c

Selamat

Rabu, 5 November 2025

EKONOMI

20 Oktober 2025

11:31 WIB

B50 Bisa Rugikan RI Rp18 T dan Ancam Daya Saing Sawit, Kok Bisa?

Rencana pemerintah segera beralih ke B50 bisa berdampak negatif terhadap daya saing industri kelapa sawit. Di sisi lain, kebijakan sama juga ikut berdampak pada hilangnya devisa Rp18,15 triliun.

<p>B50 Bisa Rugikan RI Rp18 T dan Ancam Daya Saing Sawit, Kok Bisa?</p>
<p>B50 Bisa Rugikan RI Rp18 T dan Ancam Daya Saing Sawit, Kok Bisa?</p>
Pekerja sedang menumpukan tandan buah segar di salah satu pabrik kelapa sawit di Abdya, Selasa (14//10/2025). Antara/Suprian.

JAKARTA - Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB University) Bayu Krisnamurthi menekankan pentingnya perhitungan cermat oleh pemerintah sebelum menerapkan kebijakan biodiesel B50 pada tahun 2026. Hal ini krusial agar industri sawit nasional dapat terus memiliki daya saing dan kegiatan industrinya bisa berkelanjutan.

Menurutnya, rencana pemerintah untuk menaikkan BBM campuran CPO dari B40 ke B50 bisa berdampak negatif terhadap industri. Mulai dari, menambah beban subsidi energi, menekan ekspor, menaikkan harga minyak goreng, hingga pada akhirnya menggerus daya saing sawit.

“Sudah sejak beberapa tahun ini, Indonesia bukan hanya stagnan produksi sawit, tapi juga stagnan investasi karena kebijakan yang tidak menentu,” kata Bayu di Jakarta, Senin (20/10), melansir Antara.

Baca Juga: Zulhas Bocorkan 3 Kunci Utama Pertumbuhan Ekonomi 2026 Minimal 6%

Kondisi itu juga senada dengan hasil kajian Sekolah Kajian Stratejik dan Global Pusat Penelitian Pranata Pembangunan Universitas Indonesia (Pranata UI).

Kajian Pranata UI menekankan, pentingnya penerapan kebijakan biodiesel nasional secara terukur, adaptif, dan berbasis data ilmiah guna memperkuat agenda transisi energi hijau pemerintah.

Baca Juga: Bahlil Buka Opsi DMO Minyak Sawit Untuk Jalankan Proyek B50

Kebijakan yang mempertimbangkan seluruh faktor serta parameter pada industri kelapa sawit Indonesia secara ilmiah, akan mendukung efektivitas upaya membangun kemandirian energi lewat peningkatan mandatori pencampuran biodiesel dari B40 ke B50.

Indonesia, sebagai produsen dan konsumen minyak sawit terbesar di dunia dengan produksi 48,2 juta ton atau 54% pasokan global, menghadapi tantangan serius dalam mendukung mandatori biodiesel B50.

Kebutuhan produksi domestik diperkirakan harus naik hingga 59 juta ton per tahun, sementara produksi 2025 hanya diproyeksikan mencapai 49,5 juta ton.

Baca Juga: Tutup Keran Impor Solar 2026, Bahlil Siap Mandatkan B50

Simulasi B50 menunjukkan penghematan devisa impor solar sebesar Rp172,35 triliun, namun potensi kehilangan devisa akibat turunnya ekspor CPO bisa mencapai Rp190,5 triliun. Berdasarkan asumsi ini, Indonesia malah bisa kehilangan devisa sekitar Rp18,15 triliun.

“Kondisi ini dapat memperlemah neraca perdagangan, cadangan devisa, dan stabilitas nilai tukar rupiah, apalagi saat harga CPO Indonesia sudah lebih tinggi dari minyak nabati lain, mendorong negara importir seperti India beralih ke komoditas pesaing,” kata Bayu.

Kajian tersebut pun menunjukkan, mandatori biodiesel B50 berdampak pada harga domestik. Harga minyak goreng diperkirakan bisa naik hingga 9% dan TBS naik sekitar Rp618/kg, akibat meningkatnya permintaan bahan baku biodiesel.

Baca Juga: Airlangga: Pemerintah Sedang Uji Jalan B50 di Kereta-Kapal 6 Bulan

Karenanya, Bayu maupun Pranata UI merekomendasikan, agar seluruh pemangku kepentingan mempertimbangkan saksama kapasitas produksi sawit nasional, daya saing ekspor, dan kesejahteraan petani agar manfaat program ini terasakan secara menyeluruh.

“Kita perlu keseimbangan antara target energi, ekspor, dan kesejahteraan petani. Sawit Indonesia ini luar biasa kuat, tidak mungkin kalah, kecuali kalau kita sendiri yang membuatnya kalah,” ujar Bayu yang juga sempat menjabat sebagai Menteri Perdagangan RI keenam itu.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar