c

Selamat

Minggu, 16 November 2025

EKONOMI

14 Januari 2020

08:05 WIB

Intensifikasi Dagang Tujuan Non-Tradisional Tingkatkan Nilai Ekspor

Kemendag menargetkan neraca perdagangan bakal mencapai surplus sebesar US$1 miliar pada 2021

Intensifikasi Dagang Tujuan Non-Tradisional Tingkatkan Nilai Ekspor
Intensifikasi Dagang Tujuan Non-Tradisional Tingkatkan Nilai Ekspor
Suasana Terminal 3 Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Selasa (12/1/2021). Kementerian Perdagangan menargetkan neraca perdagangan di 2021 akan mengalami surplus US$ 1 miliar, ekspor riil barang dan jasa tumbuh 4,2 persen, ekspor nonmigas tumbuh 6,3 persen dan rasio ekspor jasa terhadap ekspor jasa terhadap PDB tumbuh sebesar 2,8 persen. ANTARAFOTO/Muhammad Adimaja

JAKARTA – Indonesia diprediksi masih cukup potensial untuk meningkatkan nilai ekspornya. Salah satunya, melalui intensifikasi ekspor ke berbagai negara tujuan non-tradisional.

Sebelumnya, Kemendag menargetkan neraca perdagangan bakal mencapai surplus sebesar US$1 miliar pada 2021. Sementara itu, ekspor riil barang-jasa ditargetkan tumbuh sebesar 4,2%, ekspor nonmigas tumbuh 6,3%, serta adanya pertumbuhan rasio ekspor terhadap jasa terhadap PDB sebesar 2,8% pada 2021.  

Peneliti Center for Indonesian Policy Studies Pingkan Audrine Kosijungan mengatakan, pasar ekspor ke negara-negara non-tradisional dapat menjadi alternatif solusi untuk mengatasi defisit neraca perdagangan.

Sejauh ini, nilai ekspor nonmigas Indonesia terhadap negara tergolong tujuan tradisional telah mengalami peningkatan dalam beberapa tahun terakhir. "Nilai ekspor non-migas Indonesia dengan negara tujuan tradisional, seperti AS dan China mengalami peningkatan selama lima tahun terakhir," katanya, Jakarta, Rabu (13/1).

Melansir data BPS dan Kemendag, ekspor Indonesia ke AS meningkat dari US$15,3 miliar pada 2015 menjadi US$17,8 miliar empat tahun berselang. Sementara, untuk China pada rentang waktu yang sama juga meningkat dari US$13,3 miliar menjadi US$25,9 miliar.

Untuk tahun 2020, nilai ekspor Indonesia ke China menempati posisi teratas dibandingkan dengan negara mitra dagang lainnya dengan nilai mencapai US$26,6 miliar. Posisi kedua dan ketiga ditempati oleh AS (US$16,7 miliar) dan Jepang (USD$11,6 miliar).

Selain itu, tren serupa juga dialami oleh negara tujuan non-tradisional yang turut tumbuh periode 2015–2019. Seperti Tanzania dari US$214 juta menjadi US$262,9 juta; Kenya dari US$187,7 juta menjadi US$220,6 juta; dan Kazakhstan dari US$3,2 juta menjadi US$207,1 juta.

Kondisi ini, Pingkan menjelaskan, produk Indonesia diterima dengan baik oleh negara–negara non-tradisional.

“Selain peningkatan kualitas produk agar daya saing menguat, sudah saatnya pemerintah melihat potensi dari negara-negara tujuan non-tradisional. Pemetaan penting dilakukan supaya pasar untuk produk Indonesia semakin luas,” jelasnya.

Indonesia harus memanfaatkan perjanjian perdagangan internasional, terutama yang sudah berlangsung, untuk meningkatkan volume dan nilai ekspor Indonesia. Kesempatan ini adalah kesempatan yang baik terutama di tengah defisit neraca perdagangan.

Selain mendapat pangsa pasar baru, Nusantara juga dapat memperoleh penghapusan dan/atau pengurangan tarif impor untuk beberapa produk Indonesia yang selama ini sudah tercantum dalam kemitraan RCEP maupun kemitraan bilateral seperti dengan Australia.

Indonesia harus mempertimbangkan negara-negara non-tradisional yang berpotensi besar untuk menyerap produk ekspor. Pemerintah perlu terus menganalisis dengan baik seputar keuntungan yang selama ini telah diperoleh dari transaksi perdagangan dengan negara non-tradisional.

“Indonesia sebaiknya tidak hanya mengandalkan ekspor ke negara tradisional yang sudah lama mengadakan perjanjian dagang, tetapi juga harus melebarkan ekspor ke negara non-tradisional dengan memperhatikan pasar dan kebutuhan di negara tersebut. Perlu adanya upaya untuk membentuk segmen pasar dalam negeri yang mampu menyediakan kebutuhan-kebutuhan negara non-tradisional,” tambahnya.

Peluang Ekspor
Pingkan menguraikan, logikanya, negara-negara tradisional yang selama ini melakukan transaksi perdagangan dengan Indonesia juga terdampak pandemi covid-19. Perlu upaya diversifikasi pasar agar tidak bergantung pada negara tradisional saja, serta dapat memaksimalkan potensi negara lain untuk bekerja sama dengan Indonesia.

Dalam hal ini, Indonesia dapat menyasar negara yang membutuhkan barang-barang yang diproduksi Indonesia seperti pangan olahan. Selain itu, menyasar negara tujuan yang memiliki potensi pertumbuhan ekonomi bagus, akan berpeluang bagus untuk surplus perdagangan nasional.

Kazakhstan, Kenya dan Tanzania berpeluang bagus menjadi tujuan ekspor karena ketiganya diprediksi akan mengalami pertumbuhan penduduk kelas menengah dan kondisi perekonomian yang stabil beberapa tahun ini.

Belum lagi, negara kawasan Afrika sekarang tengah mengalami pertumbuhan penduduk relatif cepat, sehingga diprediksi kebutuhan akan produk-produk tertentu pun akan meningkat.

Peninjauan kawasan dengan potensi daya beli yang tinggi serta produk apa saja yang diminati bisa dilakukan pemerintah bisa dilakukan pemerintah untuk mendongkrak nilai ekspor di negara-negara non-tradisional.

"Selain itu, pemerintah juga perlu meningkatkan kerja sama bilateral dengan negara-negara non tradisional lewat kerangka perdagangan, seperti CEPA dan FTA yang dapat memberikan keuntungan berupa penghapusan hingga pengurangan hambatan bea masuk," jelasnya. (Khairul Kahfi)


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar