c

Selamat

Sabtu, 8 November 2025

EKONOMI

21 November 2017

07:00 WIB

Sejarah Hadirnya Sawit di Indonesia

Di masa orde baru, Presiden Soeharto mendorong perluasan lahan kelapa sawit dengan berorientasi menciptakan kesempatan keja, meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan sektor penghasil devisa negara

Sejarah Hadirnya Sawit di Indonesia
Sejarah Hadirnya Sawit di Indonesia
Ilustrasi sawit. (pixabay)

JAKARTA – Dipandang sebagai keajaiban ekonomi, industri minyak sawit Indonesia mengalami fenomena pertumbuhan luar biasa selama 30 tahun terakhir. Sawit menjadi ekspor paling berharga di belakang batubara dan migas. Sebagai salah satu gambaran, pada tahun 2014, Indonesia mampu memproduksi 33,5 juta ton minyak sawit yang menghasilkan US$18,9 miliar dari pendapatan ekspor. Karena itu pula Indonesia dikenal sebagai pengekspor sawit terbesar di dunia.

Dilansir dari berbagai sumber, meski secara industri baru berkembang pesat selama tiga dasawarsa, sawit sebenarnya telah lama dikenal di Indonesia. Tumbuhan asal Afrika Barat yang memiliki nama asli Elaeis guineensis ini pertama kali diperkenalkan di Indonesia oleh pemerintah Belanda pada tahun 1848 dengan membawa 4 batang bibit kelapa sawit dari (Bourbon) Mauritius dan Amsterdam (Belanda).

Beberapa bijinya ditanam di Kebun Raya Bogor yang bertujuan sebagai tanaman hias langka, sementara sisa benihnya ditanam di tepi-tepi jalan sebagai tanaman hias di Deli (Sumatera Utara) pada tahun 1870-an.

Di periode tersebut secara bersamaan, permintaan minyak nabati mengalami peningkatan akibat Revolusi Industri pada pertengahan abad ke-19. Dari sini kemudian muncul ide membuat perkebunan kelapa sawit berdasarkan tumbuhan seleksi dari Bogor dan Deli yang kemudian dikenal dengan jenis sawit "Deli Dura”.

Pada tahun 1911, kelapa sawit mulai diusahakan dan dibudidayakan secara komersial di Hindia Belanda oleh seorang warga negara Belgia bernama Adrien Hallet. Budidaya itu kemudian diikuti oleh K. Schadt berkebangsaan Jerman yang menandai lahirnya perkebunan kelapa sawit di Indonesia mulai berkembang. Perkebunan kelapa sawit pertama berlokasi di Pantai Timur Sumatera (Deli) dan Aceh dengan luas areal mencapai 5.123 hektare.

Saat masih dalam pendudukan Belanda, perkebunan kelapa sawit di Indonesia maju pesat, bahkan menggeser dominasi ekspor negara Afrika waktu itu. Kondisi itu berubah ketika masa pendudukan Jepang.

Pengelolaan perkebunan sawit zaman kolonial umumnya dilakukan oleh perusahaan swasta asing yang berciri khas investasi padat modal dan padat tenaga buruh. Perkebunan sawit dilakukan melalui alih fungsi lahan, yaitu mengubah bentang hutan tropis menjadi perkebunan monokultur skala besar.

Bahkan di wilayah Sumatera Utara beberapa sarana transportasi pendukung berupa jalur rel kereta api yang digunakan untuk mengangkut hasil panen buah kelapa sawit, hingga kini masih terlihat dan masih dimanfaatkan.

Memasuki masa pendudukan Jepang, perkembangan usaha perkebunan kelapa sawit  mengalami penyusutan sebesar 16% dari total luas lahan yang ada. Sempat mengekspor 250.000 ton minyak sawit di tahun 1940, produksi minyak sawit di Indonesia hanya mencapai 56.000 ton pada tahun 1948.

Di tahun 1957, dengan alasan politik dan keamanan, pemerintah mengambil alih perkebunan yang ditinggalkan Belanda dan Jepang. Perwira militer ditempatkan di setiap jenjang manejemen perkebunan untuk mematsikan amannya produksi minyak sawit. Pemerintah juga membentuk kerja sama antara buruh perkebunan dan militer yang diberi nama BUMIL (Buruh Militer).

Sayangnya, perubahan manajemen dalam perkebunan ditambah kondisi sosial politik serta keamanan dalam negeri yang tidak kondusif, mengakibatkan produksi kelapa sawit menurun. Posisi Indonesia sebagai pemasok minyak sawit dunia terbesar akhirnya tergeser oleh Malaysia.

Pabrik Sawit
Pasca berakhirnya masa kolonial, investasi asing mulai masuk dan memacu pertumbuhan perusahaan perkebunan sawit. Puncaknya adalah masa orde baru, Presiden Soeharto membuka keran izin peraturan perundangan bagi liberalisasi ekonomi.

Sejalan dengan maraknya pembukaan hutan lewat izin pembalakan, menggeliatnya industri minyak sawit yang bermula sejak akhir dekade 1960-an turut terdorong. Perkebunan sawit yang dimiliki negara (PT Perkebunan Nusantara) mengalami pertumbuhan pada tahun 1970-an. Perkebunan petani kecil pun mengalami perkembangan setelah 1979, berkat dukungan dana dari Bank Dunia.

Di masa orde baru, Presiden Soeharto memang mendorong perluasan lahan kelapa sawit. Berorientasi menciptakan kesempatan kerja, meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan sektor penghasil devisa negara, pemerintah mendorong pembukaan lahan baru untuk perkebunan.

Hasilnya, hingga tahun 1980, lahan sawit di Indonesia mencapai 294.560 hekatre dengan produksi CPO (Crude Palm Oil) sebesar 721.172 ton. Perkebunan kelapa sawit Indonesia berkembang pesat terutama perkebunan rakyat dengan dukungan kebijakan Pemerintah melalui program Perusahaan Inti Rakyat Perkebunan (PIR–BUN).

Salah satu momentum kebangkitan kelapa sawit di periode ini adalah dioperasionalkan pabrik kelapa sawit PT Perkebunan IV Tor Gamba, di Sumatera Utara, 28 Juli 1983. Dalam sambutannya ketika itu, Soeharto menekankan pembangunan pabrik sawit membuktikan Indonesia mampu mengolah hasil perkebunan menjadi barang jadi.

Pembangunan industri didukung dengan pertanian yang kuat dipandangnya penting untuk mewujudkan masyarakat sejahtera. Hal itu diartikan Soeharto, dalam melaksanakan pembangunan, harus menggerakan bidang indutri bersamaan dengan terus dilanjutkannya sektor pertanian.

“Adanya pabrik ini berarti meningkatnya minyak kelapa sawit. Kebutuhan minyak kelapa sawit harus terus bertambah besar. Karena pada tahun-tahun belakangan ini minyak kelapa sawit telah dapat kita proses untuk dijadikan minyak goreng,” pesan Soeharto ketika itu.

Keseriusan pemerintah terhadap komoditas sawit ditunjukkan melalui perluasan lahan yang dilakukan PT Perkebunan IV. Bahkan perluasan ini menjadi program kerja pemerintah yang dimasukkan dalam Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) IV hingga Repelita VI.

Kerjasama bilateral, salah satunya dengan India pun dijajaki. Pada tahun 1992, India kepada pemerintah Indonesia malalui Menteri Perindustrian Hartarto meminta agar Indonesia mendirikan pabrik minyak kelapa sawit di negara mereka. Bahan yang akan diolah oleh pabrik tersebut adalah minyak sawit mentah (CPO) yang didatangkan dari Indonesia.

Sekjen Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Togar Sitanggang kepada Validnews bercerita pada masa Soeharto keran industri sawit dibuka lebar. Bahkan dirinya memandang ketika itu sebagai sejarah berkembangnya industri sawit secara benar dan cepat. Hal itu menurutnya lantaran Soeharto sadar benar bahwa jumlah penduduk yang terus meningkat tak dapat diimbangi dengan pasokan minyak nabati.

“Dia (Soeharto) mengeluarkan program perkebunan besar swasta nasional (PBSN). Dengan kredit murah, untuk pengembangan sawit. Itu dilaksanakan oleh PTPN dan beberapa grup,” jelas Togar.

Pada pertengahan tahun 1990-an, perusahaan-perusahaan transnasional di industri minyak sawit masuk dengan menanamkan modal tiga kali lebih besar, rantai produksi global, serta melakukan perluasan geografis perkebunan minyak sawit dari Malaysia ke Indonesia.

Ekspansi perkebunan sawit transnasional semakin cepat, sejalan dengan krisis keuangan di Asia pada akhir dekade 1990-an. Organisasi semacam IMF (International Monetary Fund) dengan LOI (Letter of Intent) memberikan paket bagi Indonesia untuk melakukan liberalisasi investasi asing di sektor minyak sawit.

Otonomi Daerah
Lengsernya Soeharto ditandai dengan era reformasi yang memunculkan kebijakan otonomi daerah tak pelak turut menjadikan industri sawit di Indonesia semakin masif. Eksistensi sawit ditandai dengan diterbitkannya Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 107 Tahun 1999 mengenai Izin Usaha Perkebunan menggantikan Keputusan Menteri Pertanian Nomor 786 Tahun 1996. Izin usaha dengan peningkatan pembukaan lahan berubah dari 200 hektare menjadi 1000 hektare.

Sejumlah provinsi berpotensial bahkan hingga saat ini diantaranya Sumatera Utara, Riau, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur dan Sulawesi Selatan.

Perusahaan berskala besar dapat mengajukan izin mencapai 20.000 hektare di satu provinsi dan 100.000 hektare di seluruh Indonesia dengan kewajiban membangun kemitraan kerjasama dengan perusahaan skala kecil dan menengah yang dinamakan PIR-KKPA (PIR- Kredit kepada Koperasi Primer untuk Anggotanya).

Pada tahun 2002, diterbitkan aturan baru yaitu Keputusan Menteri Pertanian Nomor 357 tahun 2002 yang menggantikan Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 107 Tahun 1999. Kepmen baru itu merupakan tanggapan terhadap pelaksanaan Undang-Undang Otonomi Daerah Nomor 22 Tahun 1999, yang menekankan struktur desentralisasi pemerintah.

Tahun 2007, melalui Peraturan Menteri Pertanian Nomor 26 tahun 2007 diatur perihal cadangan lahan (land bank) secara masif di atas 100.000 hektare per perusahaan. Tak hanya menteri, kewenangan atas pemberian izin atas lahan sawit juga dimiliki kepala daerah sebagai efek dari diberlakukannya otonomi daerah.

Tak hanya Gubernur, Bupati pun memiliki kewenangan luas dalam pembangunan ekonomi, perencanaan tata ruang, dan otoritas pemberian izin usaha. Banyaknya perizinan dikeluarkan akhirnya membuat ekspansi perkebunan sawit menjadi masif. Hanya dalam kurun waktu 20 tahun (1990—2010), perkebunan sawit di Indonesia berkembang dari sekitar 1,1 juta hektare menjadi 7,8 juta hektare. Jumlah ini meningkat menjadi 11,9 juta hektare pada saat ini. (M Bachtiar Nur, Dianita Catriningrum, Teodora Nirmala Fau)


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar