07 April 2025
20:46 WIB
APINDO Usul Pemerintah Nego ke AS Untuk Perbanyak Impor Kapas
APINDO meminta pemerintah meningkatkan impor kapas untuk memenuhi kebutuhan produksi tekstil dan apparel untuk diekspor. Hal ini sebagai bagian dari negosiasi tarif resiprokal.
Penulis: Erlinda Puspita
Editor: Fin Harini
Ilustrasi. GM Huafu Textile Co Ltd Li Qiang (kanan) menunjukkan produk kapas yang hendak diproses menjadi benang di Prefektur Aksu, Daerah Otonomi Xinjiang, China, Selasa (20/4/2021). ANTARA FOTO/M. Irfan Ilmie
JAKARTA - Ketua Umum (Ketum) Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Shinta Kamdani mengungkapkan, para pengusaha telah mengusulkan agar pemerintah meningkatkan impor produk asal Amerika Serikat (AS) yang tidak atau belum bisa dipenuhi di Indonesia. Hal ini untuk menekan atau menyeimbangkan selisih neraca perdagangan antara Indonesia dan AS, yang selama ini selalu didominasi surplus neraca dagang Indonesia.
Salah satu alasan terbesar yang membuat Indonesia dikenakan tarif resiprokal oleh Presiden AS Donald Trump sebesar 32% lantaran Indonesia menjadi salah satu mitra dagang yang menyumbang defisit AS hingga US$17,9 miliar di tahun 2024.
"Kalau mengurangi defisit, itu berarti jenis-jenis produk apa yang bisa kita impor dari Amerika, yang memang dibutuhkan oleh Indonesia. Jadi bukan mengganggu industri dalam negeri kita, tapi yang dibutuhkan oleh Indonesia," ungkap Shinta saat ditemui di Kantor Kementerian Koordinator Perekonomian, Jakarta, Senin (7/4).
Baca Juga: Pengusaha Alas Kaki dan Konveksi Khawatir Efek Rambatan Perang Dagang
Shinta menyebutkan, produk yang bisa diimpor Indonesia misalnya adalah bahan baku produksi seperti kapas yang bisa digunakan Indonesia untuk memproduksi produk tekstil dan apparel. Produk-produk tersebut nantinya juga akan menjadi produk ekspor unggulan Indonesia.
"Kita ada misalnya dari tekstil dan apparel, kita ekspor besar. Tapi kita juga bisa impor kapas dari Amerika. Nah ini sedang kita jajaki," lanjutnya.
Sementara menurut Shinta, selama ini impor AS ke Indonesia cenderung dikenakan tarif impor yang rendah. Sehingga pemerintah Indonesia akan melakukan kebijakan dari segi non tarif dalam mengatur perdagangan antara Indonesia dengan AS, terutama produk Information, Communication, and Technology (ICT) yang tengah dipertimbangkan.
Shinta pun meminta agar pemerintah bisa segera mengidentifikasi komoditas apa saja yang memang diperlukan untuk impor dari AS selain kapas. Komoditas lainnya yang hingga saat ini perlu terus diimpor Indonesia dari AS misalnya adalah minyak dan gas (migas), gandum, kedelai, dan jagung yang merupakan komoditas penting untuk ketahanan pangan nasional, namun tidak bisa dipenuhi dari produksi dalam negeri.
"Jadi ini mungkin supaya dipercepat harus segera diidentifikasi. Tugas kami juga dari pelaku usaha, selain untuk memastikan bahwa tantangan daripada eksporter yang ke Amerika ini, jangan sampai terlalu menganggu ekspor mereka," tandas Shinta.
Alasan Minta Buka Kran Impor Kapas
Diberitakan sebelumnya, Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI) bersama Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) juga meminta agar pemerintah Indonesia membuka kran impor kapas sebesar-besarnya dari AS, agar bisa menurunkan atau menghilangkan tarif ekspor Indonesia ke AS.
"Karena AS tidak memproduksi benang dan kain, bahan baku yang paling memungkinkan untuk diimpor adalah kapas. Oleh karena itu, API dan APSyFI mendorong pemerintah untuk membuka impor kapas AS yang nantinya dapat dipadukan dengan serat poliester dan rayon produksi dalam negeri," tulis APSyFI dalam laman resmi, Jakarta, dikutip Sabtu (5/4).
Menurutnya, Indonesia bisa mengimpor kapas dari AS, lalu industri terkait bisa memintal, menenun, hingga merajut bahan baku tersebut di dalam negeri. APSyFi meyakini, alur produksi tersebut mampu meningkatkan daya saing industri TPT secara keseluruhan, sekaligus mengurangi impor.
Baca Juga: Pemerintah Jadikan Relaksasi TKDN Bahan Negosiasi Dengan AS
APSyFI menegaskan, saat ini industri tekstil nasional tengah menghadapi tantangan besar. Indonesia selama ini mengimpor kapas dari AS senilai US$600 juta per tahun. Di saat yang sama, Indonesia justru kebanjiran produk tekstil jadi asal China, seperti benang, kain, dan garmen dengan total nilai mencapai US$6,5 miliar.
Masifnya impor produk jadi asal China tersebut, telah memicu persaingan tidak sehat bagi industri dalam negeri, sehingga mendorong utilitas mesin produksi di sektor ini turun menjadi kisaran 45% saja.
"Kondisi paling mencolok terjadi pada industri pemintalan, yang hanya mengoperasikan 4 juta dari total kapasitas terpasang 12 juta roda pemintal. Oleh karena itu, API dan APSyFI mendorong pemerintah untuk segera melakukan perundingan dagang timbal balik dengan AS," imbuh APSyFI.