c

Selamat

Senin, 17 November 2025

EKONOMI

12 Desember 2017

19:54 WIB

Sawit Diperangi, Barter dan Pasar Baru Jadi Solusi

Pasar baru lainnya yang sangat patut dipertimbangkan adalah kawasan Afrika. Ditemukan dalam data BPS bahwa banyak negara di Afrika yang pada tahun ini mulai mengimpor CPO dari Indonesia

Sawit Diperangi, Barter dan Pasar Baru Jadi Solusi
Sawit Diperangi, Barter dan Pasar Baru Jadi Solusi
Pekerja mengangkut sawit ke dalam truk di kawasan perkebunan sawit PT Wanasawit Subur Lestari 2, Kalimantan Tengah. ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari

JAKARTA- Perang dagang minyak nabati membuat beberapa negara produsen minyak nabati membentengi diri mereka dengan sejumlah strategi. Selain menyiapkan argumentasi, Indonesia sebagai ‘penguasa’ pangsa pasar minyak sawit tentu harus mencari berbagai alternatif guna mempertahankan posisinya di industri minyak nabati dunia.

Sebagai komoditas utama ekspor sekaligus sumber devisa ekspor nonmigas terbesar, Indonesia memang amat mengandalkan sawit di perdagangan internasional. Apalagi, permintaan minyak kelapa sawit sebagai minyak nabati terus meningkat di seantero dunia.

Berdasarkan paparan Franky O Widjaja dalam Rapat Kerja Nasional Kementerian Perdagangan 20 Februari 2017 silam, saat ini Indonesia masih mengandalkan beberapa negara Asia, seperti India dan China, serta negara barat, seperti Uni Eropa dan Amerika Serikat sebagai destinasi ekspor sawit.

Kemudian, menurut data dari BPS, India masih tercatat sebagai destinasi nomor satu ekspor sawit Indonesia, dengan besarnya ekspor minyak sawit ke India pada periode Januari sampai September 2017 adalah 5,63 juta ton.

Sementara negara Uni Eropa yang paling banyak mengimpor minyak sawit dari Indonesia adalah Spanyol, yakni sebesar 1,03 juta ton. Sedangkan besarnya ekspor minyak sawit Indonesia ke Amerika Serikat adalah 810,9 ribu ton.

Apesnya, status negara-negara tersebut sebagai produsen minyak nabati lainnya, membuat mereka memproteksi diri dengan berbagai hambatan, untuk menahan masuk minyak swait. India misalnya. Sebagai salah satu produsen rapeseed oil terbesar, Negeri Anak Benua ini membentengi diri dengan menaikkan bea masuk minyak sawit mentah (CPO) dari yang sebelumnya 7,5% menjadi 15%. 

Kemudian, pajak impor produk sawit olahan juga dinaikkan menjadi 17,5% dan 25% dari sebelumnya 12,5% serta 15%.

Uni Eropa, juga sebagai produsen rapeseed oil terbesar, juga ikut membentengi diri dengan resolusi bertajuk Report Palm Oil and Deforestation on Rainforest. Melalui resolusi tersebut, Eropa menekankan hanya memberi izin masuk CPO yang ditanam secara berkelanjutan dan memiliki sertifikat yang jelas.

Setali tiga uang, negeri Abang Sam sebagai produsen terbesar kedua di minyak kedelai membentengi diri mereka dengan pengenaan bea masuk yang ditambah instrumen countervailing duties (CVD's). Sekadar informasi, CVD’S adalah aksi penerapan pungutan tambahan terhadap produk impor dari suatu negara, sebagai dampak dari Beggar Thy Neighbour Policy.

Alhasil, tanpa counter policy dari Indonesia dan tindakan lainnya, pasar yang mapan atau traditional market tak hanya berpotensi tergerus, tapi juga berpotensi hilang tergantikan produk subtitusi minyak sawit.  

Ekspor Tergerus
Ambil contoh, sepanjang tiga triwulan di tahun ini, pasokan CPO Indonesia ke sebagian negara-negara yang selama ini jadi pasar sawit Indonesia, siginifikan berkurang. Penurunan yang paling signifikan, terlihat pada Kolombia.

Hingga triwulan III 2017, sudah tidak ada impor CPO dari Indonesia di negeri yang secara geografis berlokasi di Amerika Latin ini. Padahal dalam periode Januari—September 2016 kemarin, ekspor CPO ke Kolombia mencapai 6.799,30 ton.

Untuk diketahui berdasarkan data dari pemeringkat komoditas dunia, Indexmundi, Kolombia sebenarnya juga merupakan salah satu produsen minyak sawit terbesar. Ia berada di peringkat keempat dunia dengan produksi di tahun ini diestimasikan mencapai 1,32 juta ton.

Pasar lainnya yang hilang, antara lain Australia, Selandia Baru, Eritrea, dan Portugal. Soal Portugal sendiri, adanya isu lingkungan hingga gerakan antisawit bisa jadi merupakan penyebab negara tersebut tak lagi mengimpor CPO dari Indonesia.

 

Sudah jadi rahasia umum, selama ini Eropa memang keras bersuara menyoal perkebunan sawit berkesinambungan dari Indonesia. Pada periode yang sama tahun lalu, Portugal masih mengimpor sawit dari Indonesia, meskipun jumlahnya tidak terlalu besar. Angkanya berada di kisaran 72,41 ton.

Meski dampak hambatan-hambatan tersebut belum terlalu besar terhadap penurunan ekspor, Indonesia tentu harus mulai mencari cara untuk melakukan penetrasi pasar lainnya. Salah satunya adalah dengan melakukan perdagangan dengan metode barter.

Seperti dilansir dari Antara, Indonesia membarter hasil komoditas, seperti karet dan sawit dengan 11 pesawat tempur Sukhoi SU-35 dari Rusia.

Memang jika dilihat dari komoditas, proses barter tersebut sedikit tidak lazim. Namun jika dimaknai lebih dalam, proses barter tersebut bertujuan untuk menjadikan Rusia sebagai alternatif pintu masuk minyak sawit ke daratan Eropa. Hal ini demi melemahkan posisi tawar Uni Eropa dan meningkatkan posisi tawar Indonesia.

Media bisnis internasional, Fortune juga mengabarkan bahwa Menteri Perdagangan Republik Indonesia Enggartiasto Lukita pada Mei lalu tengah menjajaki peluang kerjasama dengan Nigeria. Dalam kunjungannya ke Nigeria, Enggar dikabarkan tengah mengajukan proposal pertukaran minyak sawit dari Indonesia dengan minyak mentah (crude oil) dari Nigeria.

Proses barter seperti ini tentunya bisa dilihat juga sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhan masing-masing negara. Selain itu, juga bisa dimanfaatkan sebagai celah untuk masuk ke pasar yang selama ini belum terjamah (non-traditional).

Pasar Baru
Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Oke Nurwan mengakui pemerintah saat ini sedang mengupayakan pembukaan pasar baru ekspor sawit Indonesia.

“Kami sedang berupaya meningkatkan perdagangan dengan negara lainnya, saat ini seperti ke Pakistan yang meningkat tajam perdagangan sawitnya. Ke negara lain juga kita lakukan. Di 2018 itu ada 15 kerja sama perdagangan yang akan membuka pasar-pasar baru, bukan hanya sawit tapi semua produk Indonesia,” ujar Oke kepada Validnews Jumat (8/12).

Berdasarkan data dari BPS, ekspor minyak sawit Indonesia ke negara tetangga India itu memang meningkat selama setahun terakhir. Besarnya ekspor sawit Indonesia ke Pakistan selama periode Januari—September 2017 tercatat sebesar 1,65juta ton, naik 13,81% dari periode yang sama setahun sebelumnya.

Adapun 15 negara yang akan bekerja sama dengan Indonesia di tahun 2018, Oke menyebutkan beberapa diantaranya adalah negara gulf country alias negara-negara Timur Tengah.

“Pak Menteri juga melakukan kunjungan ke Cile dan Argentina. Lalu, dengan Australia yang sekarang masih berjalan perundingannya, diperkirakan perundingan selesai tahun ini,” kata Oke menambahkan.

Senada dengan pernyataan sang Dirjen, pasar-pasar baru untuk CPO ke Timur Tengah memang mulai tumbuh di tahun ini. Berdasarkan data ekspor BPS, beberapa negara Timur Tengah yang muncul sebagai pasar sawit, antara lain Qatar dan Kazakstan. Per Januari—Oktober 2017, ekspor CPO ke dua negara tersebut secara berturut-turut sebesar 271,17 ton dan 24,70 ton.

Menjalin perundingan dengan Cile pun masuk akal. Pasalnya, pergerakan positif terkait ekspor CPO ke negara Amerika tersebut cukup signifikan. Bisa jadi, Cile menjadi pasar potensial untuk ke depan. Soalnya dalam tiga triwulan di tahun ini saja, ekspor CPO ke sana telah mencapai 236,22 ton.

Benua Amerika pun menyimpan potensi besar untuk menjaring pasar baru guna sawit Indonesia. Setidaknya, Guetemala suah mengimpor sebanyak 3,99 ribu ton CPO dari Indonesia sepanjang 2017. Padahal, sebelumnya tidak ada catatan mengenai ekspansi ekspor sawit ke negara di Amerika latin tersebut.

Sementara itu, berdasarkan penelusuran Validnews dari Majalah Direktorat Jenderal Amerika dan Eropa, Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, negara Amerika Latin lainnya yang bisa menjadi pasar sawit Indonesia adalah Peru.

Hal ini sejalan dengan data dari BPS, yang menyatakan meski ekspor sawit Indonesia ke Peru pada Januari hingga September 2017 hanya sebesar 71,22 ton. Namun persentase peningkatan ekspor dari periode yang sama setahun sebelumnya mencapai 239,17%.

Pasar baru lainnya yang sangat patut dipertimbangkan adalah kawasan Afrika. Ditemukan dalam data BPS bahwa banyak negara di Afrika yang pada tahun ini mulai mengimpor CPO dari Indonesia. Yang paling mencolok adalah Mauritius. Negara yang berada di sebelah timur Pulau Madagaskar ini pada periode Januari—September 2017 telah mengimpor 1,7 ribu ton CPO dari Indonesia.

 

Adapun di Eropa, negara yang masih berpotensi menjadi pasar baru minyak sawit Indonesia menurut majalah yang sama adalah Yunani. Selama periode 2011-2014, Indonesia merupakan negara eksportir utama minyak kelapa sawit ke Yunani. Pada periode Januari—September 2017, besarnya ekspor minyak sawit Indonesia ke Yunani adalah sebesar 52,9 ribu ton, naik 116,43% dari periode yang sama setahun sebelumnya.

Jika melihat data pertumbuhan konsumsi industri domestik sawit (Industrial Domestic Consumption) tahunan dari Indexmundi maka negara Asia yang berpotensi menjadi pasar baru bagi Indonesia adalah negara tetangga India lainnya, Bangladesh.

Menurut data tersebut, sepanjang tahun ini konsumsi di Bangladesh tumbuh 20% menjadi 120.000 ton, atau yang tertinggi kedua di bawah Malaysia (38,89%).

Selera Masyarakat
Dalam upaya membuka pasar baru, menurut Sektretais Jenderal GAPKI Togar Sitanggang, salah satu tantangannya adalah terkait selera masyarakat. Hal ini seperti yang dialami Indonesia dalam mengganti minyak kelapa sebagai minyak nabati utama menjadi minyak sawit.

“Peluang pasar itu kan di mana-mana ya. Tapi kan kita juga membutuhkan waktu untuk mengubah taste (selera-red),” ujar Togar kepada Validnews beberapa waktu lalu.

Ia menceritakan, sawit itu sendiri sampai diterima dengan baik sebagai subtitusi minyak kelapa harus mengalami sejarah yang Panjang. “Tahun 80-an awal, itu pemerintah menyadari perkembangan penduduk itu tidak bisa diimbangi dengan perkembangan minyak nabati Indonesia, dalam hal ini kelapa. Nah, diketahui bahwa sawit itu bisa menggantikan minyak kelapa,” tuturnya.

Untuk itu, dalam upaya membuka pasar baru tetap diperlukan pula upaya untuk mengkampanyekan kegunaan sawit secara positif. Hal ini sebagai bentuk melawan kampanye hitam terhadap sawit dan meyakinkan masyarakat dunia yang selama ini belum mengkonsumsi minyak sawit menjadi konsumen.

Menurut Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (PASPI) seperti dilansir dari Buku Mitos vs Fakta Industri Minyak Sawit Indonesia Edisi Ketiga (2017), setidaknya ada beberapa keunggulan sawit dibandingkan minyak nabati lainnya.

Salah satunya adalah minyak sawit tidak mengandung asam lemak trans, sedangkan minyak kedelai, rapeseed dan sunflower mengandung asam lemak trans yang ditengarai penyebab penyakit jantung/pembuluh darah. Selain itu, minyak sawit mengandung antioksidan seperti betakaroten, tokoferol yang bermanfaat sebagai anti kanker, anti kolesterol dan anti penuaan dini.

Minyak sawit juga memiliki karakteristik kimia unggul yang sesuai dengan variasi kebutuhan berbagai macam industri pangan. Hal inilah yang perlu diketahui masyarakat calon pasar berikutnya industri sawit Indonesia, supaya mereka beralih dan melakukan permintaan terhadap sawit.

Sementara itu, pakar perdagangan internasional UGM Tri Widodo menilai, selain upayanya melakukan penetrasi ke negara-negara lain yang berpotensi sebagai pasar baru sawit Indonesia, hal yang tidak boleh dilupakan adalah penguatan pasar sawit dalam negeri Indonesia. Pertama, kata Tri, Indonesia harus mengembangkan pasar domestik secara all out, termasuk dengan melkukan proteksi dari produk minyak nabati lain.

“Kita perlu mengembangkan CPO berdaya saing dengan dasar pasar domestik dulu, setelah kuat baru pasar ekspor baru untuk sawit dan bahkan industri turunannya (hilir). Beberapa pasar yang bisa dimasuki sebenarnya termasuk pasar gemuk seperti Brasil, Rusia, China, Korea juga negara negara Timur Tengah,” ucap Tri kepada Validnews, Senin (11/12).

Jangan Lupakan Eropa
Meski gencar berupaya membuka pasar-pasar baru komoditas sawit Indonesia, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Enny Sri Hartati menyarankan pelaku pasar tidak melupakan pasar tradisional, seperti hanya negara-negara Eropa.

Pasalnya ia yakin, pada akhirnya konsumen Eropa juga akan berpikir rasional memilih produk yang terbaik. Sesuai hukum ekonomi, kata Enny, pasar akan menyesuaikan dengan needs (kebutuhan) dan wanted (keinginan).

"Jadi ke depannya jika sawit bisa tetap menunjukkan eksistensinya sebagai minyak nabati yang paling efisien dan efektif, maka sawit tetap akan jadi pilihan,” ujar Enny.

Penelitian yang dilakukan oleh PASPI seperti dikutip dari buku Buku Mitos vs Fakta Industri Minyak Sawit Indonesia juga menyatakan keunggulan sawit yang lebih efisien dan efektif dibanding minyak nabati lainnya. Penelitan tersebut menyebutkan, untuk memenuhi kebutuhan minyak nabati menuju tahun 2050, peningkatan produksi minyak sawit bisa menjadi solusi ketimbang peningkatan produksi minyak nabati lainnya.

Sebagai gambaran, tambahan areal baru kebun kedelai untuk memenuhi kebutuhan minyak nabati tahun 2050 adalah seluas 340 juta hektare (dengan asumsi produktivitas 0,5 ton minyak/hektare). Hal ini berarti masyarakat dunia akan kehilangan hutan (deforestasi) seluas 340 juta hektare.

Jika masyarakat dunia memilih pemenuhan tambahan kebutuhan minyak nabati dunia menuju 2050 dari minyak sawit, maka ekspansi kebun sawit (tambahan) yang diperlukan hanya cukup seluas 34 juta hektare, dengan asumsi produktivitas 3,5—4 ton minyak/hektare.

Hal ini menunjukkan ekspansi kebun sawit dunia jauh lebih menguntungkan bagi dunia daripada ekspansi kebun minyak nabati lainnya. Untuk diketahui, satu hektare bunga matahari hanya mampu memproduksi sekitar 800 kilogram minyak nabati dalam kurun yang sama. Angka produksi minyak nabati dari kedelai bahkan jauh lebih rendah, hanya di kisaran 375 kilogram tiap hektarenya.

Untuk itu, ke depannya, bukan tidak mungkin masyarakat dunia termasuk Eropa tetap akan lebih memilih sawit ketimbang minyak nabati lainnya. Selain itu, tak dimungkiri pula, sesuai hasil penelitian dari Europe Economics tahun 2014, penggunaan minyak sawit di Eropa menciptakan kesempatan kerja bagi 117 ribu orang, dan pendapatan sekitar 5,8 miliar Euro setiap tahun bagi masyarakat Uni Eropa.

Artinya, melihat dampak dan manfaat dari sawit, cepat atau lambat pasar sawit Eropa ke depan bisa kembali bergelora. Hal ini yang menurut Enny perlu dimanfaatkan Indonesia, supaya tidak terlena dengan posisi saat ini sebagai penguasa pangsa produksi sawit.

“Yang repot kalau mereka turut bermain di industri yang sama, lalu kita tidak siap. Indonesia harus tetap mengukuhkan dirinya sebagai pemain utama di industri ini. Makanya tetap perlu ditingkatkan beberapa infrastruktur seperti pembangunan pelabuhan yang menjadi hub-hub ekspor, untuk menunjang proses ekspor ke depannya,” ujar Enny. (Rizal, Teodora Nirmala Fau, Fin Harini, M Bachtiar Nur)


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar