c

Selamat

Minggu, 16 November 2025

EKONOMI

06 September 2017

21:04 WIB

Meski Terus Rugi, Pasien Tak Boleh Dibiarkan Mati

Di lapangan masih ada mafia-mafia atau dugaan praktik mafia yang masih berlangsung di kalangan rumah sakit untuk memaksimalkan benefit

Meski Terus Rugi, Pasien Tak Boleh Dibiarkan Mati
Meski Terus Rugi, Pasien Tak Boleh Dibiarkan Mati
Peserta antre untuk mendaftar asuransi kesehatan di gedung Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) di Tangerang, Banten. ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga

JAKARTA- Hampir dipastikan, tak ada orang yang mau mengalami sakit dan harus dirawat inap di Rumah Sakit (RS). Namun, jika memang kondisi memaksa seseorang harus dirawat inap, asuransi atau jaminan kesehatan dari Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan kerap menjadi salah satu hal yang langsung terlintas untuk digunakan.

Biaya rawat inap dan obat yang mahal memang kerap menjadi momok buat sebagian besar masyarakat. Tak heran, setelah memiliki jaminan BPJS Kesehatan, makin banyak orang yang bersedia ke RS. Tapi, ketika kesadaran masayarakat untuk pergi dirawat ke RS makin tinggi, permasalahan baru muncul. Ruang perawatan di RS tak sebanding dengan jumlah pasien peserta BPJS.

Untuk diketahui, per tanggal 25 Agustus 2017, peserta BPJS Kesehatan sudah mencapa 180,7 juta jiwa atau sekitar 70% penduduk Indonesia. Sementara provider JKN atau fasilitas kesehatan (faskes) yang menjalin kerjasama dengan BPJS hingga 1 September 2017 jumlahnya sebanyak 26.971 faskes.

Sayangnya, rasio antara kenaikan jumlah peserta BPJS dan pertumbuhan ruang rawat inap yang tak sebanding, kerap menjadi alasan pasien tidak mendapatkan perawatan sebagaimana mestinya. Sampai saat ini misalnya, masih ada kabar-kabar yang menyebutkan jika waktu rawat inap untuk pasien BPJS dibatasi.

Seperti pada kasus yang belum lama ini menimpa Suwandono (45) warga Desa Sidodadi, Kecamatan Pondok Kelapa, Kabupaten Bengkulu Tengah, Provinsi Bengkulu. Ia harus meregang nyawa lantaran Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) M. Yunus memulangkannya setelah di rawat selama 5 hari meskipun belum terlihat sembuh.

Kuota BPJS Kesehatan tidak bisa melayani lebih 5 hari menjadi alasan yang terlontar. Untuk melanjutkan perawatan pasien disuruh pulang dan mengurus surat rujukan lagi untuk kembali ke rumah sakit.

Perlakuan semacam ini bukan kali ini saja terjadi. Di situs www.Lapor.go.id, topik pembatasan layanan kesehatan oleh fasilitas kesehatan termasuk pembatasan waktu rawat inap mash menjadi topik yang sering dilaporkan pasien.

Seperti yang dilaporkan seorang pasien di laman tersebut. yang diharuskan pulang oleh dokter di sebuah RS karena dinyatakan BPJS hanya menjamin perawatan selama beberapa hari saja, padahal kondisinya saat itu belum sembuh. Kemudian keluarga membawa pasien pulang dan keesokan harinya kondisi pasien kembali drop dan dibawa ke RS lain.

Ketika baru beroperasi pada tahun 2014 awal, Siti (65) seorang peserta BPJS yang dulunya pemegang kartu Askes juga bercerita pernah mengalami hal yang sama. Ia harus dirawat di sebuah RS milik pemerintah di Jakarta pada akhir Desember 2013 karena harus menjalani suatu operasi. Setelah beberapa hari dirawat dalam masa pra operasi, pergantian tahun terjadi.

Lucunya, pihak RS meminta ia untuk keluar dari ruang perawatan dan mendafar kembali sebagai pasien baru. Padahal keesokan harinya ia sudah harus menjalani operasi. Sesuatu yang belum pernah terjadi jika menggunakan fasilitas dari perusahaan asuransi swasta. Setelah diprotes, RS pun akhirnya memperbolehkan ia untuk terus dirawat dan menalani operasi tanpa mendaftar kembali sebagai pasien baru.

 

 

Sampai Sembuh
Kepala Humas BPJS kesehatan Nopi Hidayat kepada Validnews, Rabu (6/9) juga kembali menekankan, dalam aturan yang ada tidak ada pembatasan hari perawatan untuk pasien BPJS, seama peserta mengikuti ketentuan dan prosedur yang berlaku.

“BPJS kesehatan dapat menanggung tindakan medis yang diberikan sampai dengan peserta JKN-KIS yang bersangkutan dinyatakan sembuh secara medis,” tegasnya.

Direktur Eksekutif Jamkes Watch Iswan Abdullah kepada Validnews mengatakan, seorang peserta BPJS berhak mendapatkan pelayanan kesehatan yang mengcover seluruh biaya terkait dengan biaya obat dan peralatan, termasuk di dalamnya rawat inap. Kemudian terkait dengan kepastian pelayanan sampai permasalahan kesehatan pasien terselesaikan. Artinya, meng-cover seluruh penyakit yang ada.

Hal ini menurutnya sudah seusi dengan amanat undang-undang dasar 1945, kemudian diejawantahkan dalam Undang-Undang Sistem Kesehatan Nasional Nomor 40 Tahun 2004, untuk selanjutnya diimplementasikan dalam UU BPJS Nomor 24 Tahun 2014.

Dikatakannya, permasalahan pembatasan waktu rawat inap yang terjadi lebih karena tidak taatnya dan tunduknya penyelenggara negara, termasuk BPJS Kesehatan, dalam melaksanakan regulasi. “Termasuk di dalamnya itu di lapangan masih ada mafia-mafia, dugaan mafia, yang masih berlangsung di kalangan rumah sakit untuk memaksimalkan benefit. Padahal kan tidak demikian seharusnya,” kata Iswan.

Ia melanjutkan, permasalahan yang terjadi ada pada regulasi dengan sistem tarif dan obat. “Itu yang membatasi,” serunya.

Bisa jadi hal yang membuat para penyelenggara khususnya rumah sakit melakukan pembatasan itu oleh karena ada namanya itu Permenkes Nomor 52 Tahun 2015 tentang INA CBG’s, sistem tarif dan obat.

Dalam beleid tersebut diatur, untuk penyakit tertentu maka sudah dibatasi nilainya dan dibatasi obatnya apa dan biayanya berapa. “Maka bisa jadi untuk menyiasati pembatasan-pembatasan nilai itu rumah sakit melakukan hal-hal yang saya bilang tadi itu, juga mafia tadi itu. Karena tidak sedikit rumah sakit yang menolak INA CBG’s oleh karena kata mereka terlalu kecil margin yang didapatkan oleh mereka,” tuturnya.

Sekadar informasi, INA-CBG's (Indonesia case base Groups) adalah sebuah sistem untuk menentukan tarif standar yang digunakan oleh rumah sakit sebagai referensi biaya klaim ke pemerintah selaku pihak BPJS Kesehatan atas biaya pasien BPJS.

Tarif INA-CBG’s sendiri dalam program Jaminan kesehatan nasional (JKN) merujuk pada data costing (data biaya) 137 Rumah sakit (RS) Pemerintah maupun RS Swasta serta data coding 6 juta kasus penyakit.

Tarif INA-CBG’s adalah tarif dengan sistem paket yang dibayarkan per episode pelayanan kesehatan, yaitu suatu rangkaian perawatan pasien sampai selesai, besar kecilnya tarif tidak akan dipengaruhi oleh jumlah hari perawatan.

Pendeknya, jika suatu RS merasa keberatan dengan marjin yang minim dari tarif paket tersebut, mereka biasanya ingin pasien segera dipulangkan. Sebaliknya untuk RS atau faskes yang merasa diuntungkan dengan tarif, mereka akan berusaha menggunakan paket tersebut full sampai selesai dengan estimasi jumlah hari perawatan tertentu.

Bahkan ada RS yang mengklaim jumlah hari perawatan lebih dari yang terjadi sesungguhnya. “Kalau sudah begitu, pasti akal-akalan, rumah sakitnya yang macam-macam,” kata Ketua Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) Sigit Priohutomo saat ditemui Validnews di kantornya, Jakarta (6/9).

Ia pun meastikan tidak ada pembatasan waktu rawat inap buat peserta BPJS Kesehatan. “Orang yang namanya sakit dikeluarkan, gak manusiawi. Dokter tuh takut dosa juga. Yang banyak malah pasien yang banyak minta pulang,” lanjutnya.

 

 

Defisit
Peserta yang terus meningkat, banyaknya peserta yang sakit dan sejumlah modus akal-akalan dari sejumlah faskes dan tunggakan iuran oleh peserta menjadi kombinasi apik yang membuat beban klaim faskes ke BPJS meningkat. Tak heran jika sampai saat ini BPJS kesehatan pun masih mencatat defisit.

Sejak awal berdiri, BPJS kesehatan tercatat terus mengalami defisit. Pada 2014, defisit mencapai Rp 3,3 triliun, kemudian meningkat menjadi Rp 5,7 triliun pada 2015 dan Rp 9,7 triliun pada 2016. Pada semester I 2017 defisit sudah tercatat sekitar Rp5,8 triliun.

Defisit anggaran tersebut terjadi seiring pengeluaran BPJS Kesehatan yang mencapai Rp41,5 triliun. Sementara penerimaan iuran hanya mencapai sekitar Rp35,6 triliun.

Kenaikan besaran iuran BPJS sendiri terbukti tak mampu menutup defisit yang terjadi. Menurut Direktur Utama BPJS Kesehatan Fachmi Idris dalam konfrensi pers pertengahan Agustus lalu, setelah dihitung, besaran hasil iuran dan aktuaria tidak seimbang dengan pengeluaran.

Dijelaskannya, iuran masyarakat untuk kelas III sebesar Rp 25.500 per bulan berdasarkan hitungan aktuaria, seharusnya sebesar Rp 53.000. Artinya, sudah kekurangan anggaran Rp 27.500.

Kemudian iuran masyarakat kelas II sebesar Rp 51.000 per bulan. Berdasarkan hitungan aktuaria, iuran program tersebut seharusnya Rp 63.000 per bulan atau defisit Rp 13.000. Hanya untuk hitungan iuran kelas I sebesar Rp 80.000 yang menuutnya sudah pas dengan hitungan aktuaria.

Kemudian di sisi penerima bantuan, iuran berdasar hitungan fiskal (APBN) sebesar Rp 23 ribu. Namun berdasar hitungan aktuaria iuran per bulan sebesar Rp 36.000. Artinya per kepala sudah minus Rp 13.000.

“Pasti ini kan defisit, uang pasti kurang. Jadi pertanyaannya, anggaran berimbang ini pemecahannya yang pertama kalau ingin berimbang betul, iuran disesuaikan dengan hitungan akademik," kata Fachmi.

Mengutip Antara, Menteri Kesehatan Nila Farid Moeloek mengatakan, defisitnya BPJS Kesehatan lebih karena 80% peserta atau masyarakat banyak mengalami sakit. Ia mencontohkan, selama ini untuk tindakan kuratif penyakit jantung untuk satu juta orang mengeluarkan biaya mencapai Rp 6,9 triliun dan gagal ginjal tindakan kuratif yang harus dikeluarkan mencapai Rp 2,5 triliun.

Menurutnya, selama ini 33% uang pendapatan BPJS Kesehatan dari iuran peserta digunakan untuk tindakan kuratif terhadap penyakit tidak menular. Sayangnya pada saat ini, kata Nila, kesadaran masyarakat terhadap perilaku hidup sehat masih kurang.  "Jadi, penyakit tidak menular seperti itu meningkat sekali. Sehingga saat ini kita harus mengubah perilaku untuk gerakan masyarakat sehat yang dimulai dari pendekatan keluarga," imbuhnya.

Ketidakdisiplinan peserta dalam membayar iuran juga sebenarnya dituding menjadi biang defisit. Tingkat kolektibilitas di segmen bukan pekerja penerima upah (BPPU) baru 60%. Sementara segmen pekerja penerima upah pembayaran iuran rasio kolektibilitas sebesar 95 %.

BPJS Kesehatan sejatinya sudah mendapat komitmen suntikan dana dari pemerintah Rp 3,7 triliun. Dana tersebut dari pos belanja milik Kementerian Keuangan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perbahan (APBN-P) 2017. Skema ini mengganti suntikan lewat penyertaan modal negara (PMN).

Tahun depan, pemerintah menganggarkan Rp 25,5 triliun untuk Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Dengan alokasi sebesar itu, sebanyak 92,4 juta jiwa ditargetkan bisa menerima bantuan iuran untuk BPJS Kesehatan. Skema PMN pun bakal diganti dengan skema subsidi. 

Sebelumnya, Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kemenkeu Suahasil Nazara memastikan, pemerintah tengah mendorong BPJS Kesehatan memperbaiki keuangannya. Salah satunya dengan menarik peserta mandiri jaminan sosial yang potensinya masih sangat besar.

Guna memastikan kinerja keuangannya tetap dalam koridor yang positif, ia pun meminta manajemen BPJS Kesehatan melaporkan kondisi keuangan secara rutin kepada pemerintah dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Semua permasalahan keuangan BPJS Kesehatan ini memang berpotensi menimbulkan penurunan kualitas layanan ke depannya. Tapi walau bagaimanapun, bukan alasan peserta BPJS harus terlantar dan menjadi pasien kelas dua. (Faisal Rachman, Teodora Nirmala Fau, James Manulang)


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar