c

Selamat

Minggu, 16 November 2025

EKONOMI

09 April 2019

11:05 WIB

Fintech Diharapkan Permudah Akses Keuangan bagi Difabel

Persentase penyandang disabilitas yang bekerja sebagai pengusaha di Indonesia mencapai 70% dari total populasi terkait

Fintech Diharapkan Permudah Akses Keuangan bagi Difabel
Fintech Diharapkan Permudah Akses Keuangan bagi Difabel
Ilustrasi. Seorang penyandang disabilitas mengerjakan pesanan hiasan untuk perayaan hari Natal di Yayasan Wisma Cheshire, Jakarta, beberapa waktu lalu. ANTARA FOTO/Dede Rizky Permana.

JAKARTA – Perusahaan finansial berbasis teknologi atau yang tenar disebut financial technology (fintech) dinilai telah berhasil mempermudah masyarakat untuk mengakses produk dan jasa keuangan. Diharapkan pula ke depannya kemudahan fintech juga bisa dirasakan oleh kaum difabel yang kerap “tersandung” dalam memperoleh pendanaan.

Peneliti ekonomi The Indonesian Institute, Muhamad Rifki Fadilah menyatakan, kesuksesan fintech menyalurkan pembiayaan sejatinya telah dinikmati para pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Diharapkan pula ke depannya, saluran dana fintech juga mampu menyentuh para penyandang disabilitas

“Data penelitian dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sebanyak 80 persen dari sumber modal untuk UMKM berasal dari modal mereka sendiri. Dengan tekfin, akan semakin memudahkan pelaku UMKM untuk mendapatkan bantuan permodalan, khususnya bagi penyandang disabilitas" terangnya  di Jakarta, seperti dilansir Antara, Senin (7/4).

Pasalnya, menurutnya, industri tekfin telah berhasil menghadirkan layanan keuangan yang lebih mudah diakses, lebih cepat, dan tanpa birokrasi yang rumit. Hal ini pun mempermudah penyandang disabilitas mengakses suntikan modal bagi usaha yang dijalani.

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), pada 2016, sebagian besar penyandang disabilitas saat ini memang bekerja sebagai pengusaha. Persentase penyandang disabilitas yang bekerja sebagai pengusaha mencapai 70% dari total populasi.

Kemudian, riset dari Organisasi Pekerja Internasional/International Labour Organization (ILO), lanjut dia, menunjukkan jika penyandang disabilitas terlibat dalam proses pembangunan. Mereka memiliki potensi berkontribusi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 3-7%.

"Dengan demikian, kemudahan akses ke layanan keuangan sangat dibutuhkan oleh para penyandang disabilitas dalam meningkatkan akses ke modal untuk meningkatkan bisnis mereka dan mendorong nilai tambah produk mereka dan daya saing." Tutur Rifki.

Sayangnya, selama ini penyandang disabilitas masih menghadapi berbagai kendala saat menggunakan layanan perbankan. Kendala tersebut mulai dari infrastruktur yang tidak dapat diakses hingga stigma negatif.

Padahal, hak untuk mendapatkan akses ke layanan keuangan yang adil telah diatur dalam Undang-Undang No. 8 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.

Berdasarakan hasil survei oleh Disability Services Study Center pada 2016, kata Rifki, sebanyak 65% penyandang disabilitas masih mengalami kesulitan mengakses layanan perbankan. Faktor utama yang menyebabkan kendala tersebut ialah stigma bahwa penyandang cacat tidak mampu secara finansial. Karena itu, mereka dianggap tidak memiliki nilai tawar.

"Dengan adanya fintech, saya pribadi melihat ini bisa menjadi celah yang dapat dimanfaatkan oleh penyandang disabilitas untuk memperoleh akses keuangan, khususnya permodalan, sehingga mereka bisa meningkatkan lagi produksinya," tegas Rifki.

Lebih Sederhana
Fintech sendiri kerap diyakini mampu meningkatkan inklusi keuangan di Indonesia yang ditargetkan sebesar 75% pada 2019 ini. Hanya saja oleh pengamat, keberadaan fintech berbasis pembiayaan dirasa belum mampu mengangkat tingkat inklusi keuangan nasional.

Manfaatnya dinilai belum optimal dirasakan oleh masyarakat pedesaan untuk membiayai kegiatan produktif mereka. Penyederhanaan teknologi pun disarankan mesti segera dilakukan jika memang fintech lending ingin serius menggarap inklusivitas, khususnya di pedesaan.

Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira mengemukakan, saat ini hampir seluruh fintech lending menggunakan aplikasi berbasis Android untuk melakukan transaksinya. Teknologi ini dipandang memang cocok diterapkan untuk menyasar

“Sekarang konsumennya itu smartphone. Lebih ke arah kelas menengah yang kuat beli paket data. Akses internetnya bagus. Sedangkan di desa berkebalikan dari itu,” ucapnya kepada Validnews, beberapa waktu lalu.

Hal inilah yang dipandang Bhima membuat tujuan awal fintech guna bisa meningkatkan inklusi keuangan masih belum berpengaruh besar saat ini. Tak ayal, diperlukan penyesuaian teknologi apabila memang ingin sungguh-sunguh menyasar kawasan pedesaan juga, tidak semata perkotaan.  

Bhima memandang, tidak diperlukan teknologi yang terlalu canggih untuk masyarakat pedesaan guna bisa mengakses fintech. Pasalnya, harus diamini bahwa masih banyak juga masyarakat pedesaan yang belum memiliki ponsel pintar, namun masih menggunakan ponsel 2G. Teknologi USSD yang lebih sederhana pun dipandang baik untuk dipertimbangkan fintech yang memang mau menyasar pedesaan.

“Contohnya pendekatanya bisa lebih menggunakan USSD. Hanya kode bintang dan pagar sudah bisa pinjam duit. Jadi, handphone jadul pun sudah bisa menggunakan transaksi keuangan digital,” tutur peneliti ini.  

Bhima mengungkapkan, teknologi fintech menggunakan USSD pun bukan hal baru. Teknologi semacam ini bahkan sudah dipakai oleh fintech berlabel M-PESA di kawasan Afrika. Nyatanya dengan teknologi yang sederhana tersebut, inklusi keuangan bberapa negara di Benua Hitam bisa terangkat.

“M-PESA itu di Nigeria dan banyak negara Afrika sukses karena mendorong aktivitas keuangan produktif di pasar-pasar yang becek, pasar tradisional. Tidak perlu pakai smartphone karena teknologinya pakai teknologi USSD,” terangnya. (Sanya Dinda, Teodora Nirmala Fau)

 


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar