05 Mei 2023
15:30 WIB
Penulis: Sakti Wibawa
JAKARTA – Potensi default atau gagal bayar utang Amerika Serikat (AS) dinilai kemungkinan kecil terjadi. AS diyakini dapat bangkit dari krisis yang terjadi, mengingat potensi gagal bayar bukan kali ini saja terjadi di negeri Paman Sam.
"Kalau dilihat dari history mereka hampir tidak mungkin gagal bayar, meskipun saat ini mereka ada tendensi ke sana. Mereka selalu mempunyai caranya tersendiri untuk mengatasi hal tersebut," kata Pengamat Ekonomi Universitas Indonesia Fithra Faisal Hastiadi kepada Validnews, Jumat (5/5).
Dia menyebutkan, AS pernah mengalami 23 kali government shutdown sepanjang 1976 sampai saat ini. Namun, selalu ada cara dari parlemen AS untuk mengatasi itu, misalnya dengan melakukan restrukturisasi.
"Jadi untuk AS sendiri, sesuatu seperti gagal bayar, hampir to big to failed atau hampir tidak mungkin itu terjadi," serunya.
Dilihat dari simulasinya, sektor keuangan di Amerika Serikat dengan Indonesia juga tak memiliki keterkaitan yang terlalu erat. Dia mencontohkan, pada peristiwa krisis pada 2008, Indonesia tidak terdampak signifikan.
"Karena memang sektor keuangan kita belum sepenuhnya terintegrasi dengan sektor keuangan global, bahkan regional juga belum. Untuk itu dampak jangka pendek dan menengah sendiri belum terlalu besar," cetusnya.
Dari sisi simulasi gagal bayar AS juga menunjukkan, efek yang diberikan bukanlah efek menular namun lebih ke arah co movement. Hal tersebut berbeda jika gagal bayar tersebut terjadi di Asia. Hal itu akan memberikan efek menular kepada Indonesia, dikarenakan atribut industri kreatif yang relatif mirip.
"Dikarenakan letak geografisnya jauh dan juga struktur ekonominya juga berbeda, maka saya rasa gagal bayar Amerika Serikat ini tidak akan terlalu berdampak besar kepada Indonesia," ungkapnya.
Kalau pun terjadi, lanjutnya, dampak yang paling cepat akan dirasakan adalah ke sisi nilai tukar. Bisa berefek positif, bisa juga negatif. Itupun kemungkinan besar tidak akan berdampak terlalu besar buat Indoensia.
Modal Asing
Dampak positif buat rupiah didapat jika para investor mencari tempat yang lebih aman. Sebaliknya, bisa juga terjadi capital out flow dari industri keuangan Indonesia.
"Setidaknya sampai saat ini, nilai rupiah juga terus menguat dilihat dari November tahun lalu mencari Rp15.700 saat ini berada pada posisi Rp14.200, itu menunjukkan rupiah kita berdampak positif," paparnya.
Sekadar catatan, Bank Indonesia (BI) mencatat aliran modal asing masuk pada 26-27 April 2023 tercatat sebesar Rp6,02 triliun. Terdiri atas Rp3,81 triliun ke pasar Surat Berharga Negara (SBN) dan Rp2,21 triliun ke pasar saham.
Pada pekan terakhir April 2023, transaksi dibuka pada 26 April 2023 setelah libur karena cuti bersama Lebaran Idulfitri 1444 H. Sementara itu, selama tahun kalender berjalan sejak awal tahun atau berdasarkan data penyelesaian transaksi (settlement) sampai 27 April 2023, BI mencatat modal asing masuk Rp60,73 triliun ke pasar SBN dan Rp13,63 triliun di pasar saham.
Adapun pada pekan keempat April 2023, premi Credit Default Swap (CDS) tenor 5 tahun, yang mengukur premi risiko investasi, menurun ke 93,67 basis poin per 27 April 2023 dari 94,53 basis poin per 21 April 2023. Sementara itu, imbal hasil (yield) SBN 10 tahun turun 6,52% dan yield surat utang AS (US treasury) 10 tahun turun ke level 3,520%.

Ekonomi Domestik
Selain itu, kondisi fundamental ekonomi Indonesia saat ini juga cukup terjaga. Misalnya saja, tren perdagangan internasional Indonesia yang masih tercatat surplus yang menggambarkan perekonomian domestik sudah muali menggeliat.
Menurut Fithra, Indonesia juga memiliki input produksi yang sangat berlimpah. Hal inilah yang tidak dimiliki oleh negara-negara yang saat ini ekonominya sedang tertekan.
"Sehingga tekanan inflasi terhadap produksi kita ini tidak terlalu besar, setidaknya lebih baik dibandingkan negara-negara maju lainnya, negara lain kan mengalami kelangkaan disitu," paparnya.
Fithra menilai, beberapa kebijakan moneter dan fiskal juga saat ini sangat baik. Memang, sempat terjadi defisit yang sangat besar pada saat pandemi, namun saat ini defisitnya sudah luruh di bawah 3%.
Sementara itu, Ekonom Makro Dan Pasar Keuangan Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM), Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas indonesia (FEB UI) Teuku Riefky menyebut, krisis perbankan AS, memang tetap berpotensi memperlambat laju perekonomian negara berkembang, tak terkecuali Indonesia.
Dia menyebutkan, rentetan gejolak perbankan yang terjadi baru-baru ini dapat mempengaruhi kondisi negara berkembang setidaknya dalam dua hal.
Pertama, yakni melalui peningkatan risiko di pasar keuangan global yang mendorong investor untuk mengalihkan portfolio mereka dari aset yang relatif berisiko ke aset yang lebih aman.
“Ini terlihat dari peningkatan Credit Default Swap (CDS) 5 tahun AS dan indeks volatilitas sebagai proksi dari peningkatan risiko dan ketidakpastian,” kata Riefky, di Jakarta, Kamis.
Diperkirakan, hal itu berpotensi membuat pasar negara berkembang mengalami pelemahan aliran dana masuk (inflow) atau aliran dana keluar (outflow).
Kedua, berlanjutnya tren kenaikan suku bunga oleh Bank Sentral AS atau Federal Reserves (The Fed) kemungkinan akan menurunkan permintaan ekspor Indonesia oleh AS, dan juga menurunkan impor Indonesia dari AS.
“Pada tahun 2022, pangsa ekspor ke AS mencapai sekitar 10% dari total ekspor, sedangkan pangsa impor tercatat sebesar 4,9% dari total impor. Oleh karena itu, dinamika terkini di sektor perbankan AS kemungkinan akan mempengaruhi, meskipun secara halus, kinerja perdagangan Indonesia secara keseluruhan,” ujar Riefky.
Di samping itu, gejolak krisis perbankan AS juga berpotensi mengakibatkan dampak tidak langsung melalui depresiasi rupiah yang dapat membuat impor Indonesia relatif lebih mahal.
Namun, Riefky melanjutkan, mengingat rendahnya keterbukaan perdagangan Indonesia secara keseluruhan, 46% dari Produk Domestik Bruto (PDB), beban dari runtuhnya Silicon Valley Bank (SVB) pada kasus ini seharusnya tidak begitu signifikan.
Juni 2023
Sekadar mengingatkan, Menteri Keuangan Janet Yellen baru-baru ini mengungkapkan kekhawatirannya soal potensi default utang AS.
"Perkiraan terbaik kami adalah bahwa kami tidak akan dapat terus memenuhi semua kewajiban pemerintah pada awal Juni, dan berpotensi paling cepat 1 Juni (2023), jika Kongres tidak menaikkan atau menangguhkan batas utang,” tuturnya.
Pertengahan Juni adalah periode penting untuk pembicaraan plafon utang karena ini adalah waktu berikutnya bagi Departemen Keuangan AS, untuk melihat masuknya uang yang cukup besar. Wajib Pajak akan memberikan angsuran kedua dari taksiran pajak mereka untuk tahun 2023 sekitar waktu itu.
Dalam suratnya, Yellen mengakui, pemerintah masih bisa bertahan hingga tanggal 15 Juni. Namun, dia menambahkan, bisa saja, tanggal sebenarnya Departemen Keuangan melakukan tindakan luar biasa bisa beberapa minggu lebih lambat dari perkiraan ini.
Pada 27 April, rekening umum Departemen Keuangan memiliki saldo akhir sekitar US$296,2 miliar. Neraca dapat membaik untuk beberapa hari lagi karena pengembalian pajak akhir April diproses sebelum memulai penurunan bertahap.
Para ahli khawatir bahwa keseimbangan mencapai nol-dan default yang akan mengikuti-dapat memicu penurunan tajam di pasar dan kemungkinan menyebabkan resesi langsung dengan dampak ekonomi lebih lanjut yang dirasakan di seluruh dunia.