c

Selamat

Kamis, 28 Maret 2024

EKONOMI

29 Mei 2019

18:50 WIB

Upaya Agar Tak Terjegal Label Halal

Pemerintah siapkan jalan tengah menyiasati tenggat pelaksanaan kewajiban label halal kian dekat

Editor:

Upaya Agar Tak Terjegal Label Halal
Upaya Agar Tak Terjegal Label Halal
Ilustrasi makanan halal. shutterstock

JAKARTA – Ratih Mayastuti (35) merasa bangga, kini Sambel Gesek Mbak Cetut khas buatannya telah mengantongi label halal dari LPPOM MUI (Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia) Banten. Produk olahan ikan Jambrong yang diramu bersama cabai rawit merah ini pun akhirnya “naik kelas”.

Usaha yang dirintis setahun terakhir ini pun mengalami kenaikan omzet penjualan berkat adanya label halal. Semula, Ratih hanya memproduksi sambal gesek sekitar 20-an botol per minggu. Kini, produksinya bisa mencapai 90 hingga 100 botol per minggu.

“Legalitas penting bagi Mbak Cetut karena bisa menjadi nilai jual dan kepercayaan bagi produk kita di mata konsumen. Dengan adanya legalitas, daya jual sambal gesek semakin meningkat, para konsumen jadi semakin mengapresiasi produk kita,” katanya kepada Validnews, Selasa (28/5).

Ratih mulai menjual sambal khas buatannya pada Februari 2018. Sejak itu, ibu rumah tangga ini aktif menjual produknya dalam bazar-bazar yang digelar di perkantoran sekitaran BSD, Tangsel. Keaktifannya membuat Sambal Gesek Mbak Cetut akhirnya masuk dalam binaan Dinas Ketahanan Pangan, Perikanan, dan Peternakan Kota Tangerang Selatan (DKP3 Tangsel). Ia mengakui tak mudah untuk masuk dalam jajaran UKM binaan dinas setingkat Kabupaten/Kota.

“Seleksinya sangat ketat,” cetusnya.

Ada banyak kriteria yang menjadi rujukan dinas kabupaten/kota. Tak hanya dari sisi omzet. Berbagai sisi mulai dari rasa produk, kemasan, hingga keaktifan UKM dalam memenuhi undangan kegiatan yang digelar dinas terkait juga menjadi kriteria penting.

Berkat komunitas UMKM setingkat Tangsel itulah dirinya berkenalan dengan proses sertifikasi halal. Menurutnya, ini menjadi kesempatan penting bagi merek sambalnya agar bisa memperbaiki kualitas baik dari segi kemasan maupun legalitas.

“Dengan menjadi UMKM binaan perikanan Tangsel, Mbak Cetut mempunyai kesempatan untuk mengurus segala legalitas dengan gratis,” ujarnya.

Ratih menceritakan proses mendapatkan predikat halal tersebut. Setelah lolos menjadi UMKM yang bisa mengurus seritifkasi halal dengan gratis, dia menunggu surveyor dari LPPOM MUI. Surveyor akan melihat lokasi usaha, kehalalan bahan baku, dan lain-lain. Jika lolos, UMKM harus mengisi Borang Permohonan Sertifikasi Halal dari LPPOM MUI.

“Setelah itu kita dijadwalkan untuk disurvei plus alur produksi,“ ucapnya.

Sebagai pemain baru dalam bisnis pangan, Ratih merasa terbantu dengan adanya sertifikasi halal gratis ini. Ia pun menyarankan bagi para pengusaha kecil untuk giat mengurus berbagai legalitas seperti SKDU (Surat Keterangan Domisili Usaha), Surat Keterangan Usaha (SKU), IUMK (Izin Usaha Mikro Kecil), Nomor Induk Berusaha (NIB) hingga sertifikat halal.

“Untuk mengurus halal LPPOM MUI Banten, tidak sulit, asalkan semua syarat dan form borang serta bahan-bahan produk serta alur produksi benar-benar dijamin kehalalannya. Ikuti saja prosedurnya dengan baik. InsyaaAllah dimudahkan, dan pastinya gratis hingga 2 tahun,” pesannya.

Dia berharap Pemerintah Kota Tangerang Selatan akan tetap membantu para UMKM termasuk dalam hal bantuan sertifikasi halal gratis.

Hal senada juga dirasakan oleh Hesti, yang memegang merk coklat rumahan, Heichoco. Dirinya yang juga mendapatkan sertifikasi halal gratis merasa sangat terbantu. Paska berlabel halal, coklat Heichoco yang dulu dijual sebatas lingkungan terdekat kini mulai merambah toko-toko atau ritel. Hal ini secara otomatis juga meningkatkan pangsa pasarnya.

“Itu penting dari sisi pelaku usaha kuliner. Karena kalau memang mau masuk ke ritel, jadi kan butuh. Dulu saya kan hanya jual pada saat mau Lebaran saja. Kalau sekarang produksi tiap hari,” ungkapnya kepada Validnews, Senin (27/5).

Kedua UMKM pangan ini memang cukup beruntung. Bisa meraih label halal dalam usia usaha yang cukup muda. Keduanya juga tak perlu khawatir dengan ongkos untuk label halal karena masuk dalam binaan dinas setempat.

Beban Biaya
Apakah label halal sebagai keharusan sebuah produk makanan? Nah, penting diketahui, bahwa sesuai dengan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH), semua produk yang dijual harus berlabel halal pada 17 Oktober 2019. Ini termaktub dalam pasal 4 Undang-Undang Jaminan Produk Halal yang menyebutkan produk yang masuk, beredar dan diperdagangkan di Indonesia wajib bersertifikasi halal.

Adapun pada ayat (1) Pasal 67 Undang-Undang tersebut menyatakan kewajiban sebagaimana diatur pada Pasal 4 berlaku lima tahun sejak Undang-Undang tersebut diundangkan, yang berarti akan jatuh pada 17 Oktober 2019. Peraturan Pemerintah (PP) yang mengatur dengan rigit JPH pun telah diteken pada 3 Mei 2019 lalu. 

Direktur LPPOM MUI Lukmanul Hakim menilai meski PP JPH telah diteken, bukan berarti tugas sertifikasi halal beralih sepenuhnya ke Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH). Lembaga setingkat eselon 1 di bawah Kementerian Agama ini memang dibentuk sebagai amanat UU JPH tersebut. Menurutnya, kehadiran BPJPH sebagai bagian dari pemerintah akan memperkuat proses sertifikasi halal yang selama ini sepenuhnya dipegang oleh MUI. 

"Majelis Ulama Indonesia di dalam UU itu disebut sebagai tertulis artinya dia menjadi pelaku utama juga, sejajar dengan pemerintah dalam pengelolaan jaminan produk halal. Jadi bukan sebagai subordinat," katanya kepada Validnews, Selasa (28/5).

Saat ini, MUI sendiri masih mempelajari PP JPH yang baru saja diteken tersebut. Pihaknya juga menunggu peraturan turunan berupa Peraturan Menteri Agama yang akan mengatur lebih rinci soal proses kerja sama dalam penerbitan sertifikasi halal. Lukmanul Hakmi menilai, peran pemerintah hanya dari sisi administrasi sertifikasi halal, adapun MUI tetap berperan menentukan aspek halal suatu produk dalam bentuk fatwa.

"Kita tetap menjalankan proses sertifikasi halal sebagaimana biasanya," tambahnya. 

Lalu bagaimana dengan UMKM yang juga dituntut untuk melabeli halal produk-produknya? Lukmanul menyatakan biaya yang harus dikeluarkan UMKM untuk mengurus label halal dari MUI berkisar antara Rp0 sampai Rp2,5 juta. Angka itu merupakan biaya transportasi auditor dan lain-lain yang tak bisa dihindari. Sementara, jika merujuk pada amanat UU JPH, maka seluruh produk wajib berlabel halal termasuk produk milik UMKM.

"Nah ini kan sementara kan jumlah UMKM kan banyak sekali, puluhan juta memang, katakan 36 juta, 40 juta, let’s say. Misalnya yang terkena kewajiban sertifikasi 50% ya 20 juta berarti kan," jelasnya. 

Jika dihitung, tambahnya, maka 20 juta UMKM dengan rata-rata nominal urus sertifikasi Rp1 juta total biaya mencapai Rp20 triliun. Karenanya, dia mengharapkan  pemerintah hadir melalui BPJPH, dengan mengalokasikan biaya sertifikasi halal bagi UMKM dalam APBN. Undang-undang JPH sendiri menegaskan, pemerintah harus meringankan beban biaya urus sertifikasi halal UMKM. 

Menurut Lukmanul, meski biaya sertifikasi halal UMKM lebih murah, sebaliknya pelaku sendiri masih merasa ini mahal. 

"Bagaimana mensertifikasinya sampai 17 Oktober ini, bagaimana kemudian biayanya. Nah ini akan menjadi masalah tersendiri yang saya khawatir justru bisa mengganggu roda ekonomi karena UMKM termasuk tulang punggung ekonomi Indonesia," ujarnya. 

Selama ini, di MUI biaya sertifikasi halal berlaku subsidi silang. Dia mencontohkan UMKM yang memasok barang ke perusahaan besar akan dibantu subsidi silang dari perusahaan besar itu sendiri. Namun, ia mengakui jumlah UMKM yang terlibat masih sangat sedikit dibanding total UMKM di tanah air. Selain itu, sertifikasi halal bagi UMKM juga kerap menggandeng bantuan dinas setempat.

Menurutnya, meskipun UMKM sendiri sadar akan pentingnya label halal, biaya tetap menjadi kendala.

Sejatinya, semangat mendirikan BPJPH itu sendiri tidak lepas dari keinginan semua pihak melindungi UMKM. Utamanya bagi bagian hulu rantai pasok seperti penyembelihan hewan hingga aspek penegakan hukum, tercakup. Dia berharap, sebelum tanggal 17 Oktober 2019 di mana semua produk harus sertifikasi halal permasalahan UMKM ini sudah menemui titik terang. 

 "Yang disertifikasi dengan LPPOM MUI cuma ratusan ribu, enggak sampai itu 200 ribu untuk UMKM ya. Kita ada jutaan. Itu berapa persen. Satu persen saja kok, enggak sampai 2%. Sedikit sekali," cetusnya. 

Berdasarkan data Kementerian Koperasi dan UKM, total jumlah Usaha Mikro Kecil dan Menengah pada tahun 2017 mencapai 62.922.617. Jumlah itu terdiri dari Usaha Mikro sebanyak 62.106.900 (98,7%), Usaha Kecil 757.090 (1,2%), dan Usaha Menengah 57.627 (0,09%).

Jalan Tengah
Keluhan akan tingginya biaya juga disuarakan oleh Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman (Gapmmi). Ketua Umum Gapmmi Adhi S Lukman menyatakan pengusaha mamin sebenarnya keberatan pada ketentuan semua produk mamin harus berlabel halal 17 Oktober mendatang.

Keberatan utamanya datang dari industri skala rumah tangga. Pasalnya, biaya yang harus dikeluarkan untuk pelaku usaha, termasuk biaya auditor internal untuk label halal, terbilang mahal.

"Karena kalau memberatkan ujungnya adalah biaya, biaya ujungnya ke harga. Harga akhirnya akan merugikan konsumen. Pengusaha dirugikan, konsumen dirugikan, semua dirugikan," ujarnya kepada Validnews, Selasa (28/5).

Merujuk data BPS, industri kecil rumah tangga pangan berjumlah sekitar 1,6 juta. Sementara, Industri menengah besar pangan itu sekitar 6 ribu.

Gappmi pun membuka dialog dengan pemerintah. Hasilnya, sertifikasi halal pada produk mamin dilakukan secara bertahap. Menurutnya, produk yang pertama kali akan wajib halal adalah makanan. Kemudian menyusul produk kosmetik, obat-obatan dan sebagainya hingga tahun 2024.

"Bertahap itu pertama adalah makanan yang berbasis hewani. Yang mana sebenarnya itu bisa dilaksanakan, sekarang ini kebanyakan makanan yang hewani kan sudah bersertifikat halal," ungkapnya.

 Pemerintah, katanya, juga sudah membuat skema layak halal untuk produk yang sudah dikenal halal namun belum bersertifikat. 

"Ini jalan tengahnya sebab kalau enggak nanti banyak produk-produk yang sebenarnya halal tapi belum sertifikat enggak bisa diperdagangankan," tambahnya. 

Ia pun menyambut gembira keberadaan BPJPH. Dengan kehadiran lembaga baru itu, kata Adhi, nantinya akan ada banyak Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) selain MUI. Hal ini menurutnya cukup menguntungkan karena semakin banyak LPH yang tersebar di daerah maka biaya sertifikasi halal bisa semakin murah. Ia justru mengkhawatirkan kesiapan MUI yang menerima proses sertifikasi dari LPH-LPH yang kemudian diproses menjadi fatwa.

"LPH nya banyak, MUI nya siap nggak. Itu yang jadi kunci," cetusnya. 

Selain itu, hal lain yang cukup menguntungkan berdasarkan UU JPH adalah masa berlaku halal yang semula dua tahun menjadi 4 tahun.

Industri sendiri, katanya, tengah bersiap menanti peraturan soal wajib sertikasi ini. Berhubung PP JPH sendiri masih seumur jagung. Industri mamin tengah menanti keputusan Kepala BPJPH Sukoso soal tata cara pendaftaran halal. Soal berapa biaya yang perlu dianggarkan untuk mengurus sertifikat halal, juga diharap bisa tersolusikan segera. Sementara, timeline atau alur urus sertifikat halal sudah dipahami oleh industri mamin. Di mana sertifikasi halal ditetapkan maksimal 62 hari kerja yakni 5 hari di BPJPH, 20 hari di LPH, 30 hari di MUI, dan 7 hari proses sertifikatnya.

"Itu yang sudah ditetapkan BPJPH, meskipun belum ditandatangani resmi karena masih tunggu PP semua," kata Adhi.

 

Menanggapi keluhan yang muncul, khususnya terkait biaya, Direktur Jenderal Industri Kecil Menengah dan Aneka Kementerian Perindustrian Gati Wibawaningsih menyatakan, akan memfasilitasi UMKM memperoleh sertifikasi halal. Gati memandang adanya kewajiban produk halal Oktober mendatang adalah potensi bagi UMKM. Menurutnya, label halal akan membuat produk lebih laku di pasaran. Karena itu, UMKM harus difasilitasi untuk memproses label halal termasuk dari pemerintah daerah dan pemerintah pusat. 

"Fasilitasnya adalah memberikan free sertifikat halal. Waktu perolehan sertifikat tersebut kami berikan pelatihan. Kami kerja sama juga dengan kadis-kadis provinsi untuk memfasilitasi IKM di daerah masing-masing," paparnya kepada Validnews, Selasa (28/5).

Untuk permulaan, Gati akan menyasar industri makanan dan minuman yang dipandang paling erat kaitannya dengan aspek halal. Kemudian diikuti sektor industri lainnya pada UMKM. "Nanti ke depan tahun 2020, yang namanya dana dekonsentrasi untuk pelatihannya, perolehan dari pada sertifikasi pasar," katanya. 

Selain soal harga, pengamat ekonomi syariah Farouk Abdullah Alwyni, juga berharap  adanya UU JPH, proses sertifikasi halal menjadi lebih simpel dan rapi. Menurutnya, ada pemain lain selain MUI, juga baik bagi dunia usaha. Logikanya, jika LPH tidak hanya satu maka tidak ada monopoli sehingga biaya proses sertifikasi halal bisa menjadi lebih murah. 

"Mungkin lebih dari satu Lembaga sertifikasi halal bagus juga itu supaya enggak monopoli satu Lembaga gitu. Sekarang MUI, harusnya selain MUI juga enggak masalah bagi saya. Supaya pemainnya enggak satu, jadinya enggak ketergantungan gitu," ungkapnya saat berbincang dengan Validnews, Senin (27/5). 

Kendala Bahan Baku
Selain biaya, Adhi mengakui pada industri mamin kendala sertifikasi halal terletak pada industri bahan baku yang belum semuanya berlabel halal. Berdasarkan amanat UU JPH, bahan baku impor harus berlabel halal melalui kerja sama dengan lembaga sertifikasi halal di negara asal. 

Dia meminta BPJPH melakukan penandatanganan pengakuan halal antara masing-masing negara. 

Sementara itu, pengamat ekonomi dari Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Heri Firdaus justru mengharapkan pemberlakuan standar halal sebagai saringan bagi produk-produk impor yang masuk ke tanah air.

“Jadi ini buat pembatasan impor juga, bahwa barang-barang enggak halal enggak boleh masuk ke dalam,” ungkapnya kepada Validnews, Selasa (29/5).

Namun, ia mengakui bagi industri di tanah air mandatory halal ini tidak bisa dilakukan serempak. Ada tahapan pemberlakukan. Koordinasi dengan pelaku usaha penting dilakukan. Pasalnya, pelaku usaha nantinya yang menjadi pelaksana aturan tersebut. (Kartika Runiasari, Zsazya Senorita, Sanya Dinda, Agil Kurniadi)

 


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentar Login atau Daftar





TERPOPULER