27 Oktober 2025
08:38 WIB
BI: Government Shutdown AS Tingkatkan Ketidakpastian Ekonomi
BI menilai isu penutupan pemerintah AS (government shutdown) sebagai sentimen negatif bagi perekonomian Indonesia.
Penulis: Khairul Kahfi
Warga menjual mata uang dolar Amerika Serikat (AS) di Debe money changer, Banda Aceh, Aceh, Kamis (1 0/4/2025). AntaraFoto/Irwansyah Putra
BUKITTINGGI - Direktur Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter BI Juli Budi Winantya menyorot isu penutupan pemerintah AS (government shutdown) sebagai sentimen negatif bagi perekonomian Indonesia selanjutnya. Dengan isu ini, ketidakpastian ekonomi masih akan tinggi ke depan.
“Terkait US government shutdown, saya sampaikan bahwa ketidakpastian global saat ini cukup tinggi, salah satunya dari AS,” jelasnya dalam agenda pelatihan wartawan di Bukittinggi, Jumat (24/10).
Kondisi tersebut bisa berdampak pada defisit fiskal AS yang akan cenderung melebar lebih tinggi. Kondisi ini, BI garisbawahi, berpeluang meningkatkan ekspektasi imbal hasil (yield) obligasi AS.
Di sisi lain, isu yang sama juga bakal berdampak pada meningkatnya pengangguran di AS, seperti yang dikhawatirkan banyak pihak ketika dimulai pada akhir Oktober 2025. Paling berat, pergerakan ini juga akan kembali memengaruhi volatilitas mood pasar.
Baca Juga: BI-Rate Oktober 2025 Ditahan Di Level 4,75%
“Kalau pengangguran (AS) naik, biasanya akan direspons melalui Fed Funds Rate (suku bunga AS),” urainya.
Seiring waktu, pergerakan kebijakan The Fed untuk menstabilisasi ekonomi AS akan kembali menular ke pasar keuangan global. Adapun sementara ini, pasar sudah berekspektasi tinggi atas pemegang kebijakan moneter AS itu dengan lebih dovish di akhir 2025.
Juli menyampaikan, dinamika moneter tersebut diidentifikasi bakal merambat ke Indonesia melalui tekanan pada rupiah dan instrumen lainnya.
“Jadi ketidakpastian bisa muncul dari kondisi fiskal AS, tapi respons kebijakan moneter AS juga ikut berpengaruh,” ucapnya.
Ekonomi Global Melambat
Di luar isu goverment shutdown, Juli memaparkan, secara umum ekonomi global masih dalam tren melambat. Dengan penekan utama berasal dari dinamika kebijakan tarif AS yang memperlemah kinerja perdagangan global, utamanya pada kinerja ekspor-impor di sebagian negara yang melambat.
Bukannya membaik, kebijakan tarif dagang AS meluas ke sejumlah komoditas lain asal China mulai dari farmasi, mebel, hingga otomotif yang ‘berhak’ mendapat pengenaan tarif tambahan 100% sejak awal Oktober.
“(Semua) ini tentunya juga meningkatkan ketidakpastian global, berdampaknya ke pasar keuangan global,” ucapnya.
Baca Juga: Shutdown AS Berlanjut, Rupiah Diprediksi Melemah Ke Rp16.625
Di AS, pertumbuhan ekonomi diperkirakan masih lemah sehingga mendorong berlanjutnya penurunan kondisi ketenagakerjaan dan pengangguran.
Kemudian, Ekonomi Jepang, Eropa, dan India belum masih belum kuat dipengaruhi oleh konsumsi rumah tangga, di tengah stimulus fiskal-moneter yang telah dilakukan. Sementara itu, perekonomian China pada kuartal III/2025 yang meningkat didorong oleh stimulus fiskal.
“Perkembangan ini berdampak pada pertumbuhan ekonomi dunia 2025 yang diperkirakan sebesar 3,1%, atau sedikit di atas prakiraan sebelumnya 3,0%,” sebutnya.