c

Selamat

Minggu, 16 November 2025

EKONOMI

10 September 2018

15:12 WIB

Perusahaan Konsumer Dinilai Lebih Tahan Uji Terhadap Pelemahan Rupiah

PT Gudang Garam Tbk (GGRM), PT Hanjaya Mandala Sampoerna (HMSP), dan PT Mayora Indah adalah tiga perusahaan yang paling resilient terhadap pelemahan rupiah

Editor: Agung Muhammad Fatwa

Perusahaan Konsumer Dinilai Lebih Tahan Uji Terhadap Pelemahan Rupiah
Perusahaan Konsumer Dinilai Lebih Tahan Uji Terhadap Pelemahan Rupiah
Seorang pembeli memilih makanan kaleng di salah satu pusat perbelanjaan di Surabaya, Jawa Timur, beberapa waktu lalu. ANTARA FOTO/Zabur Karuru

JAKARTA - Sektor konsumer dinilai cukup tahan uji dalam menghadapi pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Pasalnya, pelemahan yang terjadi secara gradual membuat perusahaan memiliki waktu untuk melakukan penyesuaian harga secara perlahan.

"Meski demikian, tidak dimungkiri ada beberapa perusahaan konsumer yang mengalami tekanan," kata Analis Bahana Sekuritas Deidy Wijaya dalam kajiannya di Jakarta, Senin (10/9).

Menurut dia, terdapat tiga hal mendasar yang bisa dicermati dalam melihat fleksibilitas perusahaan dalam menyesuaikan harga barang. Di antaranya soal klasifikasi produk kebutuhan utama, tingkat persaingan dan tersedianya barang pengganti atau substitute goods di pasar, serta tingkat harga barang.

Deidy memaparkan PT Gudang Garam Tbk (GGRM), PT Hanjaya Mandala Sampoerna (HMSP), dan PT Mayora Indah adalah tiga perusahaan yang paling resilient terhadap pelemahan rupiah. Ia menjelaskan, GGRM dan HMSP memiliki bahan baku mayoritas dari dalam negeri.

Sedangkan MYOR, meskipun sebagian besar bahan baku terpengaruh dengan depresiasi rupiah, namun perusahaan makanan itu juga memiliki penjualan ekspor.

"Beban biaya dalam dolar AS bisa di-offset dengan pendapatan dolar yang dihasilkan," serunya.

Sementara itu, Deidy juga menyampaikan, terdapat tiga perusahaan yang sensitif terhadap pelemahan rupiah yakni PT Erajaya Swasembada (ERAA), PT Mitra Adiperkasa (MAPI), dan PT Ace Hardware (ACES). Ia menilai masalah yang dihadapi ketiga perusahaan itu yakni, karena porsi impor yang cukup besar serta tidak memiliki banyak ruang untuk memotong belanja operasional.

"Kemampuan perusahan untuk menaikkan harga cukup terbatas, sehingga akan berpengaruh terhadap permintaan," imbuhnya.

Berdasarkan Survei Konsumen Bank Indonesia pada bulan Agustus 2018, optimisme konsumen tetap terjaga. Hal ini tercermin dari Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) Agustus 2018 yang tetap berada dalam zona optimis (di atas 100) yakni sebesar 121,6, meskipun lebih rendah dibandingkan 124,8 pada bulan sebelumnya.

Masih terjaganya optimisme konsumen terutama ditopang oleh ekspektasi konsumen terhadap kondisi ekonomi ke depan. Hal ini didukung oleh masih kuatnya ekspektasi terhadap penghasilan yang diterima dan ekspektasi kegiatan usaha meski tidak setinggi hasil survei bulan sebelumnya.

Persepsi konsumen terhadap kondisi ekonomi saat ini juga masih berada pada level optimis, meskipun tidak sekuat bulan sebelumnya terutama dipengaruhi oleh indikator ketersediaan lapangan kerja.

Hasil survei mengindikasikan bahwa tekanan kenaikan harga pada 3 bulan mendatang (November 2018) diperkirakan relatif stabil. Ekspektasi terhadap perkembangan harga ke depan ini didukung persepsi positif konsumen terhadap ketersediaan barang dan jasa yang cukup memadai dan distribusi barang yang lancar.

Kondisi Ekonomi
Meski begitu, keadaan ekonomi berdasarkan Survei Keyakinan Konsumen Global yang dilakukan The Conference Board bekerja sama dengan lembaga riset Nielsen, menjadi kekhawatiran utama konsumen Indonesia pada kuartal kedua 2018.

Managing Director Nielsen Indonesia Agus Nurudin di Jakarta, menjelaskan, persentase konsumen yang mengkhawatirkan keadaan ekonomi meningkat menjadi 32% dari 30% pada kuartal sebelumnya.

"Yang jadi perhatian masyarakat adalah kondisi ekonomi, terorisme, dan kondisi politik. Itu yang menguat pada kuartal kedua lalu," katanya.

Menurut Agus, masyarakat kian peduli pada keadaan ekonomi Indonesia.

"Bahkan saat ditanya apakah ada kemungkinan resesi, jawaban responden naik. Itu baru di kuartal kedua yang momentumnya dekat Lebaran. Apalagi di kuartal ketiga saat ini," tuturnya.

Agus menjelaskan, masalah terorisme juga menjadi kekhawatiran masyarakat pada kuartal kedua 2018. Dalam survei tersebut, kekhawatiran akan terorisme meningkat tajam dari 12% di kuartal pertama menjadi 31% pada kuartal kedua 2018.

"Pada saat teror itu, masyarakat tidak melihatnya sebagai tindakan intoleransi atau sentimen SARA," katanya.

Kekhawatiran terkait intoleransi pada awal tahun 2018 menguat, namun menurun pada kuartal kedua 2018.

Ada pun kekhawatiran akan stabilitas politik menduduki peringkat ketiga dengan tetap di angka 20%, sama seperti kuartal sebelumnya.

Konsumen Indonesia tercatat sebagai konsumen paling optimistis di dunia sepanjang kuartal kedua 2018 dengan angka 127 poin presentase dalam Indeks Keyakinan Konsumen (Consumer Confidence Index).

Survei Keyakinan Konsumen Global yang dilakukan The Conference Board dengan Nielsen itu dilaksanakan pada 10-28 Mei 2018 dan mensurvei lebih dari 32 ribu konsumen daring di 64 negara di Asia Pasifik, Eropa, Amerika Latin, Timur Tengah, Afrika dan Amerika Utara.

Sampel adalah pengguna internet yang setuju untuk berpartisipasi dalam survei dan memiliki kuota berdasarkan usia dan jenis kelamin untuk setiap negara.

Sampel probabilitas ukuran setara memiliki margin kesalahan plus minus 0,6% di tingkat global dan hanya berdasarkan perilaku responden dengan akses online. The Conference Board menggunakan standar pelaporan minimum 60% penetrasi internet atau populasi online 10 juta untuk disertakan dalam survei. (Faisal Rachman) 


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar