15 November 2018
13:55 WIB
JAKARTA - Institute for Essential Service Reform (IESR) memperkirakan pada satu dekade mendatang atau 2028 harga listrik dari pembangkit surya dan tenaga baterai lebih murah dari listrik jaringan (grid).
“Harga listrik solar PV dan baterai akan jadi murah. Ini akan meningkatkan risiko aset PLN dan IPP. Pemerintah dan perusahaan listrik perlu menyadari ancaman ini,” kata Direktur IESR Fabby Tumiwa di Jakarta, Kamis (15/11), dilansir dari Antara.
Dalam diskusi perkembangan energi listrik tersebut, ia menjelaskan bahwa perlu adanya transformasi bisnis yang baru sebab arah kebijakan energi dan kelistrikan Indonesia masih bertolak belakang dengan tren global. Perubahan terjadi di sektor energi dalam bentuk dekarbonisasi, digitalisasi, dan desentralisasi pembangkit.
Semakin murahnya harga energi baru terbarukan sebaiknya diwaspadai oleh para pemangku kepentingan untuk segera berinovasi dalam pengembangan bisnisnya. Hal itu berdasarkan semakin kuatnya tekanan dari dunia internasional mengenai pengembangan energi baru terbarukan guna menurunkan emisi gas rumah kaca.
Di dalam negeri, minat menggunakan panel surya meningkat. Hingga Juli lalu, tercatat sudah ada 400 rumah penduduk di DKI Jakarta dan Jawa Barat yang memasang teknologi panel surya fotovoltaic (solar rooftop).
Menurut Ketua Umum Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI), Andhika Prastawa, rata-rata kapasitas listrik dari solar rooftop itu mencapai 2 kilowatt (KW).
“Untuk rumah perorangan sudah lebih dari 400 rumah yang memasang fotovoltaic. Satu rumah rata-rata pasang sekitar 2 KW, berarti sudah ada 800 KW terpasang. Itu sekitar satu tahun terakhir,” kata Andhika, dikutip dari Antara, (21/7).
Selain itu, ASEI juga mencatat ada satu pusat perbelanjaan yang sudah dipasangi atap surya fotovoltaic dengan kapasitas 500 KW. Sebuah pabrik industri juga ada yang memasang 500 KW.
Dengan demikian, sudah ada 1,8 MW atap panel surya yang terpasang baik di perumahan maupun gedung. Namun demikian, jumlah tersebut hanya yang tercatat oleh ASEI.
Pemasangan panel surya fotovoltaic menjadi bagian dari Gerakan Nasional Sejuta Surya Atap Menuju Gigawatt Fotovoltaic di Indonesia pada 2025.
Andhika menilai, target ini tidak mustahil untuk dicapai mengingat jumlah pelanggan PLN di Pulau Jawa sangat besar. Selain itu, dukungan regulasi dari pemerintah juga diperlukan agar selain perumahan, bangunan komersial dan industri turut menyukseskan gerakan ini.
“Kalau ada peraturan atau regulasi yang memungkinkan lebih mudah pelanggan PLN memasang fotovoltaic di rumah masing-masing, tentunya peningkatan akan lebih cepat dan target 1.000 MW di tahun 2025 bisa dicapai,” kata Andhika.
Gerakan Sejuta Surya Atap merupakan upaya Ditjen EBTKE untuk mendukung Kebijakan Energi Nasional yang menargetkan peningkatan bauran energi terbarukan sebesar 23% pada 2025. Dari target tersebut, proyeksi pembangkit listrik tenaga surya adalah sebesar 5.000 MW pada 2019 dan 6.400 MW pada 2025.
Guna mendorong pencapaian tersebut, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mempercepat penerbitan peraturan mengenai penggunaan rooftop panel surya untuk konsumen PT PLN (Persero) jenis tertentu.
“Nanti jika rooftop panel surya telah terbit Permen-nya, kita akan sosialisasikan secara masif. Saya yakin dalam waktu dekat,” ucap Dirjen EBTKE Rida Mulyana, dilansir dari Antara, Jumat (19/8).
Dalam peraturan tersebut nantinya pemerintah akan membolehkan semua pelanggan PLN, di luar konsumen industri, untuk melakukan pemasangan rooftop panel surya. Konsumen PLN pada golongan tersebut, yakni golongan bisnis, pemerintah, dan rumah tangga, diperkirakan mencapai dua per tiga dari jumlah konsumen PLN.
Konsumen yang sudah memasang rooftop panel surya dapat menjual listrik yang dihasilkannya ke PLN, dengan tata kelola harga yang diatur dalam peraturan penggunaan rooftop panel surya.
Selain bertujuan untuk memenuhi komitmen bauran energi baru terbarukan (EBT), adanya peraturan penggunaan rooftop panel surya itu akan mendorong penghematan biaya listrik di masyarakat. Penghematan itu pun dinilai cukup signifikan.
Misalnya, rumah pribadi yang sudah dipasangi rooftop panel surya sebesar 15,4 kWp dengan harga Rp200 juta, biaya listrik yang harus dibayarkan akan turun menjadi Rp1 juta, dari sebelumnya Rp4—5 juta.
Gandeng Uni Eropa
Sementara itu, sebelumnya Direktorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (Ditjen EBTKE) berharap para investor dari negara-negara Uni Eropa dapat menjadi mitra dalam mengembangkan sektor EBTKE yang saat ini masih terus digencarkan di Indonesia dalam rangka memenuhi target yang ada di dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN).
Direktur Aneka Energi Baru dan Energi Terbarukan, Harris, yang mewakili Dirjen EBTKE dalam kegiatan tahunan Green Energy Technology (GET) oleh European Union Business Avenue in South East Asia (EUBA), mengatakan bahwa kini penggunaan teknologi bersih sudah menjadi kebutuhan masyarakat Indonesia.
“Indonesia berkomitmen mengurangi emisi gas rumah kaca 29% pada 2030. Dengan bantuan investasi luar negeri, pemerintah optimis dapat mengurangi emisi hingga 41%,” kata Harris.
Hal itu, jelas dia, sejalan dengan semangat peningkatan pemanfaatan energi baru terbarukan (EBT) yang, selain dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat modern akan energi, juga merupakan upaya pengurangan karbon emisi gas rumah kaca yang dihasilkan oleh bahan bakar fosil.
Oleh karena itu, pemerintah, katanya, sangat mengharapkan investasi untuk pengembangan sektor EBT di Indonesia yang menitikberatkan pada aspek-aspek kesejahteraan sosial, penciptaan iklim bisnis yang kondusif, serta faktor-faktor pertumbuhan ekonomi.
“Pengembangan EBT difokuskan kepada ketahanan energi, peningkatan rasio elektrifikasi, penyebaran yang merata, dan harus dapat dijangkau oleh seluruh lapisan masyarakat,” ujarnya.
Lebih lanjut, dia mengungkapkan, untuk mempermudah pengembangan EBT di Indonesia, pemerintah telah melaksanakan reformasi birokrasi, terutama kepada proses dan pelayanan investasi, seperti simplifikasi perizinan, penyusunan pengaturan perizinan secara online, serta pelaksanaan good governance. (Fin Harini)