19 Desember 2023
08:00 WIB
Penulis: Fitriana Monica Sari
Editor: Fin Harini
JAKARTA - Pemerintah menargetkan penggalangan dana lewat penerbitan dan penawaran SBN senilai Rp666,4 triliun pada tahun politik 2024. Hal ini sejalan dengan target defisit 2024 sebesar 2,29%.
Hal itu disampaikan oleh Direktur Surat Utang Negara DJPPR Kementerian Keuangan Deni Ridwan dalam seminar "Outlook Pasar Surat Utang 2024: Momentum Pasar Surat Utang?", Senin (18/12).
"Artinya secara nominal, utang kita akan bertambah. Tahun depan, dengan defisit sekitar 2,29%, rata-rata kemungkinan kalau tidak ada penurunan defisit, maka utang kita akan bertambah Rp600 triliun di tahun depan," kata Deni.
Lantas, apa saja strategi yang dilakukan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) untuk merealisasikan hal tersebut?
Deni menyampaikan ada beberapa rencana terkait penerbitan SBN tahun 2024. Salah satunya melalui lelang SBN secara terjadwal dan transparan.
Baca Juga: Kemenkeu: Utang Baru Rp600 T Untuk Tutup Defisit APBN 2024
Rencananya, pemerintah akan melakukan lelang Surat Utang Negara (SUN) sebanyak 24 kali setiap hari Selasa. Selanjutnya, pemerintah juga akan melelang Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) sebanyak 24 kali setiap hari Selasa.
"Kita akan menjalankan lelang yang seperti biasa, hari Selasa, di mana kita akan laksanakan 24 kali lelang baik untuk yang SUN maupun yang SBSN, termasuk yang SPN dan yang fixed rate untuk SUN dan yang SPN/S dan PBS untuk yang SBSN," kata Deni dalam peluncuran Electronic Indonesia Bond Market Directory di Main Hall BEI, Senin (18/12).
Selain itu, lanjut dia, Pemerintah turut menawarkan SBN Ritel secara terukur seperti SUN yang meliputi Obligasi Ritel Indonesia (ORI) dan Saving Bond Ritel (SBR).
Sedangkan untuk SBSN, Pemerintah akan menawarkan Sukuk Negara Ritel (SUKRI), Sukuk Tabungan (ST), dan Cash Waqf Linked Sukuk (CWLS).
SBN Valas sebagai pelengkap diterbitkan dalam mata uang kuat, seperti USD, EUR, dan JPY.
"Kita akan menerbitkan di Global Bonds, Global Sukuk dan Samurai Bond," ujarnya.
Tantangan dan Kebijakan
Diakui Deni, terdapat beberapa tantangan dalam penerbitan SBN tahun depan. Kebutuhan pembiayaan utang tinggi dan kapasitas pasar domestik yang terbatas disebut menjadi salah satu tantangan.
"Kemudian, volatilitas pasar global masih berlanjut, potensi outflow dan peningkatan yield (obligasi) juga salah satunya," imbuh dia.
Kendati demikian, menurut Deni, pemerintah memiliki beberapa kebijakan dalam pengelolaan SBN. Pertama, memprioritaskan penerbitan SBN di pasar domestik dan SBN valas sebagai pelengkap dengan mengutamakan mata uang kuat (hard currency).
Kedua, menyusun komposisi penerbitan yang optimal dengan mempertimbangkan biaya dan risiko, serta minat investor. Ketiga, melakukan optimalisasi peran mitra penjualan SBN dalam pengembangan pasar. Keempat, mengelola portofolio SBN secara aktif.
Kelima atau yang terakhir, menyusun strategi komunikasi, edukasi dan sosialisasi, serta bersinergi dengan dunia akademik dan stakeholder lainnya.
Baca Juga: Kemenkeu Catat Sukuk Tabungan ST011 Terjual Rp20.03 Triliun
Rasio Utang Aman
Meski utang naik, Deni mengeklaim rasio utang Indonesia terhadap produk domestik bruto (PDB) masih terbilang cukup aman dibandingkan negara ASEAN lainnya.
"Kalau kita bandingkan dengan negara peer kita dengan debt to GDP makin kecil sekarang sekitar 37% ya. Kalau awal pandemi 40%. Ini relatif masih sangat rendah. Let's say di ASEAN countries, kita kan Malaysia, Filipina, Thailand itu di level 60-70%," ujarnya.
Sementara itu, negara di ASEAN yang memiliki angka lebih rendah atau di bawah Indonesia adalah Brunei dan Vietnam.
Deni menyampaikan, pendapatan negara diperkirakan sekitar Rp2.781,3 triliun pada 2024. Sekitar Rp2.021,2 triliun dari perpajakan dan sisanya dari PNBP.
Sementara untuk belanja negara sebesar Rp3.304,1 triliun, dengan komposisinya Rp2.246,5 triliun belanja pemerintah dan transfer ke daerah (tkd) Rp814,7 triliun.
Adapun, jumlah defisit APBN sekitar 2,29% atau sekitar Rp522 triliun. Angka itu relatif hampir sama dengan tahun ini. Sehingga, kebutuhan pembiayaan anggaran pada tahun 2024 menjadi Rp598,2 triliun.
Dalam rangka memenuhi kebutuhan pembiayaan utang, DJPPR melakukan berbagai hal. Mulai dari pembiayaan investasi, pemberian pinjaman, kewajiban pinjaman, pembiayaan lainnya, dan utang jatuh tempo.
Peluncuran E-IBMD
Dalam kesempatan yang sama, PT Penilai Harga Efek Indonesia (PHEI) secara resmi meluncurkan Electronic Indonesia Bond Market Directory (E-IBMD).
Publikasi ini merupakan besutan antara PHEI dan BEI dalam mengumpulkan dan mengelola data dan informasi atas efek bersifat utang (EBUS) yang dirangkum dan disajikan kepada masyarakat luas.
"PHEI dan BEI mengumpulkan dan mengelola data dan informasi yang terjadi di pasar surat utang di Indonesia pada tahun berjalan untuk dirangkum dan dihadirkan bagi seluruh lapisan masyarakat,” tutur Direktur Utama PHEI M. Khadafi Mukrom di Main Hall BEI, Senin (18/12).
Menurutnya, produk tersebut diharapkan dapat menjadi panduan bagi stakeholders pasar modal, investor, akademisi, hingga pelajar untuk mengetahui pasar surat berharga.
“Tak hanya untuk memenuhi kebutuhan pasar, tapi juga bisa untuk mahasiswa hingga dosen, sebagai bahan ajar, serta analisa bagi pihak-pihak yang membutuhkan data terkait dengan informasi pasar surat utang,” katanya.
Peluncuran E-IBMD tahun ini merupakan peralihan dari opsi yang lebih ramah lingkungan dan user-friendly. Dirinya pun berharap prinsip digitalisasi ‘Bond Book’ ini dapat diakses oleh seluruh kalangan yang membutuhkan.