c

Selamat

Minggu, 16 November 2025

EKONOMI

22 November 2018

13:35 WIB

Pertemuan BPOM-OKI Dorong Ekspor Vaksin Indonesia

Dari 57 negara anggota OKI yang memiliki pabrik pembuatan vaksin, baru ada tujuh negara yang memiliki pabrik vaksin

Editor: Agung Muhammad Fatwa

Pertemuan BPOM-OKI Dorong Ekspor Vaksin Indonesia
Pertemuan BPOM-OKI Dorong Ekspor Vaksin Indonesia
Ilustrasi. Aktivitas peneliti di laboratorium riset dan pengembangan di Gedung PT Bio Farma (Persero), di Bandung, Jawa Barat. ANTARA FOTO/Fahrul Jayadiputra

JAKARTA – Forum pertemuan antara Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI dengan Kepala Otoritas Regulatori Obat (National Medicine Regulatry Authorities/NMRAs) dari negara-negara Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) yang berlangsung pada 20 hingga 21 November kemarin diprediksi dapat meningkatkan kinerja perdagangan Indonesia, khususnya ekspor vaksin Indonesia sebagai salah satu komoditas nonmigas yang prospektif.

Menurut pengamat ekonomi makro yang juga Direktur Eksekutif CORE Indonesia, Mohammad Faisal, meski sumbangan ekspor vaksin memang relatif kecil terhadap total ekspor nonmigas, namun pertemuan BPOM-OKI kemarin berpotensi untuk menghasilkan peningkatan kinerja yang lebih besar lagi.

"Selama ini pasar negara-negara mayoritas muslim seperti Timur Tengah memang kurang menjadi perhatian Indonesia. Dengan adanya forum ini, ekspor yang menyasar negara-negara potensial non tradisional bisa mendapat lebih banyak perhatian. Dan ini memang sudah seharusnya dilakukan," tuturnya, Kamis (22/11), melalui siaran pers.

Faisal menambahkan, industri vaksin masih punya peluang untuk memperbesar kontribusi ekspor nonmigas dengan meningkatkan produk-produknya secara konsisten.

"Dengan memperkuat research and development yang fokus untuk memunculkan inovasi-inovasi produk vaksin, saya pikir kontribusi sektor ini bisa lebih besar. Apalagi jika disertai dengan riset pendahuluan terhadap kebutuhan dan preferensi masing-masing pasar ekspor yang tentunya berbeda antara satu negara dengan negara lain," katanya.

Hal senada juga diungkapkan oleh pengamat komunikasi politik dari Universitas Islam Bandung Muhammad Fuady. Menurutnya, isu pembangunan dan kesehatan adalah masalah riil yang dihadapi OKI, khususnya 21 negara anggota yang terkategori miskin.

"Sebagai salah satu negara yang memiliki kemampuan dalam produksi obat dan vaksin, Indonesia dapat mendorong kerja sama yang memperkuat kemandirian OKI. Sekaligus peluang Indonesia untuk meningkatkan kinerja ekspornya di bidang farmasi, apalagi jika ingin bersaing dengan Eropa," ungkapnya.

Publik, tambah Fuad, sudah terlalu lelah dengan sajian media yang selalu berkisar pada konflik antar negara, walaupun isu perang dan perdamaian di negara Timur Tengah masih menjadi sesuatu yang disukai media.

"Padahal permasalahan yang dihadapi OKI bukan hanya soal politik, toleransi, harmonisasi, namun juga isu kesehatan, pembangunan ekonomi dan sosial. Dalam hal ini, kita bisa mengambil peran dengan mendorong kampanye isu kesehatan di negara-negara OKI."

Indonesia selama ini mengambil peran yang besar dalam mendorong perdamaian di Timur Tengah. Dengan mengambil isu kesehatan, reputasi Indonesia sebagai negara muslim terbesar di dunia yang memiliki terobosan dalam industri obat dan vaksin semakin kuat.

"Apalagi isu vaksin halal merupakan isu yang seksi di negara-negara OKI," ungkapnya.

Kepala BPOM Penny K. Lukito menjelaskan bahwa pertemuan yang digelar dengan NMRAs dari negara OKI bertujuan menghasilkan kesepakatan terkait strategi penguatan kolaborasi otoritas regulatori obat negara OKI dalam rangka mempercepat kemandirian obat dan vaksin di negara-negara tersebut.

Terkait kerja sama dengan OKI, Indonesia sendiri telah menjadi pusat rujukan produk vaksin. Karena itu, banyak negara anggota OKI yang ingin belajar vaksin dari Indonesia.

Menurut Direktur Utama Bio Farma Rahman Roestan, dari 57 negara anggota OKI yang memiliki pabrik pembuatan vaksin, baru ada tujuh negara yang memiliki pabrik vaksin.

“Dan hanya ada dua pabrik yang diakui Badan Kesehatan Dunia (WHO), tapi satu pabrik di Senegal. Itu hanya memproduksi satu vaksin saja, yellow fever vaksin untuk kebutuhan Afrika Barat, Afrika Tengah,” ucapnya dalam pertemuan yang digelar BPOM, dikutip dari siaran pers, Rabu (21/11).

Menurut Rahman, industri tidak dapat mengajukan sertifikasi pre-qualification WHO jika BPOM di negaranya belum terkualifikasi. Sehingga baik industri dan regulator, dalam hal ini BPOM, keduanya harus dinilai kualifikasinya sesuai standar WHO.

“Baik dalam standar dokumen, quality system, quality management, fasilitas dan SDM-nya,” ungkap Rahman.

Bio Farma Indonesia, memiliki sekitar 12 produk vaksin yang sudah mendapatkan Pre Kualifikasi dari Badan Kesehatan Dunia WHO sejak 1997, sehingga produk tersebut telah dipasarkan secara international.

“Tahun ini produk kami sudah masuk ke lebih dari 140 negara, dan 49 di antaranya negara anggota OKI,” tambahnya.

Perusahaan pelat merah ini mampu menghasilkan total kapasitas produksi lebih dari 2 miliar dosis per tahun. Sebesar 60% produksi tersebut untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Sisanya, sebanyak 40% untuk kebutuhan ekspor.

Selain Timur Tengah dan Asia yang telah menjadi tujuan ekspor, Bio Farma kini tengah menyasar negara-negara Afrika untuk memasarkan produknya. Afrika dipandang sebagai pasar potensial untuk menyerap produk vaksin buatan Indonesia.

Menurut Rahman, Senin (15/10), seperti dikutip dari Antara, beberapa vaksin yang diekspor ke Afrika termasuk vaksin dasar seperti tetanus, difteri, pertussis, harmophilus influenza tipe B (HIB) serta pentabio.

Selain itu, BUMN produsen vaksin dan antisera ini juga membidik pasar Amerika Latin.

Berkembangnya pasar membuat Rahman yakin target ekspor sebesar US$71 juta bisa tercapai. Sampai Oktober 2018, realisasi ekspor telah mencapai 70% dari target. (Fin Harini)


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar