c

Selamat

Minggu, 16 November 2025

EKONOMI

05 Maret 2019

14:08 WIB

Masifnya Pembangunan Tol Dinilai Menyisakan Masalah

Adanya jalan tol mendorong orang untuk lebih menggunakan mobil pribadi, jumlah mobil meningkat, dan jalan non-tol akan mendapat limpahan volume lalu lintas

Editor: Agung Muhammad Fatwa

Masifnya Pembangunan Tol Dinilai Menyisakan Masalah
Masifnya Pembangunan Tol Dinilai Menyisakan Masalah
Pekerja beraktivitas di area proyek pembangunan Tol Layang Jakarta-Cikampek II dan Jalur kereta api ringan atau Light Rail Transit (LRT) Jabodebek, di ruas Tol Jakarta Cikampek Km 11, Bekasi, Jawa Barat, Selasa (4/12). ANTARA FOTO/Risky Andrianto

JAKARTA – Pembangunan tol yang masif dilakukan belakangan, dinilai merupakan solusi pendek yang mudah untuk memperlancar lalu lintas. Sayangnya, solusi jangka pendek ini justru diyakini berpotensi menimbulkan masalah yang lebih kompleks di kemudian hari.

"Tol adalah solusi mudah saat ini, tapi (menyisakan) masalah masa depan yang lebih kompleks," kata Pakar Rekayasa Transportasi Institut Teknologi Bandung (ITB) Sony Sulaksono Wibowo seperti dikutip dari Antara, Selasa (5/3).

Ia menjelaskan, jalan tol memang terlihat solusi lebih mudah dan murah, dibandingkan angkutan massal, seperti Mass Rapid Transit (MRT) dan Light Rail Transit (LRT). Pasalnya, masa konstruksi tol bisa lebih cepat dan ada pendapatan dari tarif yang dapat dirasakan langsung oleh investor.

Namun, lanjut dia, adanya jalan tol hanya mendorong orang untuk lebih menggunakan mobil pribadi, jumlah mobil meningkat, dan jalan non-tol akan mendapat limpahan volume lalu lintas. Selain itu, dia menambahkan kebutuhan parkir akan semakin meningkat.

”Artinya, adanya tol memberi masalah bawaan yang memang tidak terasa di jalan tolnya, tetapi di luar sistem jalan tol,” ucapnya.

Untuk itu, Sony mengatakan, jalan tol akan tetap penuh apabila tidak dikendalikan dari hulunya, seperti peningkatan pembayaran pajak kendaraan dan lainnya.

"Jadi selebar atau sepanjang apapun jalan tol pasti akan penuh, kalau tidak ada kontrol dari hulunya, seperti peningkatan pembayaran pajak kendaraan dan lainnya,” imbuhnya.

 


 

Di sisi lain, Sony menyoroti pembatasan kendaraan sulit dilakukan karena itu bukan ranah Kementerian Perhubungan (Kemenhub).

“Ironi memang ini. Di saat Kementerian PUPR setengah mati buat jalan, Kemenhub susah payah atur lalu lintas, sementara Kemendag dan Kemenperin berusaha agar penjualan mobil dan motor terus meningkat. Dulu ada mobil murah, sekarang mobil motor dengan DP nol persen," bebernya.

Untuk itu, Sony menyarankan agar pembangunan infrastruktur angkutan massal lebih diprioritaskan. Karena, sekalipun sulit dalam pembangunan dan pendanaan, namun memiliki dampak yang lebih baik ke depannya.

“Angkutan umum massal adalah solusi sulit saat ini untuk masa depan yang lebih baik," tuturnya.

Prioritas Pembangunan
Seperti diketahui, pemerintah saat ini menjadikan pembangunan infrastruktur seperti jalan, jembatan dan infrastruktur fisik lainnya sebagai prioritas pembangunan. Pemerintah, bahkan tidak hanya fokus melakukan pembangunan infrastruktur, khususnya jalan tol di Pulau Jawa, tapi juga di Indonesia timur, seperti Papua.

"Pembangunan infrastruktur tidak hanya di Jawa tapi juga dilakukan di beberapa lokasi untuk pemerataan dan keadilan masyarakat," kata Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadiakhir pekan lalu.  

Dikatakannya, tujuan pembangunan infrastruktur sebagai upaya meningkatkan konektivitas dan pemerataan. Dengan begitu, mampu memudahkan distribusi barang dan komoditas agar bisa lebih murah dan terjangkau oleh masyarakat.

Salah satu bukti pembangunan tol di luar Jawa, kata Menhub, adalah di Papua Barat sejak 2015-Oktober 2018 terbangun tol sepanjang 1.070 kilometer. Sedangkan di Papua sudah terbangun 3.106 kilometer.

"Pembangunan tol di Papua dan Papua Barat tidak berhenti tapi akan terus berlanjut untuk membuka konektivitas dan keterisolasian masyarakat," cetus Budi.

Sementara itu untuk tol TransJawa, kata Menhub, sampai akhir 2018 sudah terselesaikan 870 kilometer untuk Merak-Surabaya. Di 2019, total Merak-Banyuwangi target 2019 akan terbangun 1.150 kilometer.

Budi mengatakan, di pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla pembangunan infrastruktur merupakan salah satu prioritas yang dilakukan, mengingat begitu luasnya wilayah Indonesia sehingga memerlukan kemudahan transportasi.

 

 

Budi di kesempatan berbeda menuturkan, peralihan preferensi masyarakat dari kendaraan pribadi ke angkutan massal membutuhkan waktu yang tak pendek. Bisa dibilang, asumsi ini membuat pemerintah yakin, infrastruktur fisik seperti jalan tol tetap mesti dibangun sebagai solusi memperlancar arus lalu lintas, sambil menunggu masyarakat terbiasa dengan angkutan massal.

Budi di Palembang, Senin (4/3) seusai acara "Dialog Interaktif Generasi Millenial" mengatakan, jika merujuk ke negara tetangga, Singapura maka setidaknya dibutuhkan waktu 10-15 tahun untuk mengalihkan masyarakat dari kendaraan pribadi ke angkutan transportasi massal. Karenanya, ia menilai moda transportasi massal LRT Palembang yang sering dikritik karena sepi penumpang, membutuhkan waktu tujuh tahun lagi untuk ramai digunakan masyarakat.

Budi menilai Indonesia dapat lebih cepat dari Singapura atau hanya membutuhkan waktu tujuh tahun karena masyakat Kota Palembang sudah meninggalkan angkutan kota berjenis opelet.

"Singapura mencatat butuh 10–25 tahun itu ketika mereka masih menggunakan opelet, sementara Indonesia sudah meninggalkan opelet, ya artinya bisa hanya tujuh tahun saja," yakinnya.

Ia berpendapat, keberadaan LRT di Palembang ini merupakan revolusi transportasi massal di Tanah Air yang sepatutnya terus diperjuangkan. Pasalnya, ia melihat hal tersebut nantinya bakal menjadi satu-satunya solusi kemacetan di perkotaan.

Bahkan, ia yakin, Kota Palembang bakal menjadi rujukan kota-kota di Indonesia karena sudah lebih dahulu melakukan langkah antisipasi. Untuk itu, langkah pengintegrasian kereta dalam kota Light Rail Transit (LRT) Palembang dengan Bus Damri dan Bus Transmusi patut didukung oleh semua pihak.

Hal itu juga terkait dengan belum siapnya Tol Layang Jakarta-Cikampek yang dinilai belum siap digunakan dalam masa angkutan Lebaran 2019.

Melihat kemajuan pekerjaan atau progres hingga saat ini baru sekitar 70 persen, sementara mudik lebaran kurang dari 90 hari lagi.

Pengamat Transportasi Universitas Soegijapranata Semarang Djoko Setijowarno menjelaskan, dengan asumsi rata-rata progres mingguan 1% maka dalam satu bulan progres sebesar 4%.

Artinya, perlu waktu sekitar delapan bulan penyelesaian lagi sejak Maret 2019 dan perkiraan selesai bulan Desember 2019. "Untuk mudik Lebaran 2019, sangat tidak mungkin dapat digunakan," katanya. (Faisal Rachman) 


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar