16 Januari 2019
09:41 WIB
Editor: Agung Muhammad Fatwa
JAKARTA – Ketergantungan Indonesia akan impor gula tak akan sirna. Pasalnya, kebutuhan yang terus bertumbuh tak dapat dipenuhi oleh industri gula dalam negeri. Mesin-mesin pabrik gula berumur ratusan tahun (100-187 tahun) masih mendominasi hingga 59,7% dan perubahan peruntukan lahan pertanian masih menjadi kendala.
Pabrik gula tua yang rata-rata didapati di pabrik gula BUMN membuat produksi gula tidak hanya menjadi terbatas. Karena tak efisien, harga gula dari pabrik-pabrik tua tersebut menjadi 3—4 kali lipat lebih tinggi dibandingkan gula impor sehingga tidak laku di pasar. Kalangan dewan dan ekonom mengkritik langkah pemerintah yang tak kunjung melakukan revitalisasi industri gula secara komprehensif.
“Yang tua itu kan pabrik-pabrik gula BUMN. Revitalisasi pabrik juga kelihatan setengah hati. Cuma revitalisasi di bagian apa, terus di bagian apa. Harusnya revitalisasi menyeluruh,” ujar Ekonom dari Universitas Gadjah Mada, Revrisond Baswir kepada wartawan, Selasa (15/1).
Untuk diketahui, harga gula lokal sampai November 2018 lalu sebesar tiga kali lipat dibandingkan dengan harga gula dunia. Harga gula lokal mencapai Rp12.163 per kg, sementara rata-rata harga gula mentah dunia hanya Rp4.000.
Soal revitalisasi menyeluruh ini pun, Revrisond berpandangan, sulit terjadi. Pasalnya, investor akan cenderung ragu melihat produksi tebu nasional yang dipandang tidak akan mencukupi kebutuhan pabrik gula sendiri.
“Selama ini kan lahan tebu itu masih bercampur-campur. Jarang yang lahan tebu doang tanpa ditanami apa-apa lagi,” imbuhnya.
Kementan Abai
Namun, perluasan lahan pun menjadi muskil dilakukan. Melihat dari kecenderungan Kementerian Pertanian yang abai terhadap masalah produksi tebu nasional ini.
“Perhatian Kementerian Pertanian masih minim ya soal gula ini,” keluh pengamat ekonomi ini lagi.
Dilihat dari Statistik Perkebunan Indonesia Komoditas Tebu 2015-2017, lahan perkebunan tebu dalam periode 2008-2017 tak banyak mengalami perubahan. Pada periode tersebut, luas rata-rata mencapai 454.782 hektare, dengan luasan tertinggi pada 2014 yakni 478.108 hektare dan luasan terendah pada 2009 seluas 441.440 hektare.
Dari luasan tersebut, rata-rata produksi pada periode yang sama adalah 246 juta ton.
Diakui oleh anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan pemerintah terkait peningkatan produksi gula nasional. Anggota DPR pun menyesalkan pemerintah terkesan lamban dalam hal revitalisasi ini.
Anggota Komisi VI Inas N Zubir, berdasarkan kunjungan yang dilakukannya di beberapa pabrik gula milik BUMN, rendahnya produksi gula nasional lantaran pabrik yang sudah berusia tua. Dari kunjungan itu, Inas menyatakan, pabrik gula berplat merah sudah tak dapat direvitalisasi lagi.
“Pabrik gula itu harus dibongkar dan dibangun ulang dengan mesin yang modern. Karena sudah terlampau tua,” kata Inas, di Jakarta, Selasa (15/1).
Inas melanjutkan, tak hanya umur pabrik gula yang menjadi masalah minimnya produksi gula dalam negeri. Menurutnya, sejauh ini, pemerintah tak mampu menjaga kestabilan produksi tebu para petani.
“Banyak lahan tebu berubah menjadi area bisnis bahkan perumahan. Ini adalah dampak dari otonomi daerah. Pemerintah Daerah senaknya saja merubah lahan pertanian tebu menjadi fungsi lain,” tambahnya.
Hal serupa diungkapkan Wakil Ketua Komisi VI DPR RI Azam Azman Natawijana. Azam menuturkan, pemerintah melalui Menteri BUMN perlu melakukan revitalisasi seluruh pabrik gula berplat merah.
“Pemerintah masih perlu melakukan revitalisasi. Apalagi, untuk merevitaliasi pabrik gula ini tidak susah. Teknologi yang dibutuhkan tidak terlalu canggih,” tutur Azam.
Azam berpandangan, pemerintah perlu menggenjot jumlah produksi gula dalam negeri. Sebab, produksi gula ini bisa membantu keuangan negara.
Indonesia disebut sebagai importir gula terbesar di dunia. Berdasarkan data lembaga penyedia data Statista, pada 2017/2018, Indonesia mengimpor gula sejumlah 4,45 metrik ton. Volume impor ini turun setelah sempat menyentuh angka 4,6 juta ton pada 2016, melonjak dari tahun sebelumnya sebesar 3,4 juta ton.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) pun menyebutkan nilai impor tertinggi pada 2016, yakni mencapai US$2,09 miliar, melonjak dari 2015 sebesar US$1,25 miliar. Di 2017 dan 2018, nilai impor sedikit menyusut menjadi US$2,07 miliar dan US$1,79 miliar.
Baca Juga:
Sebelumnya, pengamat ekonomi Universitas Indonesia, Faisal Basri, yang mengkritik pemerintah soal tingginya impor gula juga menyebutkan kondisi pabrik yang telah tua menjadi salah satu penyebab terjadinya impor.
Menurutnya, dari 45 pabrik yang dimiliki oleh PTPN dan RNI, sebanyak 78% di antaranya berumur lebih dari 100 tahun sehingga tak lagi efisien. Selain itu, kapasitas yang dimiliki masing-masing pabrik pun terbatas, yakni sebagian besar memiliki kapasitas di bawah 4.000 ton. Masalah ketersediaan lahan tebu juga menjadi faktor terbatasnya produksi.
“Diperlukan peningkatan luas areal perkebunan dan upaya untuk meningkatkan produktivitas usaha tani,” katanya dalam konferensi menyoal impor gula yang digelar di Jakarta, Senin (14/1).
Dalam kesempatan yang sama, peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Ahmad Heri Firdaus menyebutkan program revitalisasi pabrik gula perlu terus dilakukan untuk menghilangkan ketergantungan pada impor. Namun, hingga kini program tersebut tak berjalan dengan baik.
“Revitalisasi tidak berjalan baik di sisi hulu maupun di sisi hilir,” katanya.
Padahal, lanjutnya, peremajaan itu bisa menaikkan kapasitas produksi. Misalnya dengan pembelian mesin baru, produksi suatu pabrik yang tadinya cuma 2.000 ton per hari menjadi 4.000 ton per hari.
“Sehingga dengan sendirinya impor tidak dibutuhkan lagi,” ujar Heri.
Senada dengan Faisal, Heri menilai revitalisasi tak hanya menyasar hilir, namun juga harus dilakukan dari sisi hulu. Peningkatan luas areal tebu dengan bibit yang berkualitas perlu dilakukan untuk meningkatkan produksi gula.
Dalam pemberitaan sebelumnya, revitalisasi Pabrik Gula (PG) Asembagus yang berlokasi di Kabupaten Situbondo, Jawa Timur dilaporkan molor dari jadwal. Sedianya, revitalisasi pabrik yang berusia 127 tahun tersebut selesai pada Juli 2018. Namun, penyelesaian revitalisasi tersebut terlambat sehingga PG Asembagus baru bisa kembali beroperasi pada musim giling mendatang, yakni Juni 2019. Pabrik gula ini tak beroperasi pada musim giling 2018.
Lewat revitalisasi, kapasitas PG Asembagus ditingkatkan menjadi dua kali lipat, yakni 6.000 ton tebu per hari (TCD). (James Manullang, Teodora Nirmala Fau, Sanya Dinda)