05 Desember 2018
19:32 WIB
Editor: Agung Muhammad Fatwa
JAKARTA – Dalam upaya memperdalam pasar ekspor Indonesia, ke depan Kementerian Perdagangan (Kemendag) akan terus mengintensifkan upaya perluasan akses dagang ke pasar non-tradisional. Sejauh ini, perjanjian dagang dengan pasar non-tradisonal yang mulai digarap adalah di kawasan Afrika dan Amerika Latin. Kawasan Timur Tengah dan Asia Barat pun akan disasar ke depannya.
“Sejak tahun 2017 sampai 2018 ini, kita aktif melakukan pendekatan dengan pasar-pasar non-tradisional, seperti misalnya kemarin pada pertemuan G-20 di Buenos Aires, kita bicara dengan Cile, Argentina, dan kemudian juga dengan Dubes Meksiko,” ujar Direktur Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional Kemendag, Iman Pambagyo, dalam forum diskusi dengan awak media di Jakarta, Rabu (5/12).
Bahkan Brasil telah menginisiasi agar Indonesia segera membuat perjanjian perdagangan internasional dengan negara-negara di Amerika Latin lainnya. Meski demikian, ia menuturkan, Indonesia perlu mempertimbangkan beberapa opsi perjanjian yang sesuai. Dalam hal ini, perlu dipertimbangkan aspek efisiensi dan tujuan dari setiap kerja sama yang dijalin dengan negara mitra.
“Misalnya dengan Meksiko, kita perlu mempertimbangkan apakah hanya buat perjanjian bilateral saja atau jadi observer di pacific alliance, yakni Meksiko, Peru, Cile, dan Kolombia. Jadi, capeknya sekali tetapi dapat empat negara. Usahanya sama dengan hanya buat perjanjian bilateral dengan Meksiko saja,” tutur Iman.
Sejauh ini, sebagian besar perjanjian dagang dengan pasar non-tradisional dilakukan dengan mekanisme Preferential Trade Agreement (PTA). Skema ini dinilai bisa memberikan hasil yang lebih cepat.
“Kalau lihat kondisinya saat ini dengan Afrika, kita lihat quick win ya, yang menguntungkan bagi kita itu PTA jadi cuma beberapa pos tarif saja yang kita laksanakan,” ujarnya.
Di sisi lain, diakuinya pasar non-tradisional di kawasan Afrika masih relatif sulit mengembangkan perjanjian dagang ke arah Free Trade Agreement (FTA) dan Comprehensive Economic Partnership Agreement (CEPA). Ini dikarenakan kapasitas negara-negara kecil Afrika untuk melakukan investasi dan penawaran jasa ke Indonesia masih relatif kecil.
“Tapi, yang goods sudah jelas, kita perlu kapas dari mereka dan mereka juga perlu sesuatu dari Indonesia,” sebutnya.
Direktur Perundingan Bilateral Kemendag, Ni Made Ayu Marthini menambahkan, tujuan utama perluasan akses dagang ke Afrika lebih bertujuan menumbuhkan kepercayaan antara kedua belah pihak. Ini mengingat sebelumnya baik Indonesia maupun negara-negara kecil di Afrika sama-sama belum melirik potensi perdagangan satu sama lain.
“Negara-negara di Afrika rata-rata tarifnya kan tinggi. Jadi, yang mudah untuk mendekati adalah dengan cara menurunkan tarif. Tidak perlu ambisius sedikit-sedikit aja dulu,” imbuh Made dalam acara yang sama.
Made melihat, akan ada dampak besar untuk meningkatkan perdagangan kedua belah pihak ketika perjanjian soal penurunan tarif itu telah disepakati. Negara-negara Afrika diharapkan bisa memprioritaskan impor produk kebutuhannya dari Indonesia. Begitu pula Indonesia yang memerlukan produk dari Afrika, seperti kapas.
Apalagi menurutnya, rata-rata negara di Afrika mempunyai kapasitas ekspor yang tidak sebesar negara lain. Oleh karena itu, sebagian besar dari mereka juga menginginkan adanya investasi yang masuk.
“Investasi itu kita bareng tanpa harus melakukan kerja sama yang mengikat secara preferensi. Karena persoalan kapasitas ini jadi kita ke sana promosi dulu. Promosi dagang, promo investasi, kita investasi di sana mumpung belum banyak saingan,” tutur Made.
Ia mencontohkan bagaimana Indonesia mulai masuk ke Mozambik dan Tunisia melalui investasi yang kemudian menstimulasi terjadinya perdagangan produk antarnegara. Adapun salah satu komoditas yang konsisten diekspor Indonesia ke dua negara tersebut ialah produk mi instan.
Pendekatan tersebut, menurut Made, menjadi salah satu metode yang mampu menunjukkan hasil dengan relatif cepat dan dapat langsung dirasakan oleh pelaku usaha.
“Untuk negara-negara kecil di Afrika atau pasar non-tradisional lainnya maupun Amerika Latin kita lebih ke PTA. Namun untuk kelompok negara besar di Afrika kita biasanya di FTA, CEPA, karena dia berkelompok tetapi perlu waktu lebih lama,” jelasnya lagi.
Sementara dengan Chile, Iman mengatakan, Indonesia menjalin kerja sama CEPA yang tidak hanya mencakup perdagangan produk, tetapi juga investasi dan jasa. Saat ini, Indonesia-Chile CEPA berstatus sedang diajukan untuk kemudian diratifikasi oleh pemerintah.
Lebih jauh, Iman mengingatkan pula untuk para pelaku usaha untuk tidak lagi enggan dalam menggarap potensi pasar di kawasan Amerika Latin karena alasan jarak yang terlampau jauh.
“Masih ada stigma Amerika Latin itu jauh, kenapa tidak pasar potensial yang dekat-dekat saja. Tetapi kita ingatkan pengusaha karena ada kemajuan komunikasi dan transportasi jauh sebetulnya tidak masalah,” pungkas Iman.
Perlu diketahui, Indonesia-Mozambik PTA merupakan salah satu perjanjian perdagangan internasional yang ditargetkan akan rampung sebelum tutup tahun 2018 ini. Iman menyatakan saat ini perjanjian tersebut tinggal menunggu satu tahap perundingan lagi.
“PTA Mozambik satu perundingan lagi, target 17 Desember ini sudah bisa selesai. Karena PTA lebih sedikit jadi target bisa mengejar sebelum tutup tahun untuk menyelesaikan urusan legal kemudian bisa diterjemahkan,” ujar Iman.
Selain itu, Indonesia-Tunisia PTA dan Indonesia-Iran PTA merupakan beberapa perjanjian dagang dengan pasar non-tradisional yang saat ini masih dalam proses negosiasi. (Monica Balqis)