c

Selamat

Jumat, 7 November 2025

EKONOMI

08 November 2022

21:00 WIB

Agar Ekonomi Tak Sekadar Tumbuh

Perekonomian Indonesia menunjukkan pemulihan setelah pandemi terkendali. Namun, masih banyak PR untuk mencegah ketimpangan kian melebar.

Penulis: Fitriana Monica Sari, Khairul Kahfi, Nuzulia Nur Rahma

Editor: Fin Harini

Agar Ekonomi Tak Sekadar Tumbuh
Agar Ekonomi Tak Sekadar Tumbuh
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat ekonomi Indonesia triwulan II-2022 terhadap triwulan II-2021 tumbuh sebesar 5,44 persen (y-on-y). ANTARA FOTO/Aprillio Akbar

JAKARTA – Tak hanya berpengaruh pada kesehatan di seluruh dunia, pandemi covid-19 berdampak ke banyak sektor. Serentak semua negara memberlakukan pembatasan aktivitas demi mencegah penularan covid-19. Aktivitas lumpuh, ekonomi pun mandek, bahkan merosot. 

Indonesia tak imun. Pertumbuhan ekonomi terjun bebas di Kuartal II/2020 menjadi minus 5,32% dibandingkan periode sama tahun sebelumnya. Imbasnya, Kementerian Ketenagakerjaan mencatat per 20 April 2020 sebanyak 2.084.593 pekerja dari 116.370 perusahaan dirumahkan dan terkena pemutusan hubungan kerja (PHK).

Ketimpangan yang terjadi antara si kaya dan si miskin turut memburuk. Catatan BPS, Rasio Gini periode Maret 2016-September 2019 terus menurun. Di periode itu, gap kaya-miskin semakin menyempit. 

Ada perbaikan pemerataan pengeluaran di Indonesia. Akan tetapi, pandemi covid-19 membaliknya, rasio gini naik, dengan rasio sebesar 0,381 pada Maret 2020 dan 0,385 pada September 2020. 

Apabila ditinjau berdasarkan karakteristik wilayah, daerah perkotaan memiliki rasio gini lebih tinggi dibandingkan daerah pedesaan. Ketimpangan terjadi lebih tinggi di perkotaan dibandingkan perdesaan. 

Rasio gini perkotaan pada Maret 2020 dan September 2020 berturut-turut 0,393 dan 0,399. Sementara itu, rasio gini perdesaan 0,317 pada Maret 2020 dan 0,319 pada September 2020.

Rasio gini berkisar 0-1. Semakin mendekati angka 1, berarti tingkat ketimpangan makin tinggi. Kesenjangan antara kaya dan miskin makin lebar. Sebaliknya, saat angka rasio gini yang mendekati nol, berarti ada pemerataan distribusi pendapatan antar penduduk. 

Mengikuti ketimpangan kesejahteraan yang melebar, pada periode kuartal II/2020 itu pun, tingkat kriminalitas naik. 

Data Kepolisian RI menunjukkan adanya  kenaikan angka kriminalitas pada pekan ke-24 tahun 2020, atau Mei, dibandingkan pekan sebelumnya. Pada minggu ke-23 dan ke-24 tahun 2020, ada kenaikan gangguan kamtibmas sebesar 38,45%. Terdapat 4.244 kasus kriminalitas yang terjadi pada pekan ke-23 dan meningkat menjadi 5.876 kasus pada pekan ke-24. 

Dari catatan kepolisian, terdapat lima kasus yang mengalami peningkatan signifikan. Perjudian, pencurian kendaraan bermotor, pencurian dengan pemberatan, penggelapan dan penyalahgunaan narkotika ada di kelompok ini.

Perekonomian Membaik
Belakangan, pandemi yang kian mereda membuat aktivitas terbuka kembali. Ekonomi terus bertumbuh hingga Kuartal III/2022 mencapai 5,72%, tertinggi sejak pandemi masuk ke Indonesia Maret 2020 lalu.

Deputi Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya Alam Bappenas Vivi Yulaswati mengatakan, perekonomian Indonesia semakin pulih seiring berjalannya waktu. Sejalan dengan perbaikan itu, kesejahteraan juga meningkat.

"Tingginya pertumbuhan ekonomi secara nasional mencerminkan mulai membaiknya taraf hidup masyarakat. Melihat definisinya, pertumbuhan ekonomi diukur berdasarkan produk domestik bruto melalui pendekatan pengeluaran yang komponennya terdiri atas konsumsi rumah tangga, pengeluaran pemerintah, investasi, dan ekspor-impor," urainya kepada Validnews, Kamis (3/11).

Pertumbuhan ekonomi nasional banyak didorong oleh meningkatnya konsumsi rumah tangga, diikuti konsumsi lembaga nonprofit yang melayani rumah tangga dan pembentukan modal tetap. 

Hal senada juga disampaikan oleh Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Makro dan Keuangan Kemenko Ekonomi Iskandar Simorangkir kepada Validnews, Kamis (3/11). Dia menyebutkan pertumbuhan ekonomi Indonesia tumbuh positif pada tahun 2021 (3,69%) atau keluar dari zona kontraksi pada tahun 2020 akibat pandemi. 

Selain itu, PDB Per Kapita Indonesia meningkat lebih dari dua kali lipat sejak  2010 dan pada 2021 telah kembali ke level pasca pandemi. Pada 2022 tercatat sebesar Rp62,34juta atau naik dari Rp56,95juta pada tahun 2020.

"Pertumbuhan ekonomi Indonesia diiringi kualitas yang membaik dalam beberapa tahun terakhir. Artinya, pertumbuhan ekonomi dan peningkatan PDB per kapita seiring dengan penurunan tingkat pengangguran, kemiskinan dan ketimpangan," jelasnya. 

Indikator ekonomi lainnya, yakni tingkat kemiskinan turun dari 9,78% pada Maret 2020 dan 10,19% di September, menjadi 9,54% di Maret 2022.

Demikian pula Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) juga melandai. Setelah melonjak tajam pada 2020 di level 7,07%, TPT kembali turun di level 6,49% Agustus 2021, lalu 5,83% pada Februari 2022, namun kembali naik 5,86% pada Agustus 2022. Begitu pula, rasio gini yang turun di September 2021 sebesar 0,381 pada, dan kembali naik pada Maret 2022 menjadi 0,384. 

Pincang
Di tengah pertumbuhan ekonomi yang menguat, peneliti dari Center of Economic and Law Studies (Celios) Muhammad Andri Perdana menilai tren rasio gini masih belum pulih. Kondisinya belum bisa lebih baik dari sebelum era Reformasi, menurutnya.

"Faktanya kita menghadapi tren ketimpangan yang kembali memburuk," katanya saat dimintai keterangan oleh Validnews, Senin (7/11).

Dia menilai, kesenjangan kesejahteraan itu pun akan membuat kesenjangan tingkat pendidikan, marginalisasi kelas masyarakat, pengangguran, dan berbagai fenomena sosial lainnya yang akan membuat masyarakat mudah terjerumus dalam kriminalitas.

Hal ini, sebutnya, sudah menjadi konsensus baik itu dari ekonom sampai sosiolog. Secara statistik, orang akan lebih cenderung melakukan tindakan kriminal jika keadaan ekonomi mereka semakin tertekan. 

Ekonom Universitas Surakarta Agus Trihatmoko punya persepsi sama. Menurutnya, ketimpangan pada kelompok menengah bawah dengan menengah atas semakin jelas. 

"Bagi kelompok menengah bawah dalam pembangunan hanya sebagai objek pekerja serta sub-sub wirausaha mikro kecil. Sedangkan menengah atas meningkat dari faktor kapital yang kuat, dan masyarakat pada tataran profesional," katanya, Senin (07/11).

Dia membeberkan, kompetensi dalam berbagai perspektif akan berlanjut sehingga memperdalam jurang pemisah antara ekonomi menengah bawah dan atas. Secara kuantitatif dapat dihitung angka GNI atau pendapatan per kapita Indonesia. Indonesia masuk middle trap dengan GNI US$4.000-an. 

"Faktanya itu angka rata-rata, sehingga ketika dipisahkan per individu mayoritas atau ratusan juta rakyat, kita masih jauh dari angka tersebut. Sedangkan pada kelompok menengah atas angka nominalnya jauh lebih tinggi," imbuhnya.

Iskandar menuturkan, mengacu pada data survei pengeluaran (Susenas) terakhir, 20% penduduk terkaya (kuantil 5) menguasai sekitar 40% kekayaan di Indonesia. Sementara itu, 20% penduduk termiskin di Indonesia menguasai sekitar 8% total kekayaan.

Namun Vivi menegaskan, perlu diingat bahwa tingkat kekayaan diukur oleh seberapa besar konsumsi yang per kapita rumah tangga keluarkan. Semakin tinggi konsumsi mencerminkan bahwa semakin kaya penduduk tersebut. Penduduk dianggap kaya bukan karena uang/aset ia dimiliki. 

"Salah satu tantangan dari survei ini adalah begitu susahnya untuk menelusuri distribusi responden “super kaya”. Dengan begitu ada kemungkinan penduduk yang berada kuantil teratas belum tentu merupakan penduduk paling kaya di Indonesia," imbuhnya.

Bukan Satu-satunya Penyebab
Berbagai literatur ilmu ekonomi kejahatan (economics of crime) menunjukkan ekonomi dapat mempengaruhi kriminalitas. Hal ini dapat dikarenakan adanya guncangan ekonomi yang menyebabkan tingkat kesejahteraan menurun yang ditandai dengan pertumbuhan ekonomi yang menurun, pengangguran yang meningkat, kemiskinan dan ketimpangan yang turut meningkat. Demikianlah siklusnya. 

Majalah The Economist pada 2018 pernah menerbitkan artikel terkait hubungan kriminalitas dengan ketimpangan pendapatan secara global. Hasilnya, terdapat hubungan yang cukup dekat antara kedua hal tersebut. Semakin tinggi kesenjangan pendapatan, akan semakin banyak kasus kriminal yang terjadi.

Tim Setdep I, Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kesejahteraan Sosial Kemenko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK), Selasa (8/11), menjelaskan bahwa penyebab seseorang melakukan tindakan kriminal dapat dipengaruhi faktor internal maupun eksternal. Faktor internal antara lain kebutuhan ekonomi yang mendesak, pendapatan per kapita yang rendah pengangguran atau tidak memiliki pekerjaan dan kesejahteraan sosial. 

Sementara itu, faktor eksternal meliputi tingkat pendidikan yang rendah, kemajuan teknologi membuat informasi mudah tersebar, kesenjangan sosial, kepadatan penduduk yang tidak merata, dan pengaruh lingkungan sekitar.

“Dengan demikian kurangnya kesejahteraan dan tingkat pendidikan masih dibawah rata-rata dapat menjadi salah satu penyebab munculnya tindakan kriminalitas,” sebut Tim Setdep I Kemenko PMK dalam pernyataan tertulis.

Namun, baik itu Iskandar maupun Vivi menegaskan bahwa ekonomi bukan satu-satunya yang mendorong kriminalitas. Ada aspek lain seperti sosial, tata kelola pemerintahan atau supremasi hukum. Dari perspektif ekonomi perilaku juga adanya penghitungan manfaat dan biaya akibat melakukan tindak kriminal. 

"Jika benefit yang dilakukan dapat lebih tinggi dibanding sanksi atau hukuman yang diberlakukan maka opsi melakukan tindakan kriminal menjadi menarik," ujar Iskandar.

Pernyataan ini didukung dengan data dari BPS yang mencatat dalam 3 tahun terakhir tingkat kriminalitas di Indonesia menurun. Jumlah kejahatan menurun dari 269 ribu kejadian (2018) menjadi 247 ribu (2020). Persentase penduduk korban kejahatan turun dari 1,01% (2019) menjadi 0,78% (2020). 

Demikian pula, jumlah kejahatan seperti pencurian, pengrusakan barang, pembakaran dengan sengaja, dan penadahan juga menurun dari 80 ribu kejadian (2019) menjadi 73 ribu kejadian (2020). Namun, untuk jenis kejahatan kesusilaan dan narkotika memang cenderung meningkat, yang diduga akibat work from home

"Artinya, penurunan kinerja ekonomi tidak selalu berbanding lurus dengan peningkatan kejahatan," jelasnya.

Meski begitu, Vivi juga menyebutkan dari 2015 hingga 2022, tampak bahwa ketimpangan dan kriminalitas di Indonesia bergerak ke arah yang sama. Hubungan keduanya, juga dialami secara global. 

Untuk mengatasi potensi peningkatan kriminalitas, Iskandar meyakinkan, bahwa pemerintah tetap menjaga agar pertumbuhan ekonomi tetap tinggi dan tentunya inklusif. Artinya pertumbuhan ekonomi dapat dinikmati oleh semua golongan. 

"Upaya yang dilakukan antara lain dengan tetap menjalankan berbagai program perlindungan sosial bagi masyarakat miskin agar tetap terjaga daya belinya, meningkatkan program pemberdayaan seperti akses terhadap pembiayaan UMKM, program padat karya dan peningkatan kapasitas tenaga kerja maupun UMKM," ucapnya.

Terakhir, dia menekankan bahwa pemerintah akan memperbaiki basis data penerima manfaat agar terintegrasi dan terus termutakhirkan. Tujuannya, agar berbagai program pemberdayaan dalam rangka penanggulangan kemiskinan bisa dinikmati mereka yang berhak.

Tim Setdep I pun menjabarkan terdapat program untuk mewujudkan kesejahteraan sosial yang dimuat dalam Inpres 4 Tahun 2022 tentang Program Percepatan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem. Program tersebut dikelompokan menjadi tiga strategi. 

Pertama, pengurangan beban pengeluaran masyarakat lewat jaminan sosial; bantual sosial reguler termasuk Program Keluarga Harapan (PKH), Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT), Bantuan Subsidi Energi, Kartu Indonesia Pintar (KIP); Bantuan Sosial Khusus yang meliputi Bantuan Langsung Tunai (BLT) Desa, Bantuan Sosial Tunai, Bantuan Beras dan Bantuan Subsidi Upah, serta bantuan asistensi rehabillitasi sosial bagi Pemerlu Pelayanan Kesejahteraan Sosial (PPKS).

Strategi kedua melalui program peningkatan pendapatan masyarakat, antara lain melalui penyediaan padat karya pembangunan infrastruktur dasar, peningkatan kapasitas dan pembiayaan UMKM, program vokasi. Terakhir, program penurunan jumlah kantong-kantong kemiskinan yang dilakukan dengan beragam program.

Dengan berbagai program tersebut, diharapkan program kesejahteraan sosial tercapai. Yakni, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) 73,41%-73,46%, angka kemiskinan turun ke 8,5%-9,0%, rasio gini sebesar 0,376-0,378.

Perlu Perhatian Khusus
Terhadap kausalitas kesejahteraan dan kriminalitas, Peneliti Senior CORE Indonesia Yusuf Rendy Manilet menilai ukuran kesenjangan ekonomi masyarakat perlu menjadi perhatian khusus.  

Ukuran perhitungan rasio gini di Indonesia menggunakan proksi pengeluaran bukan pendapatan seperti yang dilakukan di banyak negara. Artinya, Yusuf menilai, angka yang tercatat saat ini bisa menjadi bias dan tidak menggambarkan kondisi seutuhnya di lapangan.

Meski begitu, dalam 20 tahun terakhir Yusuf berpendapat pertumbuhan ekonomi di Indonesia merupakan salah satu yang terbaik setidaknya di Asia bahkan ketika pandemi terjadi. Beragam program pemerintah dinilainya cukup mujarab.

"Namun, memang perlu diakui program ini belum selesai dan belum secara optimal mampu mendorong peningkatan taraf hidup masyarakat secara umum. Hal ini salah satunya karena lapangan kerja yang tersedia bagi masyarakat luas masih terpusat pada sektor dengan produktivitas rendah, sehingga banyak pekerja terjebak dalam pekerjaan dengan upah yang rendah dan bersifat informal," urainya. 

Dia mencermati, kelompok kaya memiliki aset yang semakin bertambah karena beragam hal. Ini mendorong angka ketimpangan menjadi lebih tinggi. 

Pemerintah dinilai masih memiliki pekerjaan rumah menyediakan lapangan kerja yang berkualitas dalam upaya menjaga kesejahteraan masyarakat tidak menurun ketika terjadi guncangan ekonomi. 

Salah satu lapagan usaha yang bisa menjadi pertimbangan pemerintah ialah sektor industri manufaktur yang merupakan lapangan usaha yang berpotensi mendorong produktivitas ekonomi ke arah yang lebih tinggi. 

Pada saat yang bersamaan, lapangan usaha ini dapat menyerap angkatan kerja dalam jumlah yang besar. Tetapi, penyerapan ini bukan menjadi tujuan akhir. Ada hal lain yang juga perlu dilakukan. 

"Tentu mendorong industri manufaktur pun perlu diiringi dengan meningkatkan kualitas pekerja kita. Semakin baik dan banyak skill yang dimiliki oleh angkatan kerja kita maka semakin besar peluang mendapatkan upah yang lebih tinggi/baik dan bisa dialokasikan tidak hanya untuk kebutuhan sehari-hari namun juga untuk asuransi misalnya, jika terjadi guncangan dalam hidup mereka, misal tiba-tiba sakit atau di PHK," pungkasnya.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar