17 Oktober 2025
19:45 WIB
Bermodal Google Maps, Petani Lumajang Ubah Gulma Jadi Laba
Berbekal Google Maps dan video TikTok, Gunar Muhamad Ali mampu menembus batas geografis untuk mengekspor daun talas ke berbagai benua.
Penulis: Erlinda Puspita
Editor: Rikando Somba
Aktivitas di gudang rumah talas Lumajang. Gunar Muhamad Ali/PT Cafam Blessing Indonesia
LUMAJANG - Siapa sangka, daun talas yang biasa dianggap sebagai gulma rupanya berhasil mengantarkan Gunar Muhamad Ali (37 tahun) atau yang akrab disapa Ali, sukses menjadi eksportir. Pria yang awalnya berprofesi sebagai petani di Kabupaten Lumajang, Jawa Timur ini mampu membaca peluang dan gigih belajar hingga menjadi pelaku usaha di pasar global.
Sebelum beralih menjadi eksportir seperti saat ini, belasan tahun silam Ali masih menekuni profesi petani aneka komoditas, mulai dari kelapa, pisang, hingga manggis. Mayoritas profesi warga di Kabupaten Lumajang juga banyak yang berniaga sama.
Untuk menambah penghasilan, ia juga mengikuti apa yang dilakukan para petani di sekitarnya. Mereka menyuplai daun talas ke pengepul atau perusahaan eksportir, kegiatan yang bisa disebut juga trader daun talas.
Seiring waktu, permintaan daun talas semakin tinggi, lantaran tanaman gulma dengan ukuran daun yang sangat lebar ini memiliki aneka manfaat. Beberapa manfaat daun talas, antara lain sebagai bahan baku makanan, rokok herbal, rokok shiha atau hookah, pakan ternak, kerajinan, hingga produk kecantikan.
Bahkan, untuk di dalam negeri saja, umbi talas yang dikenal secara umum di dunia sebagai taro ini kerap diolah menjadi bahan pangan lokal. Misalnya, tepung talas dan keripik talas.
Tak hanya umbinya, pelepah hingga daunnya pun bisa dimanfaatkan. Salah satunya, sebagai pengganti tembakau. Daun talas yang sudah dibersihkan, dirajang halus, lantas dijemur untuk menghilangkan getah. Kemudian, voila, jadilah tembakau tanpa nikotin.
Permintaan yang tinggi di pasar global, mendorong Ali untuk ‘naik kelas’ dari seorang petani menjadi pengepul berbagai petani daun talas di sekitar rumah ia tinggal. Tepat pada April 2018, ia mendirikan PT Cafam Blessing Indonesia, yang mewadahi sekitar 33 rumah talas yang tersebar di Jawa Timur, Kalimantan, dan Sumatra. Rumah-rumah talas inilah yang menjadi jaring-jaring pemasok daun talas milik Ali.
“Rumah talas itu ikut dalam bagian usaha kita bersama, seperti Rumah Talas Malang, Rumah Talas Kediri. Disebut rumah karena memang talas-talas ini ditampung di rumah-rumah tersebut, jadi kami tidak mendirikan gudang,” kata Ali saat berbincang dengan Validnews, Senin (13/10).
Rumah-rumah talas yang tergabung menjadi bagian PT Cafam Blessing ini, kata Ali, menampung berbagai hasil panen petani talas di sekitarnya, mulai dari pelepah, daun, tangkai, dan umbi talas. Melalui rumah-rumah talas ini, Ali juga mengaku saling belajar dan berbagi pengetahuan dan pengalaman dengan petani lainnya.
Biasanya, mereka membahas pengembangan tanaman talas, seperti talas beneng, talas mentega, talas bentul, talas kimpul, hingga talas pratama.
Tempat pengolahan daun basah hingga menjadi kering. Gunar Muhamad Ali/PT Cafam Blessing Indonesia
Pandemi Jadi Pembuka Jalan
Sejak berdiri pada April 2018 hingga awal 2020, PT Cafam Blessing masih bertindak menjadi pengepul. Ia mengumpulkan rajangan daun talas dari petani atau rumah talas, lantas mengirimkannya pada para eksportir daun talas.
Namun, saat pandemi covid-19 merebak pada awal 2020, Ali justru menemukan momentum untuk menjadi eksportir mandiri. Dari semulai mengandalkan eksportir, ia mulai mencari buyer atau pembeli internasional sendiri tanpa bantuan trader.
Momentum itu muncul saat kebijakan lockdown membuat banyak eksportir kolaps. Padahal, bisnis Ali dan banyak rumah talas bertumpu pada eksportir untuk mengirimkan produk ke luar negeri.
Di saat tumpukan barang makin menggunung, Ali mulai mengumpulkan keberanian dan mencari buyer sendiri.
“Awal pandemi banyak eksportir yang gulung tikar. Padahal, di Lumajang banyak eksportir daun talas yang sudah berdiri lebih dulu dari saya, ada yang mulai dari 2008, 2011, 2014, dan 2016. Awal pandemi banyak yang kolaps karena kebijakan lockdown, nah dari situ saya harus membantu teman-teman yang sudah merajang daun talas agar tetap ekspor, karena ada banyak sekali di sini. Jadi saya bantu cari pasar sendiri tanpa trader,” ujar Ali.
Dengan pengetahuan awal yang minim soal mencari buyer, ia berselancar di internet. Awalnya, dia mencari perusahaan-perusahaan yang potensial untuk menjadi pembeli. Keterbatasan bahasan pun ia terabas.
“Pengetahuan saya tentang ekspor masih terbatas waktu itu. Jadi bahasa saya juga ngawur. Tapi saya tetap cari pasar saja. Kaya daun talas ini kan dipakai untuk rokok di luar negeri, ya sudah saya cari-cari perusahaan luar negeri mana yang produksi rokok dan mau mengambil daun talas rajang kami. Cari satu-satu di Google Maps pakai bahasa inggris, tobacco gitu,” cerita Ali.
Satu per satu Ali catat perusahaan mana saja yang menjadi target promosi dia. Setelah daftar terkumpul melalui penjelajahan di Google Maps itu, Ali pun mengirimkan email promosi daun talas rajang itu kepada berbagai perusahaan rokok tersebut.
Usaha tak mengkhianati hasil. Salah satu dari sekian perusahaan yang ia kirimi email pun membalas dan meminta contoh produk. Ali kontan menyambut dengan semangat. Ia segera menyiapkan contoh daun talas rajang yang akan ia kirim melalui ekspedisi. Karena masih belajar, Ali mengaku banyak pihak yang ia mintai tolong berbagi informasi mengenai mekanisme pengiriman produk untuk mengirimkan sampel ini.
Adapun biaya yang dibutuhkan untuk bisa mengirimkan sampel produk dengan bobot sekitar 1 kg hingga 20 kg, setidaknya eksportir memerlukan anggaran Rp2 juta hingga Rp10 juta.
Melalui pengalaman tersebut, Ali kembali mendapat pelajaran. Ternyata, untuk mencari pasar, ia tak perlu repot-repot mencari titik alamat satu per satu di Google Maps. Berbagai mantan rekan trader yang pernah bekerja sama dengannya pun memberikan masukan kepada Ali agar memanfaatkan aplikasi-aplikasi ekspor yang umumnya digunakan di dunia.
Ia mengaku proses ekspor juga selalu dibantu oleh Dinas Perdagangan, Balai Karantina, hingga Bea Cukai.
Meski menjadi pembuka kesempatan di rekam jejak bisnisnya, Ali tak menampik bahwa masa pandemi covid-19 juga sempat menjadi kendala. Misalnya, pada kisaran bulan Agustus-Oktober 2020, kegiatan ekspor yang ia jalani sempat melambat.
Namun, hal itu justru menjadi penguat saat kondisi serupa terjadi di pertengahan tahun 2023, begitu juga di sekitar Maret hingga Agustus 2025.
Tempat pengolahan daun talas desa bades kecamatan pasirian Kabupaten Lumajang. Gunar Muhamad Ali/PT Cafam Blessing Indonesia
Media Sosial Dorong Promosi Ekspor Tanpa Aral
Mencari pembeli potensial tak hanya dilakukan Ali melalui Google Maps. Ia juga memanfaatkan beragam platform media sosial, seperti Facebook, Instagram, bahkan TikTok untuk mempromosikan rajangan daun talas.
Ia menilai penggunaan media sosial saat ini tak kalah ciamik di dunia ekspor. Misalnya, TikTok yang belakangan makin kondang sebagai media promosi. Bahkan, Ali punya strategi tersendiri saat memanfaatkan media sosial ini.
Di TikTok, alih-alih mempromosikan secara langsung atau biasa disebut hard selling, Ali justru memberikan edukasi mulai dari cara merawat, mengolah, pengenalan berbagai jenis tanaman talas, dan banyak lagi untuk menggaet penonton.
Cara tersebut menurut Ali lebih ampuh menarik minat penonton hingga buyer untuk membeli produk milik Ali.
“TikTok ini ampuh juga ternyata untuk mendapatkan buyer. Tapi kita bahasanya jangan terlalu menawarkan secara langsung. Jadi agak samar-samar atau soft selling. Karena kalau langsung promosi, algoritmanya itu kurang,” terang Ali.
Dari cara membuat konten video di TikTok, Ali berhasil mendapatkan buyer asal China, Amerika, Australia, hingga India. Bagaimana tidak, TikTok saat ini sudah mampu menjangkau seluruh dunia. Melalui konten yang menarik, video-video Ali kerap disukai dan diunggah ulang atau repost oleh akun berbagai negara. Akun TikTok daun talas milik Ali ini dapat dilihat di @rumahtalaspusat.
Karena usahanya yang terus berkembang, Ali saat ini telah memiliki puluhan mitra pengepul baik yang bersifat kelompok atau koperasi, maupun petani mandiri. Ia juga berhasil mempekerjakan beberapa karyawan yang menjadi admin.

Tak Pelit Ilmu, Bina Petani Hingga Trader
Daun talas yang Ali kirim bukanlah produk mentah, melainkan sudah setengah jadi, yaitu daun talas yang telah dirajang atau dicacah halus, kemudian dikeringkan. Selain bagian daun dari tanaman talas, Ali juga mengekspor bagian pelepah yang sudah dikeringkan. Produk yang ia hasilkan sepenuhnya untuk memenuhi kebutuhan ekspor.
Ali mengungkapkan, semula ia mengekspor pelepah talas ke pasar Korea Selatan dengan bahan baku yang didapat dari Vietnam. Namun karena niat yang ia miliki ingin membantu petani dalam negeri, maka Ali pun membuka peluang bagi petani di Indonesia untuk menyuplai pelepah talas.
Ali pun mengedukasi para petani soal teknik membudidayakan tanaman talas agar menghasilkan kualitas pelepah yang baik, sehingga tidak kalah dari Vietnam.
“Produksi kita sama dengan Vietnam, sama-sama banyak. Tapi kita tandingnya di kualitas. Makanya saya juga ada pembinaan ke petani, mulai dari budidaya, pasca panen, sampai quality control di setiap daerah sebelum ekspor,” ucap dia.
Selain memberikan edukasi bagi para petani mengenai budidaya tanaman talas, Ali juga tak pelit ilmu untuk berbagi pada para mahasiswa dalam mempelajari pengetahun untuk menjadi trader.
Syarat menjadi trader, harus mampu mengoperasionalkan media sosial dan komputer atau laptop, dan tentunya berbahasa asing sesuai target negara yang akan dituju untuk ekspor, umumnya seperti bahasa Korea, Inggris, dan China.
Kemudian bisa login di salah satu aplikasi, seperti Go4WorldBusiness.com dan dilanjutkan pembuatan akun dan seterusnya. Pengguna bisa memilih level berlangganan dari gratis, silver, gold, hingga platinum sesuai kebutuhan. Seterusnya, tinggal mengikuti arahan dari aplikasi tersebut.
Berikutnya menurut Ali, trader harus mampu memperkenalkan produk yang akan diekspor. Artinya, trader harus menguasai secara mendalam produk yang akan dijual, misalnya daun talas.
“Ini supaya kalau ada pembeli yang tanya, kita sudah menjawab dengan benar, tidak kerepotan dan tidak banyak mikir. Jadi harus belajar, misal mau jual kapulaga, ya pelajari lebih gamblang lagi apa itu kapulaga, begitu juga misalnya ingin ekspor daun pisang, ya dipelajari. Karena tidak semua daun pisang bisa diekspor,” ungkap Ali.
Setelah menguasai produk, kemudian trader juga harus menjamin bahwa pasokan produk yang akan diekspor tersedia mencukupi. Jangan sampai setelah memperoleh buyer, ternyata ketersediaan produk di lapangan justru masih kurang.
Jika produk masih kurang, maka sebaiknya jangan mempromosikannya lebih dulu, tetapi carilah daerah produsen yang mampu menjadi penyuplai untuk diajak kerja sama.
Selain tak pelit ilmu, Ali pun bercerita jika ia tak pernah merasa tersaingi jika petani yang semula ia bina, berhasil mengikuti jejaknya naik kelas dan bersalin menjadi trader bahkan eksportir mandiri seperti dirinya.
“Ada beberapa teman-teman yang sudah berjalan sendiri, lepas dari saya tapi masih bersinergi. Bahkan ada teman-teman yang berhasil mendapatkan pasar ekspor talas sendiri, tapi kurang bahan, bisa ngambil di saya,” jelasnya.
Ia tak menghitung secara pasti sudah berapa banyak petani yang berhasil naik kelas melalui pembinaan yang ia berikan. Bahkan lebih dari sepuluhan orang yang telah berhasil.
Rajangan daun talas jadi bahan baku rokok shisa untuk negara timur tengah. Gunar Muhamad Ali/PT Cafam Blessing Indonesia
Lika – Liku Jadi Eksportir Pertanian di Indonesia
Saat ditanya berapa besar keuntungan yang Ali peroleh tiap bulan, ia enggan menyampaikan secara gamblang. Namun Ali bercerita, keuntungan tersebut sangat fluktuatif, tergantung kondisi di pasar global. Perubahan kurs rupiah dan perbedaan harga di tiap negara sangat mempengaruhi pendapatan Ali di setiap bulan.
“Ya kira-kira kalau dulu awal ekspor masih di puluhan juta pendapatannya, sekarang sudah bisa ratusan hingga miliaran rupiah,” ucap Ali.
Mengawali usahanya dari sebagai seorang petani, Ali mengamini sektor pertanian Indonesia khususnya budidaya talas masih memiliki pesaing yang harus dilewati. Selain Vietnam, ia menyebut Thailand dan Filipina juga menjadi rival bagi Indonesia.
“Baik di komoditas apa saja, Vietnam itu di sana petaninya sangat didukung sama pemerintah, baik di budidayanya bahkan di produksi. Info dari teman saya yang sering bolak balik ke sana juga cerita kalau di sana keren lah pokoknya pertaniannya. Ekspornya juga dibantu pemerintah,” tutur Ali.
Namun dari pengalaman dilewati, Ali mengingatkan bahwa untuk menjadi eksportir tak melulu harus mengawali pengiriman berton-ton atau berkontainer-kontainer. Semua bisa dilalui secara bertahap.
Ia pun sempat mengalami kendala saat mengekspor daun talas ke Amerika. Usut punya usut, ternyata daun talas yang ia kirim memiliki kandungan arsenik di atas batas standar Amerika. Hal ini yang wajib eksportir pahami menurut Ali, yakni mempelajari standar dan ketentuan produk sesuai aturan negara yang dituju.
Meski terkendala standar tersebut, Ali menyebut permasalahan itu dapat diatasi dengan pemangkasan harga sebagai kompensasi, dan mewajibkan ekspor berikutnya agar sesuai ketentuan.