c

Selamat

Sabtu, 15 November 2025

EKONOMI

14 Februari 2023

14:08 WIB

Aturan BBM Subsidi Direvisi, Rinci Konsumen Pertalite hingga Solar

Pada revisi Perpres Nomor 191 Tahun 2014 itu, terdapat penyempurnaan rincian konsumen yang berhak menikmati JBT dan JBKP.

Penulis: Yoseph Krishna

Aturan BBM Subsidi Direvisi, Rinci Konsumen Pertalite hingga Solar
Aturan BBM Subsidi Direvisi, Rinci Konsumen Pertalite hingga Solar
Antrean panjang pengendara motor saat mengisi bahan bakar jenis Pertalite di SPBU COCO Kuningan, Jak arta Selatan, Rabu (31/08/2022). ValidnewsID/Fikhri Fathoni

JAKARTA – Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Tutuka Ariadji menyebutkan pihaknya tengah mempercepat proses revisi Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 191 Tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Harga Jual Eceran BBM.

Dalam Rapat Dengar Pendapat bersama Komisi VII DPR, Tutuka menjelaskan revisi Perpres Nomor 191 Tahun 2014 itu dilakukan dengan pertimbangan pengaturan Jenis BBM Tertentu (JBT) dan Jenis BBM Khusus Penugasan (JBKP) supaya lebih tepat sasaran.

"Saat ini belum ada pengaturan konsumen pengguna untuk JBKP. Sedangkan pengaturan konsumen pengguna JBT yang berlaku juga masih terlalu umum sehingga menimbulkan multitafsir," ungkapnya di Jakarta, Selasa (14/2).

Pertimbangan lainnya ialah mengacu pada APBN 2023. Kuota JBT Solar ditetapkan sebesar 17 juta kilo liter (kl), serta kuota minyak tanah sebesar 500 ribu kl. Kuota yang ditetapkan itu, lanjutnya, masih di bawah proyeksi konsumsi JBT tahun 2023.

Untuk JBKP, Tutuka mengatakan realisasi konsumsi sepanjang 2020-2022 menjadi acuan penetapan kuota untuk tahun ini sebesar 32,56 juta kl. Angka tersebut menandakan pertumbuhan sebesar 10,38%.

Dari sederet pertimbangan itu, Tutuka meyakini revisi Perpres Nomor 191 Tahun 2014 sangat penting dilakukan bukan hanya untuk penyaluran BBM subsidi yang tepat sasaran, tetapi juga menghindari potensi overkuota JBT Solar dan JBKP Pertalite.

"Harus ada pengaturan konsumen pengguna lewat revisi Perpres Nomor 191 Tahun 2014, supaya bisa dilakukan pengendalian konsumsi menjadi lebih tepat sasaran," kata Tutuka.

Baca Juga: Pertamina Perluas Uji Coba QR Code untuk Beli BBM Subsidi

Pada revisi Perpres Nomor 191 Tahun 2014 itu, ia juga mengatakan terdapat penyempurnaan rincian konsumen yang berhak menikmati JBT dan JBKP. Selain itu juga, terdapat penambahan komoditas JBKP bensin atau gasoline RON 90.

Rincian konsumen pada Perpres Nomor 191 Tahun 2014 untuk JBT Kerosene atau minyak tanah sendiri tidak mengalami perubahan pada revisinya, yakni mencakup rumah tangga, usaha mikro, dan usaha perikanan.

Sedangkan untuk minyak solar, rincian konsumen pengguna yang sebelumnya hanya mencakup usaha mikro, usaha perikanan, usaha pertanian, transportasi, dan pelayanan umum disempurnakan menjadi industri kecil, usaha perikanan, pertanian, transportasi darat, transportasi laut, transportasi perkeretaapian, dan pelayanan umum.

"Terdapat pula tambahan JBKP bensin (gasoline) RON 90 dimana sektor konsumen pengguna meliputi industri kecil, usaha perikanan, usaha pertanian, transportasi, dan pelayanan umum," ucapnya.

Belum ada Persetujuan Izin Prakarsa
Lebih lanjut, Tutuka mengakui hingga kini belum ada persetujuan izin prakarsa kepada Kementerian ESDM sekalipun pada 31 Januari 2023 lalu, telah dilakukan rapat klarifikasi oleh Kementerian Sekretariat Negara atas permohonan izin prakarsa.

"Dalam rapat itu, Kementerian Sekretariat Negara masih meminta arahan pimpinan atas keberlanjutan pemberian izin prakarsa kepada Kementerian ESDM," jelas dia.

Pembahasan revisi atau perubahan keempat atas Perpres 191 Tahun 2014 sendiri sudah dimulai pada 29 Juni 2022. Kementerian ESDM awalnya menyampaikan permohonan persetujuan izin prakarsa kepada Kementerian BUMN.

Kemudian pada 1 Agustus 2022, Kementerian BUMN dalam Rapat Panitia Antar Kementerian (PAK) berkomitmen untuk mengembalikan izin prakarsa dan tidak melanjutkannya kepada Menteri Sekretaris Negara.

"Lalu pada 26 Desember 2022, terbitlah Surat Mensesneg kepada Menteri ESDM yang meminta hasil kajian komprehensif terkait revisi Perpres Nomor 191 Tahun 2014 untuk dilaporkan kepada Presiden Joko Widodo. Hingga saat ini, belum ada izin prakarsa tersebut kepada Kementerian ESDM," kata Tutuka.

Sebelumnya, Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Eddy Soeparno meminta pemerintah untuk segera mempercepat revisi Perpres 191 tahun 2014 sebagai payung hukum untuk pengendalian BBM bersubsidi ke depan. 

Keakurasian data terpadu sebagai format pemberian subsidi menjadi hal yang perlu ditingkatkan guna mencegah terjadinya dualisme harga BBM subsidi agar lebih tepat sasaran.

"Data saat ini yang Kita gunakan adalah Data Terpadu Kemensos, itu pun masih dalam proses untuk kita tingkatkan lagi keakurasiannya. Maka diperlukan satu bentuk dan format pemberian subsidi yang yang lebih tepat sasaran untuk mencegah terjadinya dualisme harga yang kemudian bisa berujung pada penggunaan subsidi yang digunakan oleh pihak-pihak yang sebenarnya tidak berhak untuk menerima jadi subsidi itu tidak mubazir," jelas Eddy usai memimpin Kunjungan Kerja Spesifik Komisi VII DPR RI ke TBBM Rewulu DIY, Jateng, Kamis (9/2). 

Baca Juga: Siap-Siap, Pemerintah Akan Terapkan Kuota Harian BBM Bersubsidi

Untuk itu Eddy mengusulkan ke depan perlu adanya pola yang berbeda di dalam mendistribukan produk-produk bersubsidi. 

"Sebaiknya subsidi diberikan langsung kepada para penggunanya atau masyarakatnya jadi masyarakat yang memang berhak menerima subsidi diberikan subsidinya itu dalam bentuk tunai ke rekening masing-masing dan harga LPG di pasaran itu satu harga, sehingga tepat sasaran. Ini salah satu usulan yang Kami berikan tapi memang membutuhkan keakurasian data," tuturnya. 

Menanggapi hal tersebut, Anggota Komite BPH Migas Abdul Halim menyampaikan saat ini pihaknya bersama dengan Pertamina dan Patra Niaga mendorong sistem digitalisasi penggunaan aplikasi MyPertamina yang dimaksudkan untuk memastikan proses penyaluran BBM subsidi benar-benar tepat sasaran. 

"Proses digitalisasi diawali di 11 Kabupaten/Kota dan bulan Maret nanti sudah mencapai 510 Kabupaten/Kota di seluruh Indonesia. Dengan harapan subsidi, dan konsumen nantinya terdata secara baik, guna meminimalisasi penyalahgunaan subsidi," kata Abdul Halim.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar