11 Agustus 2020
11:16 WIB
Editor: Agung Muhammad Fatwa
NEW YORK – Harga minyak berakhir lebih tinggi pada perdagangan Senin atau Selasa pagi WIB, didukung oleh data yang menunjukkan pabrik-pabrik China kembali ke level sebelum pandemi, yang berarti permintaan energi meningkat.
Dilansir dari Antara, minyak mentah berjangka Brent untuk pengiriman Oktober naik 59 sen atau 1,3% dan menetap di US$44,99 per barel pada akhir perdagangan. Sementara, minyak mentah berjangka West Texas Intermediate atau WTI untuk penyerahan September ditutup di angka US$41,94 per barel, naik 72 sen atau 1,8%.
Pada Minggu (9/8/), CEO Aramco, Arab Saudi, Amin Nasser memperkirakan permintaan minyak rebound di Asia karena ekonomi secara bertahap dibuka kembali setelah lockdown untuk mengendalikan penyebaran covid-19.
Deflasi pabrik China berkurang pada Juli, didorong oleh kenaikan harga minyak global dan aktivitas industri yang meningkat menuju level sebelum pandemi.
"Sedikit berita utama yang menguntungkan terkait virus corona telah cukup untuk memacu minat beli kembali di pasar bensin," kata Jim Ritterbusch dari Ritterbusch and Associates.
Harapan Amerika Serikat berhasil meraih kesepakatan soal paket stimulus ekonomi terbaru terkait virus corona turut menopang harga minyak. Presiden Donald Trump mencuit bahwa anggota Demokrat di Kongres ingin bertemu dengannya, untuk membicarakan bantuan ekonomi. Pembicaraan antara Demokrat dan pemerintahan Trump macet minggu lalu.
“Kompleks minyak sangat bergantung pada bantuan itu. Kami membutuhkan orang-orang untuk dapat meningkatkan aktivitas ekonomi guna memacu permintaan,” kata John Kilduff, mitra di Again Capital di New York.
Di sisi pasokan, Irak pada Jumat (7/8) mengatakan akan memangkas produksi minyaknya sebanyak 400.000 barel per hari pada Agustus dan September, untuk mengkompensasi kelebihan produksi dalam tiga bulan terakhir.
Langkah tersebut akan membantunya memenuhi bagian pemotongannya oleh Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak dan sekutunya, yang dikenal sebagai OPEC+.
“Ini akan mengirimkan sinyal yang kuat ke pasar minyak di berbagai level. Namun demikian, hal ini juga akan membutuhkan perusahaan-perusahaan internasional yang beroperasi di Irak untuk ikut serta dalam pemotongan tersebut,” kata analis Commerzbank Eugen Weinberg. (Fin Harini)