20 Agustus 2025
15:50 WIB
Agrofoirestri Di Perhutanan Sosial Bisa Hilangkan Ketergantungan Impor
Seluas 1,9 juta hektare wilayah perhutanan sosial berpotensi untuk agroforestri yang Kemenhut bersama Kementerian Pertanian (Kementan).
Editor: Rikando Somba
Ilustrasi agroforestri kombinasi pohon mahogani dan tanaman melon. Shutterstock/Striant
JAKARTA - Penerapan agroforestri di kawasan Perhutanan Sosial diyakini dapat menjaga ketersediaan pangan dan mengurangi ketergantungan impor terhadap beberapa komoditas. Kementerian Kehutanan meyakini, ini dapat terealisasi lewat agrofrestri yang mengombinasikan tanaman pangan dan jenis kehutanan yang sudah terimplementasi di banyak wilayah hutan oleh masyarakat. Konsep agroforestri ini sudah mendapatkan SK Perhutanan Sosial.
"Perhutanan Sosial ini nanti berkontribusi dalam program ketahanan pangan, bagaimana kita menjaga ketersediaan dan keterjangkauan stabilitas pangan kepada masyarakat dengan mendorong agroforestri," kata Sekretaris Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial Kemenhut, Enik Eko Wati dalam diskusi daring yang diikuti dari Jakarta, Rabu (20/8).
Menurut data Kemenhut, sampai Agustus 2025, terdapat 8,3 juta hektare lahan Perhutanan Sosial yang dikelola oleh 1,4 juta kepala keluarga lewat pemberian 11.065 SK Perhutanan Sosial. Sejauh ini, terdapat 15.754 Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS) yang sudah terbentuk.

Dia menjelaskan bahwa luas persetujuan Perhutanan Sosial pada 2024 mencapai 8,3 juta hektare. Dari luasan itu, 1,9 juta hektare diantaranya berpotensi untuk agroforestri. Jumlah itu dihasilkan analisis kesesuaian lahan yang dilakukan Kemenhut bersama Kementerian Pertanian (Kementan).
Kemenhut dan Kementan sudah melakukan penandatanganan nota kesepahaman untuk sinergi mendukung ketahanan pangan. Penanaman serentak agroforestri, kemudian dilakukan di 26 lokasi di 21 provinsi dengan luas 122 hektare.
Kini, di 2025, ditargetkan dilakukan penanaman padi lahan kering seluas 892,34 ribu hektare, dengan 389,4 ribu hektare diantaranya merupakan areal Perhutanan Sosial. Target pengembangan Perhutanan Sosial 2025-2029 untuk tanaman pangan mencapai 1,1 juta hektare.
Dikutip dari Antara, Enik mengatakan pihaknya sudah memulai pendaftaran calon petani dan calon lokasi (CPCL). Meski pendaftaran yang dilakukan belum maksimal dan akan terus dikejar dengan koordinasi bersama Kementan. "Kita sudah mulai penyediaan bibit padi dan jagung, pupuk bersubsidi dan pendampingan pertanian," ujarnya.

Percepat Pertumbuhan Ekonomi
Di kesempatan berbeda, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) menyatakan bahwa pembangunan berbasis data keanekaragaman hayati (kehati) mampu mempercepat pertumbuhan ekonomi nasional.
“Keanekaragaman ini bukan soal konservasi saja, tapi ini juga soal pertumbuhan ekonomi,” kata Menteri PPN/Kepala Bappenas Rachmat Pambudy di Jakarta, Selasa.
Rachmat Pambudy mengatakan, keanekaragaman hayati memiliki potensi kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi di sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan.
“Sektor ini diproyeksikan mengalami pertumbuhan PDB riil berdasarkan skenario RPJMN 2025-2029 dari 0,81 persen pada 2024, hingga 3,46 persen pada 2029,” ujar dia.
Baca juga: Revisi UU Kehutanan Jalan Untuk Melindungi Hutan
Kini, pihaknya menyiapkan empat strategi kunci untuk mencapai pertumbuhan ekonomi melalui keanekaragaman hayati. Pertama, adalah bioprospeksi. Rachmat mengatakan, sumber daya genetik memiliki potensi nilai ekonomi sebesar Rp319 triliun.
Lebih lanjut, melakukan pendekatan bioekonomi, di mana pemanfaatan sumber daya hayati berbasis pengetahuan dan teknologi untuk penyediaan pangan, pakan, dan sumber energi terbarukan.
Strategi ketiga adalah hilirisasi sumber daya hayati komoditas unggulan seperti sagu, kelapa, pala, biofuel, ikan, rumput laut, dan garam. “Ini sekarang masih bisa kita manfaatkan dan harus ditingkatkan lagi,” ujarnya.
Baca juga: Bondowoso Siapkan 9.500 Hektare Wilayah Perhutanan Sosial
Sedang yang terakhir, adalah pemanfaatan jasa ekosistem air dan ekowisata. “Keempat strategi ini harus didalamkan secara inklusif dengan kolaborasi semua pihak, termasuk masyarakatnya,” ujar Rachmat.
Ia melanjutkan, upaya untuk menggerakkan ekonomi berbasis ilmu pengetahuan perlu untuk terus didorong demi mencapai target pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 8%.