23 Juni 2020
19:30 WIB
JAKARTA - Kemitraan Indonesia dengan Australia dalam kerangka Comprehensive Economic Partnership Agreement (CEPA) diharapkan mampu mendatangkan manfaat untuk kedua belah pihak, terutama dalam bidang ekonomi.
Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Pingkan Audrine Kosijungan mengatakan, ratifikasi IA-CEPA diharapkan mampu meningkatkan kinerja perekonomian Indonesia lewat penguatan keberadaan Indonesia di dalam Global Value Chain (GVC) atau rantai pasok global.
"Penguatan posisi Indonesia dalam GVC pada akhirnya dapat menjadikan negeri ini sebagai salah satu kekuatan ekonomi dunia. GVC sendiri berkontribusi hampir 50% pada perdagangan global," ujarnya dalam keterangan resmi yang diterima Validnews di Jakarta, Selasa (23/6).
Selain itu, lanjut dia, diharapkan Australia dapat berinvestasi pada sektor-sektor yang strategis di Indonesia.
Menurut Pingkan, harapan ini sangat beralasan mengingat Indonesia selama ini lebih banyak mengekspor produk mentah karena belum mampu memberikan nilai tambah atau value added kepada produk yang dihasilkan.
“IA-CEPA juga ditargetkan mampu memperlebar akses promosi dan penanaman modal, economic powerhouse, pengembangan sumber daya manusia Indonesia dan program-program kerja sama ekonomi bagi Indonesia. Namun hal ini perlu diikuti adanya perbaikan-perbaikan di dalam negeri, seperti reformasi regulasi yang memungkinkan masuknya lebih banyak investor Australia ke berbagai sektor di Indonesia,” jelasnya.
BKPM mencatat Australia sebagai kontributor Foreign Direct Investment (FDI) terbesar ke-10 di Indonesia pada 2019 dengan investasi lebih dari AUD 500 juta di semua sektor, kecuali minyak dan gas serta jasa keuangan.
Jumlah ini masih terbilang kecil jika dibandingkan dengan nilai investasi Amerika Serikat (AS) di Indonesia yang tiga kali lebih besar sebagaimana juga China.
Total perdagangan barang dan jasa antara kedua negara adalah senilai AUD 17,8 miliar pada 2018-2019. Menurut Pingkan, jumlah ini masih dapat ditingkatkan mengingat hubungan diplomatik kedua negara yang sudah berlangsung selama 70 tahun.
Ia mengatakan, salah satu yang dapat dilakukan untuk memaksimalkan investasi Australia di sektor-sektor potensial adalah dengan reformasi regulasi. Rumitnya regulasi di Tanah Air sudah sering disebut sebagai salah satu hambatan masuknya FDI.
Regulasi yang ada, kata dia, hendaknya dibuat lebih sederhana, terintegrasi antara pusat dan daerah dan lebih efisien secara waktu.
Hal ini, lanjutnya, tidak cukup hanya lewat revisi satu regulasi tertentu tapi perlu melihat ke regulasi di Indonesia secara keseluruhan. Selain itu, berbagai hambatan nontarif yang diterapkan oleh pemerintah juga perlu dievaluasi.
Menjelang implementasinya per 5 Juli 2020 mendatang, IA CEPA juga diharapkan mampu turut berkontribusi pada ketahanan pangan Indonesia.
Peternak sapi di dalam negeri masih belum menggunakan cara beternak yang efisien. Selain itu, ketersediaan modal yang memadai untuk memelihara sapi juga mendorong sebagian besar peternak fokus pada pembiakan sapi potong. Hal inilah yang menjadikan ketersediaan sapi bakalan lokal menjadi minim.
Sementara kebutuhan gula domestik yang tinggi juga masih belum mampu dipenuhi petani tebu lokal.
Pinkan mengatakan, adanya kemitraan yang memungkinkan terjadinya transfer knowledge dan juga berbagai kemudahan untuk impor beberapa komoditas pangan ini tentu diharapkan bisa tercapai lewat kesepakatan ini.
"Adanya demand yang dapat terus dipenuhi oleh supply tentu akan memperkuat ketahanan pangan Indonesia," paparnya.
Berdasarkan data dari The Atlas of Economic Complexity, total nilai ekspor Indonesia ke Australia mencapai US$2,8 miliar di 2018.
Beberapa komoditas ekspor Indonesia ke Australia diantaranya adalah minyak mentah, minyak bumi olahan, dan kayu berbentuk.
Sementara itu, di tahun yang sama, nilai impor Indonesia dari Australia mencapai US$5,82 miliar dengan beberapa komoditas diantaranya adalah briket batubara, minyak bumi, dan gandum.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) juga menunjukkan, Australia merupakan pemasok impor daging sapi terbesar bagi Indonesia dengan nilai impor mencapai 85 ribu ton atau sekitar 53% dari total impor seberat 160.197 ton.
Adapun nilai impor daging sapi dari Australia mencapai US$296,3 juta setara Rp4 triliun dari total nilai impor Rp7,7 triliun.
Tidak hanya impor daging sapi, Indonesia juga mengimpor gandum, hewan hidup jenis lembu, serta gula mentah atau tebu. (Fitriana Monica Sari)