c

Selamat

Minggu, 16 November 2025

EKONOMI

28 Agustus 2024

19:31 WIB

AMLI Keluhkan PP 28/2024 Bias Hingga Picu PHK

Ketua AMLI menilai PP 28/2024 perlu direvisi karena mengandung pasal bias. Selain itu, beleid baru itu berpotensi menurunkan PAD, hingga bisa memicu PHK.

Penulis: Erlinda Puspita

Editor: Fin Harini

<p id="isPasted">AMLI Keluhkan PP 28/2024 Bias Hingga Picu PHK</p>
<p id="isPasted">AMLI Keluhkan PP 28/2024 Bias Hingga Picu PHK</p>

Ketua Umum Asosiasi Media Luar Griya Indonesia (AMLI) Fabianus Bernadi diskusi media PP 28/2024, Rabu (28/8). ValidNewsID/Erlinda PW

JAKARTA - Ketua Umum Asosiasi Media Luar Griya Indonesia (AMLI) Fabianus Bernadi menyatakan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan perlu direvisi. Alasannya, terdapat beberapa pasal yang justru menimbulkan aturan bias, menurunkan pendapatan asli daerah (PAD), dan berpotensi meningkatkan pemutusan hubungan kerja (PHK).

Menurut Fabianus, beberapa pasal yang perlu direvisi antara lain pasal 449, 450, dan 455. Dalam pasal 449, sejumlah poin dikeluhkan oleh anggota AMLI karena bersifat bias yaitu poin C yang berbunyi "tidak diletakkan di jalan utama dan jalan protokol", lalu poin D "tidak diletakkan dalam radius 500 meter di luar satuan pendidikan dan tempat bermain anak".

Ia menilai dua poin tersebut sulit dijalankan oleh periklanan media luar ruang.

"Kalau bisa ini dihilangkan, karena media luar griya itu harus di tempat yang rame, kalau tempat sepi yang lihat siapa? Harus strategis dan adanya di jalan utama dan protokol. Terus yang 500 meter, kita minta dihapus saja karena ini sudah di poin B," jelas Fabianus dalam diskusi media PP 28/2024, Rabu (28/8).

Baca Juga: Dikeluhkan Banyak Asosiasi, Apindo Minta Pemerintah Revisi PP 28/2024

Dia menilai aturan Pasal 449 poin D sangat mustahil diterapkan. Sebagai contoh, banyak ditemukan sekolah atau taman bermain anak yang ada di pinggir jalan dan menghadap jalanan, atau di sekitar tempat bisnis dan pusat keramaian lainnya yang berjarak sekitar 50 meter. Jika aturan ini diterapkan, maka banyak periklanan produk tembakau dan turunannya yang terdampak.

Kendala berikutnya dijelaskan Fabianus adalah, banyak daerah yang sudah menerapkan PP28/2024 namun imbasnya terjadi penurunan PAD. Padahal sebelumnya pemerintah daerah telah diuntungkan melalui PP 109/2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan, karena pemerintah daerah telah menetapkan pajak yang lebih tinggi bagi media luar ruang dibandingkan media lainnya. Kata Fabianus, hal ini telah terjadi contohnya di Bandung dan Bali.

"Jadi sebetulnya dengan ada pembatasan di PP 109/2012, pemerintah daerah sebetulnya sudah membatasi dengan menaikkan (pajak)," imbuh Fabianus.

Potensi PHK
Selanjutnya, dari hasil survei yang dilakukan pihaknya pada Januari 2024 lalu, Fabianus mengungkapkan dari 57 perusahaan media luar griya yang tersebar di 29 kota, sekitar 45 perusahaan media mengaku 86% pendapatannya berasal dari iklan produk tembakau dan turunannya.

Sementara dari 45 perusahaan media luar griya tersebut, 44% di antaranya berpotensi terdampak dari adanya aturan PP 28/2024. Sehingga berpotensi PHK pada pekerja yang terlibat di dalamnya.

"Jadi kita minta semua pasal-pasal direviu dan dihapuskan. Kita sudah kaji di mana-mana, paling gampang mengacu PP109/2012. Kami minta direvisi, paling simpel kembali ke Peraturan 109," tutur Fabianus.

Usulan revisi juga datang dari Ketua Badan Musyawarah Regulasi Dewan Periklanan Indonesia (DPI) Hery Margono. Ia berharap regulasi ini ditunda dahulu penerapannya.

Asumsinya, sebuah regulasi itu harus memenuhi dua kriteria. Pertama, harus mempertimbangkan keadilan. Kedua, mengedepankan efisiensi.

"Keduanya tidak gampang. Mestinya melibatkan pihak terlibat. Supaya menjadi efisien, dan adil. Di PP ini ada yang merasa ketidakadilan," kata Hery.

Baca Juga: Aturan Zonasi Penjualan Rokok Bikin Peritel Kehilangan Rp21 Trilun Pertahun

Hery mengatakan, sebelum aturan ini disahkan, DPI telah menyampaikan aspirasi kepada Kementerian Kesehatan, namun tidak pernah direspon. la menyayangkan sikap abai Kemenkes. Padahal, aturan ini berdampak langsung pada pelaku usaha media luar ruang serta sektor-sektor pendukungnya, seperti desainer dan percetakan.

"Industri kreatif yang berpotensi menyerap angkatan kerja baru terancam akibat kebijakan ini," katanya.

Mengutip data Nielsen tahun 2019, rokok adalah kategori produk yang paling banyak diiklankan di media luar ruang dengan lebih dari 1.000 titik yang tersebar di berbagai kota di Indonesia

"Jika dijalankan, larangan iklan ini berpotensi menekan pendapatan media luar ruang yang bergantung dari promosi produk rokok. Kerugian besar tidak hanya timbul dari biaya langsung industri, tetapi juga biaya tidak langsung seperti pembuatan materi dan iklan promosi," ucap dia.

Situasi ini menjadi kontradiktif dengan komitmen pemerintah untuk memperkuat industri kreatif Tanah Air.

"Kita tahu bahwa industri kreatif merupakan salah satu sektor yang berpotensi menyerap angkatan kerja baru. Sektor ini bisa menjadi solusi atas tingkat pengangguran Gen Z khususnya pada rentang umur 18-24 tahun yang jumlahnya sekarang hampir 10 juta orang dan ini menjadi keresahan kita semua," tandas dia. 


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar