c

Selamat

Jumat, 29 Maret 2024

EKONOMI

16 September 2019

19:33 WIB

Iuran Naik Bukan Jaminan Masalah Tak Lagi Pelik

Kenaikan iuran BPJS Kesehatan juga diprediksi berpotensi membuat peserta mandiri yang tak mampu berpindah ke kelas yang lebih rendah

Editor:

Iuran Naik Bukan Jaminan Masalah Tak Lagi Pelik
Iuran Naik Bukan Jaminan Masalah Tak Lagi Pelik
Petugas melayani warga di Kantor Pelayanan BPJS Kesehatan Jakarta Pusat, Matraman, Jakarta, Selasa (3/8/2019). ANTARAFOTO/Aditya Pradana Putra

JAKARTA – Kesabaran tampaknya sudah menjadi syarat wajib buat peserta Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan jika ingin berobat. Apalagi bagi mereka yang memerlukan surat rujukan agar bisa berkonsultasi dengan dokter di luar fasilitas kesehatan (faskes) pratama.

Bukan tanpa sebab banyak peserta BPJS mesti berobat ke tingkatan kesehatan yang lebih tinggi, mengingat penyakitnya memerlukan penanganan lebih detail. Kesabaran itu pula yang harus ditanamkan Anata Mc Auliffe setiap kali mengantar anaknya pergi berobat dengan bermodal kartu BPJS Kesehatan.

Terindikasi mengalami eksim dan mesti mendapat perawatan dari dokter spesialis, toh, nyatanya surat rujukan yang dibutuhkan sang anak dari ibu yang berumur 31 tahun ini tak kunjung diberikan. Empat kali ia datang ke puskesmas, empat kali pula ia pulang dengan tangan hampa. Alih-alih mendapat surat rujukan untuk membawa anaknya ke rumah sakit, Anata hanya mendapat lelah dan pegal karena antrean yang begitu panjang.

“Akhirnya saya pakai jalur umum. Bayar pakai uang ke rumah sakit habis Rp800 ribu,” ungkap Anata saat dihubungi Validnews, Sabtu (14/9).

Ia pun mengungkapkan, pelayanan untuk para peserta BPJS yang berobat ke rumah sakit, dirasa berbeda dengan pelayanan bagi mereka yang membayar secara tunai. Seolah-olah pihak rumah sakit ingin menyatakan jika ingin nyaman, sebaiknya menggunakan jalur umum atau non-BPJS alias berbayar.

“Perlakuan pelayanannya (BPJS) sadis,” imbuh Anata lagi.

Tapi, apa mau dikata, pelayanan yang sempurna menjadi sulit diberikan buat peserta BPJS, lantaran BPJS Kesehatan kerap menunggak menyelesaikan kewajibannya ke rumah sakit. Tidak heran pula jika akhirnya rujukan ke rumah menjadi kian sulit didapat. Untuk menahan makin membengkaknya utang asuransi rakyat tersebut ke rumah sakit.

Koordinator advokasi BPJS Watch Timboel Siregar mengungkapkan, utang BPJS Kesehatan ke fasilitas kesehatan lanjutan memang kian membengkak. Per 30 Juni 2019 saja, tunggakan biaya BPJS Kesehatan ke rumah sakit telah mencapai Rp9,23 triliun. Bahkan diperkirakan per akhir Agustus kemarin, utang BPJS Kesehatan ke rumah sakit telah menyentuh angka Rp13 triliun.

“Dengan adanya fakta itu, utang ini, akan mempengaruhi cashflow-nya rumah sakit. Kalau cashflow-nya rumah sakit terganggu, berarti bayar obat, biaya kesehatan, biaya dokter itu kan terhambat. Adanya defisit itu menyebabkan biaya operasional terhambat,” tuturnya kepada Validnews, Jumat (13/9).

Bukannya tak mau membayar. Defisit selama ini memang seolah menjadi ‘nama tengah’ BPJS Kesehatan, saking seringnya kata ini diungkap di publik. Alih-alih berkurang, tiap tahunnya defisit yang dialami BPJS Kesehatan justru semakin membengkak. Setidaknya dalam periode 2016—2018, defisit BPJS Kesehatan mengalami peningkatan rata-rata 40,13% per tahun.

Pada tahun 2016, defisit BPJS Kesehatan tercatat ada di angka Rp6,7 triliun. Namun pada akhir tahun 2018 kemarin, defisit BPJS Kesehatan melonjak jadi Rp19,4 triliun. Tahun ini, tanpa usaha ekstra, Menteri Keuangan Sri Mulyani memprediksi defisit pada tahun ini berpotensi mencapai Rp32,8 triliun.

Belenggu Tunggakan

Defisit BPJS Kesehatan sendiri sebenarnya tak terlepas dari adanya tunggakan peserta yang terus menumpuk. Secara lebih rinci, Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kementerian Keuangan Nufransa Wira Sakti menyatakan, penyebab defisit terbesar BPJS Kesehatan adalah tunggakan iuran peserta mandiri yang membayar hanya pada saat sakit.

“Penyebab utama terjadinya defisit program JKN (jaminan kesehatan nasional) yang sudah terjadi sejak awal pelaksanaannya adalah besaran iuran yang underpriced dan adverse selection pada peserta mandiri,” ucapnya di Jakarta, Minggu (8/9)

Tidak menyangkal, sebagai pasien, Anata pun mengaku kerap menjadi peserta BPJS Kesehatan yang menunggak pembayaran premi. Anata mengaku sering lalai dalam hal pembayaran. Beberapa kali Anata menunggak iuran pembayaran BPJS selama 3—5 bulan.

Bukan karena tidak bisa membayar, lanjutnya, tunggakannya tersebut dikarenakan ia selalu lupa membayar. Inginnya Anata membayar empat bulan sekaligus, namun tak bisa dilakukan.

“Sebenarnya bukan nunggak, tapi maksudnya mau bayar sekalian Rp100 ribu. Kan tagihannya Rp25 ribu sebulan,” serunya.

Anata sendiri sejatinya hanyalah satu dari sekian banyak peserta BPJS Kesehatan yang dengan berbagai alasan mangkir untuk memenuhi kewajiban membayar iuran tepat waktu. Tidak tanggung-tanggung, aktuaris BPJS Kesehatan Ocke Kurniadi mengungkapkan, tunggakan iuran peserta BPJS Kesehatan terus terjadi tiap tahun dari tahun 2014. Saat ini, jumlah akumulasinya telah mencapai triliunan rupiah.

“Sekitar Rp10 triliun untuk yang PBPU (pekerja bukan penerima upah), piutang iurannya tagihan ke BPJS,” ungkapnya di Jakarta, Kamis (12/9).

Porsi PBPU dalam kepesertaan BPJS Kesehatan sendiri sampai akhir Agustus kemarin telah mencapai 32,61 juta orang. Namun, sebenarnya, jumlah tersebut hanyalah 14,73% dari total peserta asuransi rakyat pada periode yang sama yang berjumlah 221,33 juta orang.

Berdasarkan statistik yang ada, jumlah peserta terbanyak sendiri berasal dari penerima bantuan iuran (PBI). Iuran BPJS Kesehatan mereka dibayarkan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), maupun Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Jumlah PBI per Agustus 2019 tercatat berada di angka 131,92 juta orang.

Ocke meyakini, masalah ketidakpatuhan peserta dalam membayar iuran BPJS ini pulalah yang membuat pihak BPJS Kesehatan, terpaksa menunggak pembayaran ke fasilitas kesehatan lanjutan. Tidak tanggung-tanggung, karena ketidakpatuhan ini BPJS Kesehatan kerap harus mengalami kekurangan pendapatan sampai Rp2 triliun per bulan. Jumlah kekurangan tersebutlah yang pada akhirnya membuat rumah sakit merongrong minta dibayarkan tagihannya.

“Selisihnya Rp2 triliun lebih,” tegasnya.

Ia merinci lebih jauh, dari total PBPU sebanyak 32,61 juta orang, sekitar 53,72% menunggak iuran BPJS. Dengan kata lain, ada sekitar 17,51 juta peserta dengan status PBPU yang melakukan penunggakan iuran.

Alasan bengkaknya tunggakan iuran dari pasien, dijelaskannya juga karena terkendala pada penyelesaian proses keterlambatan, yakni kolektabilitas iuran tidak seragam. Ketidakseragaman sendiri disebabkan perbedaan jenis pendapatan yang bermacam-macam, sehingga membuat macetnya proses pengumpulan iuran. Nah, macetnya proses pengumpulan iuran, kerap dijumpai pada peserta mandiri.

“Yang mandiri ini pendapatannya tidak selalu bulanan. Ada yang harian, ada yang mingguan, ada yang tiga bulan sekali seperti petani. Jadi, tingkat kolektabilitasnya beragam,” bebernya.

Kerek Iuran
Untuk mengatasi defisit dengan beragam alasan ini, sejumlah wacana pun digulirkan BPJS Kesehatan dan pemerintah. Kenaikan iuran, misalnya, sudah sekian lama mengemuka. Tapi sejak lama pula, wacana tersebut hanya seperti angin. Terlebih lagi pada tahun kemarin dan tahun ini, ada kontestasi politik berupa pemilihan umum serentak. Isu menaikan iuran BPJS Kesehatan tentu tidaklah populis untuk petahana dan pendukung petahana.

Opsi lain juga sempat hadir dari pemerintah untuk menangani defisit BPJS Kesehatan, yakni dengan membagi pajak rokok dan cukai hasil tembakau untuk membiayai asuransi rakyat.

Syahdan, setelah pemilu usai, opsi di awal kembali mencuat. Pemerintah terlihat bergerak cepat menetapkan kebijakan kenaikan iuran untuk peserta BPJS Kesehatan. Tidak tanggung-tanggung, Menteri Keuangan Sri Mulyani menginginkan kenaikan iuran BPJS Kesehatan hingga 100% untuk peserta mandiri kelas I dan II. Sementara itu, kenaikan iuran untuk kelas III di kisaran 65%.

Secara nominal, iuran kelas I dikerek ke angka Rp160 ribu dari sebelumnya Rp80 ribu. Sementara itu, kelas II sebesar Rp110 ribu dibandingkan sebelumnya di angka Rp59 ribu. Lalu untuk kelas III dikatrol ke angka Rp42 ribu dari sebelumnya Rp25,5 ribu.

Rencananya, kenaikan iuran tersebut akan dimulai pada Januari 2020. Harapannya kenaikan iuran tersebut mampu menutup defisit yang terjadi pada BPJS. Bahkan Sri Mulyani memprediksi bisa terjadi surplus hingga Rp17,2 triliun buat BPJS Kesehatan.

Hanya saja, Timboel dari BPJS Watch memandang kenaikan iuran BPJS Kesehatan bak buah simalakama. Di satu sisi, kenaikan iuran BPJS memang tidak bisa dihindari. Kenaikan iuran BPJS juga sudah menjadi amanat UU SJSN yang menyebut kenaikan iuran paling lambat ditinjau 2 tahun sekali.

Baginya, menjadi berbahaya pula jika iuran BPJS tidak naik. Pasalnya, utang yang begitu besar pada BPJS ke rumah sakit sebesar akan memengaruhi biaya operasional jadi lebih terhambat. Hal tersebut akan mengganggu aliran uang dari pelayanan kesehatan, obat dan biaya dokter.

Namun, Timboel menekankan, tiap kenaikan iuran BPJS harus seiring dengan peningkatan kualitas pelayanannya. Tanpa diikuti pelayanan kesehatan yang baik, ia menilai kebijakan ini menjadi kontraproduktif.

Hal yang disayangkannya, pelayanan kesehatan dari BPJS kadung dicap buruk masyarakat. Selama ini para peserta BPJS seakan masih ‘trauma’ karena sulit mendapatkan pelayanan yang baik sekalipun rajin membayar iuran.

“Faktanya di rumah sakit tetap saja harus bayar sendiri, cari kamar sendiri, harus antre panjang,” selorohnya.

Jika kualitas pelayanan BPJS diperbaiki, ia meyakini, kenaikan iuran yang mencapai 100% tak menjadi masalah. Apalagi, iuran kesehatan dari asuransi rakyat tersebut masih jauh lebih murah daripada asuransi swasta yang rata-rata menetapkan premi Rp500 ribu per bulan.

Potensi Tunggakan
Hanya saja di sisi lain, Timboel melanjutkan, ada dua konsekuensi yang muncul dari kenaikan iuran 100% ini. Pertama, akan terjadi penurunan pembayaran iuran kelas mandiri. Artinya, mereka yang biasa membayar iuran pada kelas I akan turun ke kelas II. Mereka yang biasa membayar iuran pada kelas II pun bisa turun ke kelas III.

Kedua, jumlah para penunggak justru bisa semakin bertambah. Timboel memprediksi akan terjadi peningkatan tunggakan ke level 60–70%.

“Sekarang kan 49,04%, bisa aja nanti menjadi 60-70% yang nunggak karena tidak mampu,” ulasnya.

Pendeknya, ia berpandangan, kenaikan iuran yang terlalu tinggi, justru dikhawatirkan dapat menurunkan jumlah nilai iuran yang terkumpul, karena adanya peserta yang turun kelas dan meningkatnya jumlah tunggakan. Ujungnya, kenaikan iuran 100% belum tentu mampu menutupi defisitnya BPJS.

“Jadi tidak serta-merta iuran yang tinggi ini, bisa memastikan pemasukan dari iuran itu makin besar,” ungkap Timboel lagi.

Konsekuensi tersebut, sejatinya bukan tak disadari pemerintah. Ocke mengungkapkan, pemerintah memang membuka peluang kepada para peserta BPJS untuk turun kelas dengan keberadaan kenaikan iuran ini.

Menurutnya, pemerintah tidak memaksakan para peserta BPJS tetap di kelasnya saat ini jika merasa tak mampu. Mereka dibiarkan menyesuaikan diri dengan kapasitas kemampuannya dalam membayar BPJS. Termasuk peserta BPJS kelas III, pemerintah bahkan membuka ruang untuk memasukkan mereka ke penerima PBI.

“Kalau misalnya enggak mampu di kelas III, ya mendaftar ke PBI untuk data terpadu orang miskin yang dibantu pemerintah. Nah, itu yang kita harapkan sehingga dia sesuai dengan kemampuannya,” tuturnya.

Menurut Ocke, soal turun kelas sebenarnya hanya masalah beda kamar dan kenyamanan saja. Sementara, fasilitas dasar kesehatan seperti obat-obatan dan perawatan dokter tetap sama.

BPJS Kesehatan sendiri memperkirakan, dengan putusan kenaikan iuran hingga 100%, setidaknya ada sekitar 30% dari total peserta non-PBI yang akan pindah kelas. Total peserta non-PBI per akhir Agustus tercatat berada di kisaran 89,41 juta orang. Artinya, ada potensi sekitar 26,82 juta peserta BPJS Kesehatan yang akan pindah kelas.

Ocke melanjutkan, sebanyak 15% dari total peserta non-PBI diprediksi akan berpindah ke kelas III. Sementara itu, sisanya merupakan peserta BPJS Kesehatan kelas III yang diprediksi tidak mampu membayar, sehingga akan dialihkan menjadi PBI.

“Itu kita sudah simulasikan. Asal itu tepat, itu masih bagus. Maksudnya kemampuan bayarnya tepat dengan kolektabilitasnya, ini lebih bagus. Dibandingkan jika dipaksakan di kelas I, tapi kolektabilitas macet,” papar sang aktuaris ini.

Tak hanya itu, BPJS juga akan mengerahkan pengurus RT dan RW agar para peserta BPJS membayar iurannya secara aktif. Dengan pengerahan tersebut, diharapkan jumlah tunggakan BPJS dapat berkurang.

Cek Kembali
Terkait dibukanya ruang untuk penurunan kelas dalam skema kenaikan iuran BPJS Kesehatan, Timboel meminta pemerintah berhati-hati. Pasalnya, ia memprediksi, jumlah perpindahan peserta dari kelas III ke PBI bahkan bisa lebih tinggi daripada prediksi pemerintah.

Ia memperkirakan, jumlah perpindahan dari peserta kelas III menjadi PBI berpotensi mencapai sekitar 20% dari total kelas III yang ada saat ini.  Karenanya, ia meminta pemerintah lebih teliti mengecek data penduduk yang benar-benar miskin yang berhak memperoleh status PBI tersebut.

“Pemerintah harus menambah jumlah PBI sehingga menampung orang-orang kelas III yang benar-benar miskin,” cetusnya.

Terkait dengan pengerahan pengurus RT dan RW untuk mengumpulkan iuran BPJS, dinilai Timboel cukup positif. Pasalnya, selain tidak bertentangan dengan hukum, pilihan menggaet RT dan RW sudah tepat, mengingat mereka adalah tokoh yang dekat dengan masyarakat.

Hanya saja, pemerintah tidak boleh menjadikan RT dan RW hanya sebagai penagih iuran. Mereka juga mesti dibekali pengetahuan tentang jaminan kesehatan tersebut.

Pemberian bekal pengetahuan penting agar para pengurus RT dan RW mengetahui tata kelola dari pelayanan jaminan kesehatan itu. Selain itu, penting pula diberikan reward terhadap para RT dan RW untuk memotivasi mereka melakoni perannya.

“Harus diberikan reward juga. Ada upah pungut berdasarkan persentase dari apa yang diterimanya. Persentasenya bisa 5% atau 10%,” kata dia.

Senada, Sosiolog Agus Mauluddin juga menilai positif strategi mengerahkan pengurus RT dan RW ini. Keberadaan mereka bisa menjadi pengingat, lantaran selama ini, ia melihat benar banyak peserta BPJS yang membayar iuran hanya ketika mereka sakit.

“Saat ini, saya berpandangan langkah yang cukup tepat. Ada pelibatan masyarakat dan nilai gotong royong muncul di situ,” ungkapnya saat ditemui Validnews, Sabtu (14/9).

Sementara itu, Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi, mengingatkan pentingnya verifikasi ulang daftar peserta BPJS kategori PBI. Selain itu, ia pun mengusulkan pemerintah memverifikasi ketersediaan dan jumlah dokter yang ingin menjadi mitra faskes tingkat pertama, seperti puskesmas dan klinik.

“Agar lebih transparan dan akuntabel, nama penerima PBI harus bisa diakses oleh publik,” ujar Tulus dalam rilis resminya.

Bahkan jika mengingat jargon BPJS Kesehatan yang berkonsep gotong royong, Tulus merekomendasikan pemerintah menghilangkan kelas-kelas yang ada di BPJS Kesehatan. Ini karena keberadaan kelas tersebut, kata Tulus, tidak selaras dengan spirit gotong royong yang diusung.(Agil Kurniadi, Sanya Dinda, Kartika Runiasari, Zsazya Senorita, Bernadette Aderi)


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentar Login atau Daftar





TERPOPULER