c

Selamat

Rabu, 5 November 2025

EKONOMI

30 Juli 2025

10:45 WIB

APINDO Ungkap Segudang PR Pemerintah Untuk Tarik Investasi Asing

APINDO menilai tarif resiprokal Amerika Serikat (AS) menjadi 19% tidak cukup untuk meningkatkan investasi asing di Indonesia.

Penulis: Erlinda Puspita

<p id="isPasted">APINDO Ungkap Segudang PR Pemerintah Untuk Tarik Investasi Asing</p>
<p id="isPasted">APINDO Ungkap Segudang PR Pemerintah Untuk Tarik Investasi Asing</p>

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Shinta Kamdani (tengah) dalam acara Konferensi Pers Pra Rakernas APINDO XXXIV, di Jakarta, Selasa (29/7). ValidNewsID/Erlinda PW

JAKARTA - Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Shinta Kamdani meyakini  besaran tarif untuk produk Indonesia sebesar 19% yang ditetapkan pemerintah Amerika Serikat (AS) membuat peluang investasi di dalam negeri akan semakin besar. Walau begitu, dia menegaskan masih banyak pekerjaan rumah pemerintah agar peluang investasi tersebut bisa direalisasikan.

Shinta menuturkan, investasi yang bisa masuk ke Indonesia bukan hanya investasi baru, namun juga relokasi investasi dari negara-negara lain yang menilai Indonesia lebih kompetitif dari segi tarif resiprokal.

"Jadi investasi itu tetap akan ada, terutama kalau kita bisa berkompetisi dari segi tarif ke Amerika, maksudnya akan ada relokasi investasi yang sekarang juga sudah terjadi dari beberapa negara," ungkap Shinta dalam acara Konferensi Pers Pra Rakernas APINDO XXXIV, di Jakarta, Selasa (29/7).

Baca Juga: APINDO Apresiasi Realisasi Investasi Tinggi, Tapi PHK Terus Terjadi

Salah satu tawaran yang diunggulkan Indonesia dalam bernegosiasi dengan AS, menurut Shinta adalah investasi mineral kritis di dalam negeri. Hal ini tentu menjadi nilai lebih bagi Indonesia daripada negara lain untuk memancing investasi asing maupun AS ke Indonesia.

"Critical mineral ini kan menjadi satu hal yang penting karena kita juga melihat bahwa seperti contohnya Freeport, critical mineral juga nanti akan ada investasi lebih lanjut untuk proses hilirisasi di dalam negeri," terang Shinta.

Shinta menjelaskan, banyak potensi investasi asing di Indonesia bisa terjadi jika memang tarif resiprokal Indonesia masih lebih rendah daripada negara lain, misalnya sektor industri tekstil dan produk tekstil (TPT) asal China yang mulai bertumbuh di Indonesia. Indonesia di sektor ini bersaing dengan Bangladesh dan Vietnam.

Selain itu, potensi penanaman modal asing (PMA) yang berpotensi tumbuh ke depannya adalah investasi di bidang data center, hilirisasi, dan investasi hijau atau energi baru terbarukan (EBT).

Pembenahan Struktural
Meski terdapat peluang yang besar tersebut, Shinta menegaskan bahwa pemerintah perlu melakukan pembenahan secara struktural di dalam negeri. Menurutnya, daya saing Indonesia dalam kegiatan ekspor dan investasi tak hanya mampu didukung melalui insentif, namun juga memerlukan kepastian hukum, efisiensi logistik, energi, labor cost, regulasi yang ramah industri, dan masih banyak lagi.

"Reformasi struktural khususnya di sektor padat karya adalah secara keseluruhan kita bisa memperkuat pondasi ekonomi nasional," imbuh Shinta.

Adapun terkait realisasi investasi yang berasal dari asing atau PMA di semester I/2025, diketahui lebih rendah daripada penanaman modal dalam negeri (PMDN), yakni hanya Rp432,6 triliun (45,9%) untuk PMA dan PMDN sebesar Rp510,3 triliun (54,1%). Menurut Shinta, hal ini tidak terkait dengan kebijakan tarif respirokal Trump. Capaian investasi tersebut merupakan hasil persiapan yang sudah dilakukan beberapa waktu sebelumnya.

"Karena ini yang hubungannya dengan tarif Trump dan lain-lain ini belum terlihat apa-apa sekarang," kata dia.

Lebih lanjut, perbaikan yang perlu dilakukan pemerintah untuk menarik investasi adalah menurunkan angka Incremental Capital Output Ratio (ICOR) yang diperkirakan di level 6,33. Posisi ini menurut Shinta masih tergolong tinggi sehingga Indonesia masih kurang kompetitif. Kemudian pemerintah juga diminta memperhatikan perubahan investasi yang masuk saat ini yakni dominan padat modal daripada padat karya. Artinya, meski investasi yang masuk tinggi, namun angka penyerapan kerjanya tak terlalu banyak.

Baca Juga: Imbas Tarif 19%, Apindo Minta Insentif Fiskal Untuk Sektor Padat Karya

“Sepuluh tahun yang lalu masuk Rp1 triliun investasi masih 4 ribu (menyerap tenaga kerja), sekarang sudah seribuan (tenaga kerja). Jadi ini semua ada kaitannya, makanya ICOR itu adalah kunci untuk Indonesia bisa kompetitif,” urai Shinta.

Analis Kebijakan Ekonomi APINDO, Ajib Hamdani dalam kesempatan yang sama turut menambahkan, berkaitan dengan adanya tarif Trump sebesar 19% kepada Indonesia, hal ini berpotensi menaikkan nilai investasi asal negeri Paman Sam tersebut hingga 1,6%.

”Untuk tarif Trump ini proyeksinya akan menaikkan investasi dari baseline awal itu potensinya menjadi tambah 1,6%,” ucapnya.

Meski begitu, Ajib menyoroti agar pemerintah juga membenahi aksi premanisme yang mengganggu baik di sektor pekerjaan kerah putih maupun kerah biru. Penanganan premanisme menurutnya mampu merealisasikan low cost economy bagi investor, sehingga mereka jadi lebih tertarik investasi di Indonesia.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar