18 Februari 2022
20:51 WIB
Editor: Fin Harini
JAKARTA – Perebakan omicron diikuti angka kasus positif covid-19 yang pecah rekor membuat Maya (27) masgyul. Guru musik itu kembali harus memangkas jam mengajar, yang berbuntut pada berkurangnya penghasilan.
“Kalau kayak gini terus, jangankan beli rumah. Kayaknya malah bisa nggerus tabungan nih,” ujarnya saat berbincang dengan Validnews, beberapa waktu lalu.
Sejak 3 tahun lalu, ia telah mengumpulkan sebagian gajinya untuk uang muka rumah. Kecil pun tak apa, lanjut Maya, asal ada tempat yang membuatnya bisa merasa memiliki privacy, dan menikmati hidup.
“Apalagi aku tuh domestik banget. Pinginnya abis kerja di rumah aja, masak atau natain rumah gitu nantinya. Kalau di kosan kan terbatas. Dapur juga bareng-bareng, harus gantian sama teman-teman,” ujarnya.
Meski kini tabungannya sudah cukup untuk membayar dp rusunami yang ia incar, namun kondisi ekonomi membuat ia tak percaya diri menjalankan niatnya. “Kan penghasilan jadi nggak tetap,” imbuhnya.
Sedangkan, untuk membeli rumah tapak membuatnya berhitung jarak tempuh dan ongkos transportasi yang harus ia keluarkan nantinya. Maklum, Jakarta dengan segala kepadatan transportasi membuat perhitungan harus lebih detil.
Rumah menjadi salah satu kebutuhan yang diidam-idamkan setiap individu. Keberadaan rumah dibutuhkan bukan hanya sekadar untuk berlindung dan berteduh, tetapi juga tempat bertumbuh hingga tua. Apalagi, karena hidup nggak cuma tentang hari ini.
Sayangnya, urusan membeli rumah tak semudah membalikkan tangan. Tercermin dari upaya pemerintah untuk mengejar pemenuhan kebutuhan rumah. Sejak 2015 Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah mencanangkan Program Sejuta Rumah agar dapat memenuhi kebutuhan papan masyarakat Indonesia. Pada saat itu, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat rumah tangga yang memiliki rumah sendiri mencapai 82,63%.
Sejak dicanangkan pada 2015, hingga saat ini jumlah hasil pembangunan Program Sejuta Rumah di Indonesia terus meningkat. Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) melalui Direktorat Jenderal Perumahan mencatat angka capaian ini pada 2015 sebanyak 699.770 unit, pada 2016 sebanyak 805.169 unit, pada 2017 sebanyak 904.758 unit.
Selanjutnya pada 2018, Program Sejuta Rumah mencapai 1.132.621 unit, lalu 2019 1.257.852 unit dan pada 2020 lalu saat pandemi covid-19 melanda jumlahnya sekitar 965.217 unit rumah. Teranyar, pada 2021 tercatat realisasi Program Sejuta Rumah berhasil membangun 1.105.707 unit rumah di seluruh Indonesia. Namun, masih dari catatan BPS, jumlah rumah tangga yang memiliki rumah justru turun menjadi 81,08%.
Meski demikian, mimpi besar pemimpin negeri untuk rumah yang layak bagi seluruh masyarakat Indonesia patut diapresiasi. Center of Reform on Economics (Core) Indonesia menilai peningkatan produksi unit Program Sejuta Rumah setiap tahunnya menunjukkan antusias masyarakat untuk ikut serta dalam program perumahan yang ditawarkan pemerintah.
Peneliti Senior Core Indonesia Yusuf Rendy Manilet menuturkan, antusias tersebut terlihat dari meningkatnya permintaan kredit perumahan terutama untuk kelompok yang disasar yaitu masyarakat berpendapatan rendah (MBR).
"Lebih jauh kita lihat bahwa pelaksanaan program ini juga melanjutkan beberapa kebijakan perumahan nasional yang sebelumnya telah termaktub dalam beberapa peraturan perundangan-undangan," katanya kepada Validnews di Jakarta, Jumat (18/2).
Yusuf menambahkan, jika bicara dampak ke perekonomian, investasi pembangunan perumahan bisa memberikan efek multiplier ke beberapa kelompok usaha penyokong seperti misalnya semen, listrik, air dan gas.
Selain itu, pembangunan perumahan juga disebut akan berdampak pada penyerapan tenaga kerja buruh dalam pembangunan rumah itu sendiri.
"Hanya, sesungguhnya kita paham bahwa target utama dalam program sejuta rumah ini untuk mengisi backlog perumahan yang memang sebelumnya terjadi dalam 10 tahun ke belakang," ujarnya
Yusuf memandang Program Sejuta Rumah sangat berdampak signifikan terhadap penurunan backlog perumahan yang ada di Tanah Air. Apalagi, program ini secara inklusif menyasar beragam kelompok penghasilan, mulai dengan penghasilan kurang dari Rp2 juta hingga di atas itu.
Sasaran dari pembangunan perumahan MBR pun juga dinilai cukup beragam dari sisi jenis pekerjaan masyarakat. "Sehingga poinnya semakin inklusif, maka semakin besar pula peluang program ini bisa diakses luas oleh kelompok yang memang membutuhkannya," ucapnya.
Ia juga menambahkan, meskipun terdengar klise tapi sosialisasi yang lebih masif memang merupakan hal yang masih bisa dikerjakan untuk peningkatan optimalisasi dari program ini. "Apalagi untuk kelompok MBR saya rasa belum banyak yang begitu paham terutama detail pemanfaatannya," imbuhnya.
Kurangi Kesenjangan
Adanya Program Sejuta Rumah memang bukan tanpa alasan. Sebab, BPS dalam Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2020 mencatat kesenjangan antara pasokan dan kebutuhan (backlog) perumahan meningkat menjadi 12,75 juta unit.
Pun berdasarkan data Kementerian PUPR, backlog perumahan mencapai 7,64 juta unit per awal 2020. Angka ini terdiri atas 6,48 juta rumah MBR non-fixed income, 1,72 juta unit rumah untuk MBR fixed income, dan 0,56 juta unit rumah untuk non-MBR.
Selain itu, data menunjukkan backlog perumahan juga terjadi pada rumah tidak layak huni (RTLH) ini sebanyak 2,36 juta unit rumah terdiri atas backlog RTLH 2015 hingga 2019.
Terdapat banyak faktor penyebab backlog perumahan. Antara lain tingginya tingkat populasi, jumlah pasokan hunian untuk masyarakat berpenghasilan rendah sangat terbatas, kemampuan rumah tangga membeli rumah hunian masih rendah, hingga jumlah rumah tidak layak huni yang masih banyak.
Melihat hal tersebut, PT Bank Tabungan Negara (BTN) Persero mengakui memang masih ada backlog perumahan yang mesti ditangani.
Direktur Utama BTN Haru Koesmahargyo mengatakan hal itu sudah menjadi tugas pelaku usaha di ekosistem perumahan untuk mengatasi masalah ini. Ia bilang, di sinilah peran pelaku usaha di ekosistem perumahan betul-betul dibutuhkan.
“Dan BTN merupakan salah satu bank yang membiayai dan bahkan kita porsi perumahannya sangat besar,” katanya dalam Property Outlook: Lari Kencang Sektor Properti di Tahun Macan, Jakarta, Kamis (17/2).
Oleh karena itu, Haru mengatakan BTN akan melakukan transformasi pada 2022. Ia menuturkan, hal ini dilakukan agar biaya proses kredit lebih efisien, lebih cepat, dan lebih akurat.
BTN, lanjutnya, akan melakukan sentralisasi kantor-kantor cabang agar proses operasional yang berulang bisa terpusat dan perseroan lebih fokus kepada penjualan. “Ini bisa memotong biaya cukup signifikan dan tentu kita juga membuka segmen bisnis baru kita tahu ada segmen bisnis milenial,” ujarnya.
Yusuf Rendy Manilet memandang peran perbankan khususnya BTN sangat penting karena skema yang umum digunakan oleh masyarakat luas untuk mengakses pembelian rumah, yaitu melalui kredit pemilikan rumah (KPR) dan institusi yang umum/bisa menjalankan program ini ialah perbankan.
"Lebih spesifik peran BTN lebih penting karena memang pengalaman panjang dari BTN yang menyediakan pembiayaan perumahan," ujarnya.
Yusuf menambahkan, apalagi BTN memegang proporsi KPR hingga 39% dan menjadi salah bank penyedia KPR terbesar di Menurutnya, apa yang dilakukan BTN selama ini perlu dipertahankan.
"Saya kira, apa yang telah dilakukan oleh BTN selama ini bisa tetap dipertahankan dan seperti yang kita tahu bahwa saat ini BTN juga telah berkolaborasi dengan BP TAPERA, dan saya kira ini program ini akan salah satu pendorong lanjutan dari program sejuta rumah ke depan," ucapnya.

PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk akan mengoptimalkan penyaluran KPR bagi masyarakat dengan memberikan pembiayaan rumah subsidi sebanyak 200.000 unit setiap tahunnya. ANTARAFOTO/Yulius Satria Wijaya
Terbantu Insentif
Di masa pandemi covid-19, dukungan pemerintah terhadap sektor perumahan pun tidak sedikit. Pada 2022, dukungan Pemerintah kepada sektor perumahan terus berlanjut. Hal ini ditunjukkan dengan kelanjutan insentif pajak pertambahan nilai ditanggung pemerintah (PPN DTP).
Seiring pemulihan sektor konstruksi dan real estat yang sudah tumbuh di atas level prapandemi, insentif PPN DTP 2022 dilanjutkan namun besarnya dikurangi secara terukur.
Untuk itu, kebijakan insentif PPN DTP 2022 diberikan sebesar 50% dari insentif PPN DTP 2021 yaitu 50% atas penjualan rumah paling tinggi Rp2 miliar serta 25% atas penjualan rumah dengan harga di atas Rp2-5 miliar.
Sebelumnya, pemerintah telah memberikan dukungan insentif PPN DTP untuk sektor properti mulai Maret-Desember 2021. Saat itu, PPN DTP diberikan seluruhnya alias 100% bagi hunian dengan nilai jual sampai dengan Rp2 miliar dan PPN DTP sebagian atau 50% diberikan pada hunian dengan nilai jual Rp2-5 miliar.
Tidak hanya itu, Bank Indonesia (BI) yang juga melonggarkan aturan rasio loan to value/financing to value (LTV/FTV) untuk kredit dan pembiayaan properti menjadi hingga 100%.
Selain itu, bank sentral juga menghapus ketentuan pencairan bertahap properti inden untuk mendorong pertumbuhan kredit di sektor properti dengan tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian dan manajemen risiko.
Tetapi, pemberian LTV mencapai 100% ini hanya boleh dilakukan oleh bank yang memenuhi kriteria kesehatan dari sisi rasio kredit bermasalah (non performing loan/NPL) dan rasio pembiayaan bermasalah atau non performing financing/NPF).
Dengan hitungan penerapan aturan rasio LTV/FTV paling tinggi 100% dibedakan antara bank berdasarkan rasio NPL dengan batasan 5%.
Direktur Utama BTN Haru Koesmahargyo pun mengapresiasi kebijakan pemerintah di sektor perumahan ini. “Ini sangat membantu, baik membantu bank maupun membantu konsumen,” ujarnya.
Lebih lanjut, kebijakan yang diambil pemerintah pun membuahkan hasil berupa pertumbuhan sektor ini di tengah pandemi. Haru memaparkan pertumbuhan sektor real estat pada saat pandemi covid-19 masih cukup baik dibandingkan beberapa sektor lainnya.
Pada kuartal IV/2020 industri ini masih bisa tumbuh 1,25% secara tahunan (year on year/yoy), lalu pada kuartal III/2021 juga tumbuh 3,42% yoy, dan kuartal IV/2021 berhasil tumbuh 3,94% yoy.
“Syukur alhamdulillah properti ini cukup tahan ya, walaupun mengalami penurunan di 2020 kemarin namun tidak pernah negatif dan perannya sebagai pendorong sektor lainnya sangat besar multiplier efeknya. Oleh karena itu sudah searah dengan kebijakan pemerintah untuk terus mendorong sektor properti dengan stimulus yang diberikan,” ucap Haru.