13 Desember 2021
21:00 WIB
Penulis: Zsasya Senorita
Editor: Dian Kusumo Hapsari
JAKARTA – Kegiatan melestarikan budaya mungkin belum menjadi perhatian mayoritas penduduk Indonesia. Namun siapa sangka, salah satu upaya ini malah berbuah manis dan bisa membuka beragam peluang bisnis lain.
Reny Ajeng dan suaminya, Anda Wardhana yang mendirikan sanggar Wulangreh Omah Budaya yang merasakan demikian. Kolaborasi karyawati perusahaan teknologi dan seniman musik ini bahkan mampu melawan keterbatasan usaha akibat pandemi covid-19 dari usaha jasa sambil melestarikan budaya
Dalam waktu dua minggu, Reny dan Anda mengalihkan sistem belajar seni dan budaya dari cara luring menjadi daring. Perumusan sistem belajar jarak jauh digarap saat Indonesia pertama kali menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang menyebabkan banyak kegiatan massal terpaksa mati suri, termasuk kursus tari di Omah Wulangreh.
“Untuk mengadopsi sistem pengajaran yang baru itu bisa dibilang cukup cepat. Awal April kita langsung mulai dengan sistem online (daring.red),” ungkap Reny melalui sambungan telepon dengan Validnews, Jumat (10/12).
Perubahan bentuk kegiatan kursus tari dan kesenian budaya lain bukannya tanpa hambatan. Pengelola Omah Wulangreh mengaku sempat mendapat pertentangan, terutama dari kelompok pengajar. Mereka masih berpegang pada idealismenya bahwa mengajar tari tidak bisa dilakukan secara virtual.
Reny dan Anda pun memberi penjelasan, semakin lama peserta kursus tidak belajar seni dan budaya, akan semakin bosan. Ujungnya, malah dikhawatirkan mereka tidak peduli lagi pada upaya pelestarian budaya yang sebelumnya dilakukan.
“Kami sampaikan, kalau kegiatan ini mati, kebudayaan mati, guru-gurunya juga bisa kehilangan kesempatan untuk mengajar. Dari situ para guru mulai berpikir, kemudian menerima keadaan,” sambungnya.
Sebagai pengelola, Reny berupaya menciptakan kondisi paling nyaman untuk tim pengajar. Utamanya adalah menyiapkan seluruh infrastruktur pendukung pembelajaran jarak jauh sehingga guru yang hadir hanya perlu mengajar peserta kursusnya.
Peralihan ini terus melewati proses evaluasi sampai menemukan bentuk yang efektif bagi semua pihak untuk menjalankan kursus seni budaya secara virtual.
Tak disangka, perubahan bentuk pengajaran di tengah pandemi, justru membuka peluang lebih besar bagi Omah Wulangreh. Ilmu seni dan budaya yang bisa disaksikan secara daring, justru bisa menghilangkan batas ruang dan waktu, mendatangkan peserta didik dari luar Jakarta. Bahkan ada peserta yang mendaftar dari Jerman.
“Dari situ (pengajaran online.red) ternyata memunculkan bisnis baru lagi, yaitu workshop kelas tari online,” imbuh Reny.
Dalam lokakarya ini, peserta didik akan mendapat rekaman video pembelajaran jarak jauh untuk diulang sendiri saat berlatih di rumah masing-masing.
Pentas Online
Belakangan, seiring menurunnya kasus Covid-19, sanggar yang juga Reny sebut sebagai culture hub ini perlahan menyelenggarakan kegiatan mengajar secara fisik atau luring. Dari semula dilakukan secara hybrid sampai akhirnya diselenggarakan dengan tatap muka secara utuh. Akan tetapi, pembagian jadwal dan jumlah murid tetap berbeda dari sebelum pandemi. Ada penerapan protokol kesehatan yang juga harus dilaksanakan.
Meski demikian, ada satu hal yang Reny rasa kurang. Biasanya, saban tahun sekali mereka lakukan pementasan. Demi mengobati kerinduan anggota Omah Wulangreh, pengelola membuat pentas tari yang direkam secara layak untuk diunggah ke YouTube resmi milik sanggar di bilangan Pejaten, Jakarta Selatan tersebut.
“Video pentas kami unggah ke YouTube, namanya Sesari Mahardika, bahasa Bali dari ‘persembahan kemerdekaan’. Pentas kami kemudian menjadi perbincangan, banyak seniman Bali mengaku salut atas pagelaran tersebut,” ucap Reny.
Capaian itu sontak membuat anggota sanggar semakin semangat. Merasa tetap bisa menyelenggarakan pentas walaupun masih dalam pandemi. Pengelola kemudian kembali membuat video untuk diunggah di YouTube, berisikan penampilan para murid yang menjalankan ujian tari.
Lagi-lagi, disrupsi karena teknologi berbuah manis buat mereka. Dari kanal YouTube itu, telah membuka pasar baru bagi sanggar ini. Kanal ini telah termonetisasi sejak 2 tahun lalu dengan diikuti lebih dari 12.000 pengguna. Peluang pasar yang terbuka tersebut, aku Reny, tercipta secara tidak sengaja. Niat awal hanyalah membagikan video kegiatan di Omah Wulangreh hanya untuk berbagi informasi dan pertunjukan kepada masyarakat di luar kota Jakarta.
“Di YouTube itu kontennya macam-macam, ada sejarah, spiritual, meditasi, tari, dan lain-lain. Ini menciptakan market-market tersendiri,” tuturnya.

Dapat Donor Teknologi
Untuk mengadopsi beragam kegiatan menuju online, lulusan Hubungan Internasional ini mengaku tidak mengeluarkan banyak biaya. Karena sejak awal 2020, Omah Wulangreh mendapat donor teknologi dari Google.
Bantuan yang diberikan berupa Google Adsense, Gsuites, Gmail, Google Drive, Zoom, hingga perangkat lunak Adobe meliputi Adobe Premiere, Adobe Photoshop, dan lainnya. Hal ini menjadi salah satu pencapaian sanggar yang berdiri sejak 2018 tersebut.
“Karena jarang sekali sanggar seni budaya aware dengan hal tersebut. Misal, Google Adsense buat apa sih. Ternyata kita butuh loh dan nominalnya lumayan. Kami dapat itu selama lima tahun secara gratis. Donor perusahaan teknologi partner juga gratis. Zoom itu kita hanya bayar 5% dari harga berlangganan aslinya,” ujar perempuan berusia 30 tahun ini.
Kesempatan itu tak lepas dari wawasan Reny yang memang telah berkecimpung di sektor teknologi sejak awal memulai karier. Ia pun membagi tips kepada para sanggar lainnya. Dengan berbagi tips, diharap bisa lebih mencegah kian banyaknya sanggar yang terpaksa gulung tikar atau menghentikan kegiatan sementara waktu.
Donor teknologi seperti yang Omah Wulangreh dapatkan, bisa dicari pada Google for Non-profit. Awalnya adalah enggan cara mendaftarkan organisasi yakni sanggar seni budaya. Pemilik sanggar harus bersabar dan teguh memenuhi beragam syarat yang ditetapkan Google, seperti menunjukkan bukti legalitas organisasi dan dokumen lainnya.
Kemudian, organisasi yang mengajukan, menunggu persetujuan Google Asia Pasifik dan regional.

Empat Tahun
Perjalanan panjang Reny selama empat tahun membangun ‘ruang’ berkembangnya seni dan budaya melalui kursus berbayar, nyatanya tidak selalu mulus. Sebab, culture hub versinya ini, dibangun dari nol. Mulai dari restorasi tempat menggunakan barang-barang bekas untuk dijadikan kursi dan meja, hingga merumuskan biaya kursus agar sanggar ini mampu menghidupi dirinya sendiri.
Rencana itu, disambut baik oleh peserta didik yang mulai sadar menghargai keberadaan sanggar serta waktu dan ilmu yang diberikan oleh pengajar. Ia mengaku tidak bisa menyebutkan nominal modal untuk membangun sekolah informal tersebut. Karena semua tenaga dan uang yang keluar pada awal berdirinya Omah Wulangreh tidak pernah dihitung, dengan alasan, dirinya dan suami senang melakukannya.
Akan tetapi, kerja kerasnya selama ini sudah terbayar dan terlihat pada awal menuju pertengahan 2021 dengan peningkatan revenue hampir 100% dibandingkan kondisi sebelum pandemi Covid-19. Hal ini didapat setelah Omah Wulangreh beradaptasi dan menemukan formula pembelajaran jarak jauh yang tepat bagi berbagai kelas yang diselenggarakan.
Sementara pada tahun-tahun sebelumnya, bisnis jasa kursus seni budaya ini diakui belum menunjukkan pertumbuhan signifikan dari 2018 ke 2019 karena masih dalam tahap merintis alias masih dalam proses lepas dari dukungan modal pribadi.
“Pada awal pandemi, kita survive-nya gila-gilaan sih,” cetusnya.
Reny sempat meninggalkan pekerjaan utamanya di perusahaan teknologi selama 1,5 tahun untuk mengembangkan sistem pengelolaan Omah Wulangreh supaya menjadi usaha yang auto pilot. Tak sia-sia, dari membuka dua kelas tari berisikan empat orang peserta, saat ini Omah Wulangreh telah membuka 12 kelas tari dengan total peserta didik sekitar 150 orang.
Ragam kursus yang diselenggarakan juga menjadi beragam, dimulai dengan kelas tari tradisional dan aksara daerah, kini Omah Wulangreh telah membuka kelas gamelan, karawitan, melukis, membatik, hingga yoga. Terhitung sampai 2019 saja, sanggar ini telah mengadakan lebih dari 668 workshop dengan total murid 3.300 orang dan 1.320 jam pembelajaran.
Pertumbuhan Omah Wulangreh tak lepas dari peran anggotanya, termasuk peserta didik yang secara tidak langsung menjadi agen pemasar. Dengan teknik word of mouth atau mulut ke mulut, banyak peserta didik baru yang tertarik belajar seni budaya di tempat ini karena melihat dan mendengar testimoni orang-orang yang pernah belajar di sini.
Menariknya, peserta yang bergabung belajar seni budaya di sanggar milik Reny dan Anda ini, terlihat serius mendalami ketertarikannya pada warisan tak benda Indonesia. Terbukti dari persentase kebertahanan murid yang meningkat pada setiap kelas seni atau budaya.
Pada awal Omah Wulangreh merintis, murid yang bertahan mengikuti kelas sampai selesai dengan masa pendidikan tiga bulan, maksimal mencapai delapan orang. Artinya ada tujuh orang yang tidak bisa komitmen mengikuti kelas sampai lulus ujian atau selesai masa pendidikan.
Sementara, tahun ini, rata-rata murid yang tidak bisa mengikuti kelas sampai selesai masa pendidikan, maksimal hanya dua orang. Pada saat sama, pengelola juga terpaksa membatasi penerimaan peserta karena antusias masyarakat yang semakin meningkat.
Cita-cita dia dan pasangannya untuk membangun sebuah sanggar pun tercapai. Minat Reny terhadap dunia seni dan budaya–yang juga ia geluti dengan menari tradisional sampai usia kerja– bisa diteruskan kepada generasi selanjutnya.
“Kuncinya hanya niat. Kalau sudah niat ya dilakoni enak-enak aja,” pungkasnya.