c

Selamat

Minggu, 5 Mei 2024

EKONOMI

20 Desember 2022

16:34 WIB

Bank Mandiri Ramal Inflasi RI Sentuh 5,4-5,6% Pada Akhir 2022

Indonesia masih dapat menjadi salah satu hotspot untuk lokasi berinvestasi investor global dan domestik.

Penulis: Fitriana Monica Sari

Editor: Fin Harini

Bank Mandiri Ramal Inflasi RI Sentuh 5,4-5,6% Pada Akhir 2022
Bank Mandiri Ramal Inflasi RI Sentuh 5,4-5,6% Pada Akhir 2022
Ilustrasi inflasi. Penjual melayani pembeli di Pasar Cibinong, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Kamis (1/12/2022). Antara Foto/Yulius Satria Wijaya

JAKARTA - Chief Economist PT Bank Mandiri (Persero) Tbk, Andry Asmoro memprediksi tingkat inflasi akhir tahun 2022 lebih rendah dari konsesus pasar yang memperkiraan inflasi sebesar 6,7% secara tahunan (year on year/yoy). 

Pihaknya memproyeksikan inflasi pada akhir tahun ini bisa berada di atas 5%, atau tepatnya pada kisaran 5,4% hingga 5,6% yoy. 

Andry mengungkapkan bahwa perekonomian Indonesia melanjutkan kinerja yang cukup baik di sepanjang kuartal IV-2022 ini. Salah satunya tercermin dari angka inflasi di dua bulan terakhir yang dapat dikendalikan oleh Pemerintah, sehingga secara year to date/ytd inflasi baru mencapai 4,82% pada November. 

"Jika kita gunakan asumsi tingkat inflasi rata-rata di bulan Desember, maka inflasi akhir tahun 2022 diperkirakan berada pada kisaran 5,4% hingga 5,6%. Angka inflasi ini jauh lebih baik dibandingkan dengan konsensus pasar yang memperkirakan inflasi pada akhir tahun bisa tembus 6,7%," jelas Andry dalam media gathering & presentasi macroeconomic outlook, Selasa (20/12). 

Kemudian, lanjut dia, kinerja neraca perdagangan Indonesia juga masih sangat baik dengan dukungan sektor komoditas. Pada November, neraca perdagangan mencatatkan surplus US$5,16 miliar atau setara dengan Rp80,51 triliun (asumsi kurs Rp15.604,05 per dolar AS), melanjutkan surplus sepanjang 31 bulan terakhir. 

Dengan neraca perdagangan tersebut, kata Andry, dapat dipastikan Neraca Transaksi Berjalan (NTB) atau Current Account Balance Indonesia akan mengalami surplus dalam kisaran 1% dari PDB. 

Sementara itu, aliran modal asing kembali masuk ke dalam pasar obligasi Indonesia. Hal itu seiring dengan concern investor global yang mulai berubah dari tingkat inflasi ke tingkat pertumbuhan ekonomi global, terutama di Amerika Serikat (AS). 

Investor asing mulai masuk ke pasar Obligasi Pemerintah RI dalam satu setengah bulan terakhir. Tercatat nett buy investor asing mencapai Rp46,6 triliun dalam periode tersebut. Sehingga, kepemilikan asing di pasar obligasi saat ini mencapai 14,7% atau lebih tinggi dibandingkan posisi awal November lalu yang mencapai 13,9%.   

Ke depan, Andry optimistis bahwa Indonesia masih dapat menjadi salah satu hotspot untuk lokasi berinvestasi investor global dan domestik. 

"Kami meyakini potensi berbaliknya investor portofolio asing masih cukup besar ke depannya seiring dengan naiknya ekspektasi bahwa suku bunga acuan akan mencapai peak di 1H23 dan kemudian kembali menurun di tahun 2024," ujarnya. 

Pertumbuhan Ekonomi
Secara sektoral, Andry mengatakan, perekonomian menunjukan kinerja yang semakin membaik pada Kuartal III-2022. Sektor-sektor terkait mobilitas seperti sektor transportasi serta hotel dan restoran telah menunjukan peningkatan aktivitas yang signifikan. 

Sektor-sektor lain pun, sambungnya, menunjukan kinerja pertumbuhan yang semakin solid dengan mayoritas sektor sudah memiliki level aktivitas ekonomi yang jauh melebihi level sebelum pandemi covid-19 tahun 2019. 

"Periode liburan Natal dan Tahun Baru 2022 diharapkan bisa menjadi momentum akselerasi pertumbuhan ekonomi untuk sektor-sektor terkait mobilitas tersebut," tambah Andry. 

Namun, tingkat belanja masyarakat berbeda dari pola-pola di tahun sebelumnya. Pasalnya, tingkat belanja sejak awal Juni 2022 hingga awal Desember 2022 masih terus dalam pola flat di sekitar level pra-Ramadan, kurang lebih telah berlangsung enam bulan terakhir. 

Lebih detil, menurut Andry, belanja di November 2022 lebih rendah dibanding Oktober 2022. Hal ini berkebalikan dengan pola di tahun-tahun sebelumnya, di mana belanja terus dalam tren meningkat sejak September hingga Desember. 

"Dengan kondisi ini, belanja di 4Q22 kemungkinan hanya tumbuh tipis dibanding 4Q21. Dengan kondisi pemulihan sektoral dan konsumsi yang masih flat, kami masih mempertahankan view kami bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2022 akan mencapai 5,17% dan kemudian melandai ke 5% di 2023," papar dia. 

Sementara dari sektor perbankan, fungsi intermediasi perbankan terus mengalami akselerasi hingga bulan Oktober. Tercatat pertumbuhan kredit mencapai 11,95% atau jauh lebih tinggi dibandingkan data bulan Agustus. 

"Office of Chief Economist memproyeksikan pertumbuhan kredit akan berada pada 10,1% di tahun 2023, relatif flat dibandingkan tahun 2022," kata Andry. 

Tantangan Ekonomi Global
Di sisi lain, Andry menyebut tantangan ekonomi global masih sangat besar dan ketidakpastian semakin meningkat pada tahun 2023. 

OECD dalam laporan terakhirnya menyebutkan bahwa pertumbuhan ekonomi global akan menurun ke 2,2% tahun 2023, sedangkan IMF memperkirakan ke 2,7%. Padahal, OECD dan IMF sebelumnya memperkirakan pertumbuhan ekonomi global berada di 3%-an. 

"Kenaikan kasus covid-19 kembali di China juga menjadi faktor yang dapat membawa perekonomian global menurun," imbuhnya. 

Perlambatan ekonomi global tersebut dipercaya akan berpengaruh kepada kinerja ekspor, investasi, dan bisnis di Tanah Air. Dua lembaga tersebut pun memperkirakan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia akan melandai ke 4,7% dan 5% tahun depan, dari level di atas 5% tahun ini, karena dampak dari penurunan kinerja ekspor dan investasi. 

Namun menariknya, dua lembaga itu memperkirakan bahwa tahun berikutnya ekonomi global dan Indonesia akan lebih tinggi. Bahkan, lembaga di dunia memperkirakan perekonomian dunia pada tahun 2024 akan kembali meningkat. 

"Jika kita melihat cycle yang demikian, kami meyakini bahwa dunia bisnis dan perekonomian Indonesia memiliki peluang untuk tetap tumbuh lebih baik dibandingkan negara berkembang lainnya," tuturnya. 

Jika menilik ke belakang, pada tahun 2008-2009 saat Krisis Finansial Global, pertumbuhan AS mengalami kontraksi minus 2,6%, sedangkan Euro Area terkontraksi minus 4,5% di 2009. Saat itu, Indonesia masih dapat tumbuh di 4,7% dan kemudian pulih pada tahun berikutnya. 

Sementara pada tahun depan, kondisinya diproyeksikan relatif lebih baik dibandingkan resesi negara maju di Krisis Finansial Global tersebut. IMF dan OECD memperkirakan Euro Area dan AS akan tumbuh di kisaran 0,5–1,0%. Sedangkan, China akan tumbuh lebih baik ke kisaran 4,4–4,6%. 

"Dengan kondisi tersebut, kita tentu berharap meskipun mengalami perlambatan, Indonesia masih terus melanjutkan pemulihan walaupun terbatas pada sektor yang berbasis ekonomi domestik. Walaupun demikian, kita tetap perlu memantau potensi pasar ekspor ke negara-negara yang mengalami inflasi yang tinggi dengan produk-produk kita yang lebih kompetitif," pungkas Andry.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar