra Wibowo
JAKARTA - Kepala Daerah se-Indonesia mungkin sedang kebingungan meracik fiskal tahun depan yang diprediksi mengetat. Pasalnya, RAPBN 2026 menyiratkan pemangkasan alokasi Transfer Ke Daerah (TKD) signifikan 24,77%, dari outlook tahun ini Rp864,1 triliun menjadi Rp650 triliun.
Kelimpungan tersebut beralasan. Ini disebabkan kekuatan fiskal daerah rata-rata masih bergantung pada TKD dari pusat. Kajian BPK RI 2019 menunjukkan, hanya ada 1 dari 542 daerah yang fiskalnya berkategori sangat mandiri, 8 provinsi dan 2 kota tergolong mandiri, sementara sisanya masuk kategori menuju mandiri dan belum mandiri.
Teranyar, Ditjen Perimbangan Keuangan (DJPK) Kemenkeu mencatat, transfer dari pemerintah pusat mendominasi sekitar 65,7% pada inputan APBD 2024. Sedangkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) hanya berkontribusi sekitar 28,7%. Hal ini tidak terlalu berbeda dengan APBD 2023 yang sekitar 64,9% berasal dari TKD pusat.
Secara umum, Kemenkeu menilai, ketergantungan pendapatan daerah terhadap transfer pusat menyiratkan lemahnya kemandirian fiskal daerah. Adapun perkembangannya, Menkeu anyar Purbaya Yudhi Sadhewa bersama Komisi XI DPR RI tengah berunding untuk melonggarkan pemangkasan TKD tahun depan.
Meski begitu, Ketua Umum Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi) Bursah Zarnubi tetap menyampaikan, penurunan TKD berimplikasi pada ruang fiskal kabupaten yang makin terbatas, berpotensi melebarkan ketimpangan, sampai risiko menghambat pembangunan lokal.
Dengan PAD rata-rata masih rendah, Bursah yang juga menjabat Bupati Lahat menekankan penurunan alokasi TKD akan membuat mayoritas kabupaten kesulitan menjaga kesinambungan layanan publik. Karena koordinasi K/L untuk program infrastruktur, pelayanan publik dan pemberdayaan ekonomi tidak berjalan efektif.
Dia mencontohkan, ketahanan fiskal pemda di kabupaten-kabupaten di Indonesia Timur, seperti di Papua, Maluku dan beberapa di NTT dengan PAD rendah cukup lemah. Ini disebabkan basis ekonomi yang sempit, infrastruktur terbatas, dan keterbatasan basis pajak lokal.
“Studi dan analisis BPK-peneliti menyebut banyak kabupaten di Papua masuk kategori IKF (Indeks Kemandirian Fiskal) sangat rendah. Hampir seluruh belanja publik (pemerintah daerah dan kabupaten) bergantung pada transfer pusat,” kata Bursah yang berbincang dengan Validnews via telepon pada Kamis (11/9).
Baca Juga: Transfer Yang Melemahkan Daerah
Di sisi lain, sebutnya, efek rencana pemangkasan TKD 2026 ditaksir akan lebih ringan berdampak pada fiskal Kabupaten Badung, Bali, relatif lebih kuat karena PAD dari sektor pariwisata. Begitu pula pada pemda yang punya kawasan industri atau perkotaan yang cenderung memiliki kontribusi PAD yang optimal.
“Faktor utama (kemandirian fiskal lebih baik) basis pajak daerah seperti hotel, restoran, pajak penerangan jalan, pajak reklame, BUMD produktif, dan aktivitas ekonomi lokal yang padat,” ujarnya.
Peta Kapasitas Fiskal Daerah 2025 Kemendagri mencatat, sebanyak 407 dari 415 kabupaten punya kapasitas fiskal lemah karena PAD-nya lebih rendah daripada Transfer Pusat di lima tahun terakhir. Sedangkan, hanya ada masing-masing 4 kabupaten yang tergolong fiskal kuat dan sedang, dengan kondisi PAD yang lebih besar atau setara dibanding Transfer Pusat.
Pemotongan TKD, Fiskal Daerah Berat
Dari perspektif daerah, Bursah kembali menyampaikan, rencana pemotongan pagu TKD 2026 yang drastis merupakan 'kejutan' fiskal yang berat. Lagi-lagi, Bursah menggarisbawahi data Kemendagri di atas menunjukkan mayoritas kabupaten atau sekitar 98,8%-nya masih bergantung pada transfer pusat.
“Penurunan (TKD) bukan hanya soal angka, tapi juga soal ketidakpastian mekanisme program yang tadinya lewat TKD dialihkan ke K/L, sehingga daerah khawatir kehilangan fleksibilitas dalam membiayai kebutuhan lokal,” ungkapnya, politisi yang pernah memimpin Partai Bintang Reformasi itu.
Dia juga menyampaikan, perkembangan terkini per 2023-2025, perbaikan kemandirian fiskal di daerah masih lambat dan tidak merata. Fiskal beberapa kabupaten memang meningkat melalui penguatan PAD dan BUMD. Di sisi lain, mayoritas kabupaten masih bergantung pada transfer pusat.
“Selain itu, indeks kemandirian fiskal menunjukkan konsentrasi kemandirian di pulau-pulau tertentu seperti Jawa dan sebagian Bali, sementara sebagian besar daerah timur tetap rendah,” ungkapnya.
Tak perlu jauh-jauh menilik daerah lain, Bursah mengungkap persoalan daerah yang dipimpinnya. Target pendapatan Kabupaten Lahat, Sumsel, di APBD 2025 sekitar Rp3,25 triliun. Realisasi Per September 2025, komposisi pendapatan tersebut didominasi oleh Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD) sekitar Rp1,02 triliun. Sedangkan, PAD hanya berkisar Rp133,14 miliar. Jomplang, bukan?
Karenanya, dia menekankan, urgensi dukungan TKD sangat tinggi pada daerah-daerah yang belum mandiri secara fiskal. Pengurangan TKD secara besar-besaran tanpa kompensasi mekanisme program di daerah akan mengganggu layanan dasar.
“Oleh karena itu, Apkasi mendorong agar pengurangan nominal TKD disertai kejelasan mekanisme kompensasi, misalnya transfer program melalui kementerian/lembaga yang dilaksanakan di daerah atau skema kompensasi fiskal lainnya. Ini penting untuk menjamin kesinambungan layanan publik,” imbuhnya.
Baca Juga: Transfer Ke Daerah Makin Seret, Ekonom Ingatkan Kenaikan PBB 2026
Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Herman N Suparman menyampaikan senada. Dia menekankan, mayoritas kapasitas fiskal daerah seperti provinsi maupun kota amat rendah.
Di catatannya, saat ini hanya 11 dari 38 provinsi yang punya kapasitas fiskal kuat, 12 provinsi berkapasitas rendah, sisanya 15 provinsi berkapasitas lemah.
Adapun di tingkat kota, hanya ada sekitar 11 kota yang punya kapasitas fiskal tinggi, 12 kota berkapasitas sedang, dan 70 kota berkapasitas rendah. Paling miris, 98% kabupaten di Indonesia punya kapasitas fiskal lemah, serta masing-masing 1% kabupaten yang punya kapasitas sedang dan kuat.
“Artinya, memang kalau melihat pemetaan seperti itu bisa dikatakan 90% daerah itu memang sangat mengandalkan transfer ke daerah,” beber Herman kepada Validnews, Rabu (10/9).
Cara Naikkan PAD Tanpa Membebani Masyarakat
Sementara ini, Apkasi menyebut, kepala daerah telah menyusun berbagai strategi untuk menaikkan PAD di tengah pemangkasan. Khususnya dengan memedomani pesan Mendagri Tito Karnavian, pengambilan kebijakan fiskal daerah harus memerhatikan kondisi masyarakat, sehingga tak memberatkan dan membentuk resistensi.
“Prinsip yang dianut Apkasi adalah menaikkan PAD dengan cara yang adil dan berkeadilan sosial. Artinya, peningkatan penerimaan tidak boleh dilakukan lewat langkah-langkah instan yang membebani masyarakat miskin. Misalnya, kenaikan pajak tanpa basis studi dampak,” tegas Bursah.
Kemudian, upaya daerah memodernisasi administrasi pajak daerah dengan digitalisasi retribusi, sistem pemungutan (billing), perluasan basis pajak melalui pemetaan ekonomi lokal, penguatan Bapenda, pemanfaatan BUMD untuk usaha produktif, pemungutan retribusi yang lebih efisien (online), dan peningkatan kualitas pelayanan perizinan untuk menarik investasi.
“Contoh, beberapa daerah menaikkan PAD melalui optimalisasi pajak hotel/restoran pada momentum pariwisata, bukan menaikkan tarif dasar,” jelasnya.
Apkasi juga meminta daerah menjaga keseimbangan sosial dengan mengkaji dampak ekonomi-sosial sebelum menerapkan kebijakan pajak baru, memperkenalkan tarif progresif atau pembebasan untuk golongan tidak mampu, serta menambah insentif bagi pelaku usaha kecil agar formal masuk basis pajak tanpa beban berat.
“Apkasi mendorong kebijakan berbasis data dan komunikasi publik yang jelas untuk mengurangi resistensi,” ujarnya.
Pemda kabupaten juga diharap menggenjot PAD melalui sektor seperti pariwisata, pertambangan dan migas (bagi hasil), kehutanan atau perkebunan, ekonomi kreatif, UMKM, jasa logistik, layanan publik yang dipungut retribusi, dan optimalisasi aset daerah (BUMD).
“Pilihan sektor harus disesuaikan karakteristik kabupaten. Pemberdayaan pariwisata berbasis komunitas: paket wisata, retribusi wisata terstruktur, sinergi dengan sektor UMKM untuk produk wisata,” ucapnya.
Baca Juga: Pemangkasan TKD Masih Disorot, Menkeu: Jangan Lihat APBN Satu Sisi
Kemudian, digitalisasi pajak dan retribusi dengan sistem pembayaran online, integrasi data pelanggan, e-SPTP. Revaluasi dan komersialisasi aset daerah yakni BUMD yang produktif, optimalisasi pasar atau pusat perbelanjaan milik daerah. “Paket insentif investasi lokal dengan kemudahan perizinan berbasis OSS-daerah untuk menarik investasi yang memberi multiplier effect,” jelas dia.
Warga berkonsultasi dengan petugas saat akan membayar PBB di gerai Badan Pendapatan Daerah Kota Bandung di Mal Pelayanan Publik, Bandung, Jawa Barat, Rabu (20/8/2025). Antara Foto/Raisan Al FarisiBursah berjanji, Apkasi atau pemda kabupaten tetap memberikan layanan publik dengan kombinasi kebijakan jangka pendek dan menengah di tengah rencana pemangkasan TKD.
Pertama, optimalisasi realokasi belanja daerah dengan memprioritaskan belanja yang berdampak langsung pada layanan dasar seperti kesehatan, pendidikan, infrastruktur pelayanan publik. Kedua, sinergi dan akses ke pendanaan alternatif dengan mendorong pemerintah pusat agar program yang dibiayai melalui kementerian/BLU/Instruksi Presiden dapat tetap dilaksanakan di daerah.
“Apkasi meminta kejelasan mekanisme agar kegiatan teknis tetap berjalan walau nomenklaturnya berubah,” ujarnya.
Kemudian, meningkatkan PAD jangka menengah. Efisiensi belanja daerah dan pengamanan belanja wajib melalui refocusing program nonprioritas. Serta, pemanfaatan skema pembiayaan lain seperti kerja sama pemerintah-swasta (PPP), skema pembiayaan investasi daerah.
“Dan pengajuan proyek yang bersifat co-funding dengan kementerian/lembaga atau donor bila relevan. Saran Apkasi penajaman prioritas investasi agar layanan publik tidak terganggu,” imbuhnya.
Idealnya TKD 2026 Rp1.000 Triliun
Herman menilai, kebijakan pemerintah pusat terhadap alokasi TKD tahun depan lewat pemangkasan berada di luar rel dari pelaksanaan desentralisasi dan lainnya. Prinsipnya, anggaran mengikuti urusan atau kewenangan.
KPPOD mengingatkan, undang-undang maupun konstitusi telah memberi kewenangan kepada pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus sebanyak 32 urusan wajib maupun pilihan, mencakup pelayanan dasar maupun non-pelayanan dasar.
“Artinya, dengan pemberian kewenangan mengurus 32 urusan itu, mestinya juga diikuti dengan alokasi yang kompatibel dengan beban kerja seperti itu,” ucap Herman.
Karena itu, dia heran dengan rencana alokasi TKD 2026 yang malah turun signifikan. Bahkan, alokasi TKD Rp650 triliun lebih rendah dari TKD 2016 yang nilainya mencapai sekitar Rp700 triliunan. Rencana TKD 2026 hanya sedikit lebih tinggi beberapa triliun dari realisasi di 2015 yang sebesar Rp647 triliun.
“(Alokasi TKD 2026.red) itu akan sangat mengganggu pelayanan publik dan juga belanja pembangunan di pemerintah daerah,” tegasnya.
Karena itu, kekhawatiran banyak pihak soal pemangkasan alokasi TKD cukup dapat dimaklumi. Idealnya, Herman menyampaikan, seharusnya alokasi TKD tahun depan bisa mencapai Rp1.000 triliun atau lebih tinggi dari pagu tahun ini yang sebesar Rp919,9 triliun.
Dia juga membandingkan antara alokasi TKD itu Rp650 triliun dan belanja pemerintah pusat tahun depan yang mencapai Rp3.136,5 triliun. Belanja pemerintah ini naik cukup tinggi Rp435,1 triliun dari pagu tahun ini sebesar Rp2.701,4 triliun.
“Dengan kondisi seperti itu sangat tidak ideal, kalau kita bicara bagaimana membangun kesinambungan antara pembangunan nasional dengan pembangunan daerah,” ungkapnya.
Baca Juga: TKD 2026 Dipangkas Rp214,1 T, FITRA: Potensi Perlebar Ketimpangan Fiskal
Mencermati fenomena ini, Ekonom Universitas Paramadina Wijayanto Samirin meminta pemerintah mengevaluasi saksama pemangkasan alokasi TKD 2026. Dia menekankan, hal ini patut dipertimbangkan untuk menjaga stabilitas ekonomi-politik. Kepala negara patut mendapat info yang valid agar bisa mengambil keputusan yang realistis dan presisi.
Kondisi itu bisa menjadi pelik apabila kredit bank yang dijanjikan untuk Kopdes Merah Putih macet, di tengah rencana pemerintah yang hendak mengurangi alokasi Dana Desa yang ditarik ke pusat. Dia pun menekankan, upaya ini bisa dilakukan dengan merasionalisasi anggaran jumbo MBG 2026.
“Nilai TKD sebaiknya dikembalikan ke level normal di 2025... yakni Rp919,9 triliun. Pemerintah harus hati-hati, jangan overconfident,” ucap Wijayanto kepada Validnews, Rabu (10/9).
Dia khawatir dan mewanti-wanti, ketidakbiasaan pemda mencari PAD secara kreatif malah bisa mendukung langkah menaikkan pajak dan retribusi secara drastis, akibat TKD yang dipotong drastis. Terlebih tak semua daerah punya potensi menggarap PAD. Balik lagi, anggaran TKD tahun depan yang serupa dari tahun ini juga dipercaya masih akan mendorong efisiensi dan menstimulus optimalisasi PAD, tanpa harus mengorbankan kelancaran operasional pemda.
Saatnya Pemda Juga Berbenah
Wijayanto di sisi lain, juga mengingatkan, PR besar fiskal juga tidak hanya terpaku pada evaluasi pemerintah pusat yang punya kuasa penuh alokasi APBN. Pemda juga harus sadar diri memperbaiki arus kas pendapatannya dengan memperbaiki iklim investasi dengan menjunjung profesionalisme birokrasi, penyederhanaan regulasi, hingga menghentikan premanisme.
“Karena terlalu banyak aktivitas informal, dan aktivitas underground economy (di daerah), yang seringkali tidak tercatat dengan baik di pertumbuhan GDP,” tegasnya.
Lain halnya dengan Ekonom Universitas Andalas Syafruddin Karimi. Dia meyakini, kepala daerah bisa meningkatkan PAD lewat keandalan data dan empati sosial. Misalnya, memutakhirkan basis data objek pajak lewat pemetaan spasial dan verifikasi lapangan dengan simulasi dampak serta uji publik terlebih dahulu, menerapkan kenaikan pajak bertahap dengan cap maksimum per rumah tangga, dan memberi keringanan yang nyata untuk kelompok rentan.
“Lalu, menampilkan 'peta manfaat' yang menghubungkan rupiah pajak dengan proyek nyata, perluas kepatuhan melalui tapping box sektor hotel-restoran-parkir, integrasi pembayaran digital, dan kanal sengketa yang cepat agar kepercayaan publik tumbuh tanpa gejolak seperti kasus PBB Pati,” kata Syafruddin kepada Validnews, Jumat (12/9).
Mata kepala daerah juga mesti jeli menaikkan pendapatan daerah dengan menggenjot sektor pengungkit dari keunggulan lokal yang menghasilkan transaksi harian. Bisa dari, hilirisasi agromaritim lewat penggilingan modern, cold chain, sampai industri olahan ikan; begitu pula pariwisata; dan ekonomi kreatif berbasis budaya-alam.
Baca Juga: Sri Mulyani Ungkap Alasan Transfer Ke Daerah 2026 Menyusut
Selain itu, kesiapan lahan kawasan industri dan logistik untuk menarik investasi manufaktur ringan; jasa pendidikan-kesehatan yang memicu permintaan hunian dan kuliner; serta energi terbarukan skala daerah yang menciptakan rantai pasok baru. “Fokus pada klaster ini memperlebar basis pajak dan retribusi secara berkelanjutan,” bebernya.
Terobosan PAD juga perlu terukur dan berorientasi arus kas, inventarisasi-monetisasi aset tidur melalui sewa jangka panjang (Build-Operate-Transfer/BOT) dengan tata kelola ketat, bangun single window perizinan dengan SLA jelas untuk menjaga kelancaran investasi, kelola destinasi wisata dengan city pass, tiket terintegrasi, eparkir, dan kalender event.
“Bentuk unit kepatuhan berbasis intelijen data yang menggabungkan edukasi dan penegakan proporsional, hidupkan kawasan kuliner malam dan pasar tematik yang tertata, sehingga retribusi, pajak daerah, dan dividen BUMD meningkat tanpa beban mendadak ke warga,” usulnya.
Secara internal, pemda perlu mengunci prioritas layanan dasar, menjalankan spending review kuartalan dengan tegas, bundel pengadaan lintas Organisasi Perangkat Daerah (OPD) untuk menekan harga, tetapkan penganggaran berbasis kinerja, dan lakukan triase proyek agar infrastruktur akses ekonomi, pendidikan, kesehatan, air bersih, serta jaringan logistik tetap berjalan.
“Perkuat kontrol kas mingguan, digitalisasi pembayaran, dan dorong KPBU/BUMD pada proyek berarus kas agar APBD tetap likuid saat sokongan TKD menipis,” imbuhnya.