c

Selamat

Jumat, 26 April 2024

EKONOMI

13 Januari 2020

11:00 WIB

Pemerintah Diminta Optimalisasi FTA Untuk Pemulihan Ekonomi

Peningkatan permintaan komoditas dipercaya akan mendorong ekspor nasional mengalami peningkatan beberapa waktu ke depan

Editor:

Pemerintah Diminta Optimalisasi FTA Untuk Pemulihan Ekonomi
Pemerintah Diminta Optimalisasi FTA Untuk Pemulihan Ekonomi
Ilustrasi negosiasi multibilateral. Shutterstock/dok

JAKARTA – Anggota Komisi VI DPR RI F-PKS Amin Ak berharap Kemendag dalam komando Muhammad Lutfi mampu mengoptimalkan perjanjian perdagangan bebas secara bilateral dengan 162 negara di berbagai kawasan.

Sebelumnya, Kemenkeu memproyeksikan pertumbuhan ekonomi tahun ini mampu mencapai 5%. Salah satu andalan untuk pemulihan ekonomi nasional agar keluar dari masa resesi adalah perdagangan internasional yang diharapkan terus tumbuh positif.

Dalam waktu dekat, peningkatan aktivitas domestik khususnya konsumsi dan investasi akan tak bisa pulih dalam waktu dekat karena kondisi herd immunity secara menyeluruh di tingkat nasional belum terbentuk. 

"Upaya menggenjot devisa, terutama dari ekspor komoditas, jangan hanya mengandalkan permintaan dari negara mitra dagang utama Indonesia, terutama China, Amerika Serikat, Jepang, dan India," katanya, Jakarta, Rabu (13/1).

Peningkatan permintaan komoditas dipercaya akan mendorong ekspor nasional mengalami peningkatan beberapa waktu ke depan dan mampu menopang pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Karenanya, optimalisasi perjanjian perdagangan bebas atau Free Trade Agreement bilateral dengan negara-negara Asia, Eropa, dan Afrika menjadi sangat penting dan strategis. Tidak hanya sekadar memacu ekspor, namun juga investasi dengan orientasi ekspor.

Mengacu data BKPM dan Kemendag, dalam satu dekade terakhir investasi asing yang masuk meningkat 288% menjadi Rp809,6 triliun pada 2019 dari Rp208,5 triliun. Kendati, nilai ekspor hanya tumbuh tipis 6,2% menjadi US$167,53 miliar dari US$157,73 miliar pada 2010.

Pada 2010, Indonesia mencatat surplus neraca perdagangan US$22,12 miliar. Namun selanjutnya Nusantara selalu mengalami defisit dagang sepanjang 2012–2019. Pada 2019, Indonesia mencatat defisit perdagangan sebesar US$3,2 miliar, dengan kontribusi terbesar perdagangan dengan mitra dagang utamanya, yakni China.

Secara khusus, dalam lima tahun terakhir, defisit neraca dagang dengan Negeri Tirai Bambu terus meningkat. Sementara surplus neraca perdagangan dengan mitra dagang lain seperti Jepang dan India menyusut, sedangkan dengan Amerika Serikat stagnan.

Legislator Dapil Jatim IV itu menenggarai, iklim usaha yang tidak mendukung, oligarki, dan korupsi menjadi penyebab tidak berimplikasinya perjanjian perdagangan bebas pada peningkatan investasi berorientasi ekspor.

Hal yang lain, minimnya terobosan pemerintah yang masih tergantung pada ekspor komoditas yang harganya anjlok sejak 2014. Sementara, realisasi investasi baru, setidaknya dalam 10 tahun terakhir, belum banyak berorientasi ekspor.

"Akibatnya, tidak ada produk andalan non-komoditas yang mampu mendongkrak ekspor," katanya.

Perjanjian Dagang Potensial
Amin berharap kemampuan diplomasi Mendag Lutfi, terutama dengan AS pascaperubahan kepemimpinan, diharapkan bisa mendongkrak ekspor Indonesia. Apalagi, Indonesia baru saja menandatangani kerja sama mega-free trade, Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional atau RCEP.

Mengacu pada penjelasan Kemendag di depan anggota Komisi VI DPR RI beberapa waktu lalu, RCEP memuat bidang kerja sama yang luas, mulai dari barang-jasa, investasi, usaha kecil menengah, dan e-commerce.

Riset pemerintah menunjukkan bahwa RCEP dapat meningkatkan total ekspor ke negara peserta sebesar 8-11 persen dan investasi Indonesia antara 18-22% dalam waktu lima tahun.

Selain RCEP, Indonesia juga menandatangani perjanjian perdagangan dengan European Free Trade Association atau EFTA. "Diperlukan strategi baru agar perjanjian komprehensif tersebut dapat membuka jalan bagi ekspor minyak sawit mentah (CPO) ke Eropa," ujarnya.

Amin juga berharap, Kemendag mampu mengoptimalkan kerja sama FTA dengan sejumlah negara di Afrika yang merupakan pasar potensial bagi produk Indonesia.

Beberapa perjanjian perdagangan telah ditandatangani, antara lain Indonesia-Mozambique Preferential Tariff Agreement (PTA), dan yang sedang dipersiapkan saat ini, antara lain dengan Ethiopia, Tunisia, dan Maroko.

Serangkaian perjanjian ini diharapkan dapat mendongkrak ekspor sekaligus meningkatkan daya tarik Indonesia sebagai negara tujuan investasi yang berorientasi ekspor.

“Dalam jangka menengah-panjang, ekspor dapat mempercepat pemulihan ekonomi nasional lewat derasnya devisa masuk sekaligus berkurangnya defisit neraca perdagangan,” jelasnya. (Khairul Kahfi)


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar