19 Desember 2019
20:36 WIB
JAKARTA – Meski prestasi bulu tangkis Indonesia kerap turun naik, popularitas olahraga tepuk bulu angsa ini tak pernah pudar. Tiap kali perhelatan ajang kompetisi bulu tangkis tingkat nasional maupun internasional, sorak-sorai penonton tak sepi menggema. Ya, pendukung bulu tangkis Indonesia memang terkenal paling ‘berisik’ dalam mendukung atlet-atlet pujaannya, baik di dalam maupun luar negeri.
Buat atlet yang bertanding, teriakan khas berjamaah “In-do-ne-sia!” pun menjadi pembakar semangat yang ampuh.
Tak hanya di lapangan, antusiasme publik Tanah Air terhadap bulu tangkis pun riuh terdengar di ruang-ruang media sosial. Mulai dari doa sampai komentar soal pribadi atlet-atlet yang bertanding tak jarang menciptakan trending.
Euforia publik terhadap olahraga yang dikenal dunia sebagai badminton ini memang tak terlepas dari catatan positif Indonesia di tingkat global. Di sepanjang gelaran Olimpiade, sejak Badminton dipertandingkan secara resmi di Barcelona 1992 hingga Olimpiade Rio 2016, Indonesia hanya gagal meraih medali emas pada Olimpiade 2012 di London. Selebihnya, medali emas selalu bisa dibawa pulang ke tanah air.
Pada Asian Games 2018 kemarin saja, Indonesia sukses menyabet dua medali emas lewat tangan Jonathan Christie di kelompok tunggal putra, dan Marcus Fernaldi Gideon/Kevin Sanjaya Sukamuljo di kategori ganda putra.
Marcus dan Kevin bahkan masih menduduki peringkat jawara dunia sampai Desember 2019 ini untuk kategori ganda putra berdasarkan data BWF World Ranking. Sementara, Jonathan Christie berada di peringkat 6 dunia pada periode yang sama untuk kategori tunggal putra.
Sayangnya, sejak Tan Joe Hok alias Hendra Kartanegara menjuarai All England tahun 1959 setelah mengalahkan kompatriotnya Ferry Sonnevile di final, euforia olahraga ini tak banyak merembet ke industri yang terkait dengannya. Dalam gelaran Asian Games 2018 kemarin misalnya, aliran impor produk-produk penunjang olahraga bulu tangkis sulit dibendung.
Salah satunya adalah impor shuttlecock atau ‘kok’ bulu tangkis yang nilainya tumbuh melesat sebesar 114% pada tahun 2018 dibandingkan tahun sebelumnya. Nominalnya mencapai US$670.515. Padahal biasanya, rata-rata pertumbuhan nilai impor shuttlecock ke Nusantara hanya 5,64% dalam periode 2013—2017.

Sekretaris Jenderal (Sekjen) Persatuan Bulu Tangkis Seluruh Indonesia (PBSI) Achmad Budiharto mengakui, perhelatan olahraga berskala internasional memang sangat memengaruhi kebutuhan impor shuttlecock. Menurutnya, hampir semua peralatan bulutangkis yang digunakan PBSI adalah produk-produk luar negeri.
“PBSI di pelatnas (pelatihan nasional) kan disiapkan untuk pertandingan internasional. Pertandingan internasional itu baik dari karpet sampai shuttlecock-nya itu hampir semua adalah produk luar yang dipakai untuk pertandingan skala internasional,” tuturnya kepada Validnews di Jakarta, Rabu (18/12).
Ia menjelaskan, dalam pertandingan resmi tingkat internasional, biasanya dalam satu babak dapat menghabiskan 5–10 shuttlecock. Jika pertandingan itu dilanjutkan dengan rubber set, setidaknya sudah menghabiskan kurang lebih 30 shuttlecock.
“Kita kalau lagi turnamen itu membutuhkan sampai 600 slot shuttlecock. Satu turnamen untuk 5 hari pertandingan,” imbuhnya.
Tak dimungkiri, penggunaan perlengkapan olahraga impor juga tak jarang dipengaruhi oleh sponsorship dari suatu perhelatan. Contoh saja, untuk gelaran All England, Yonex menjadi merek yang biasanya digunakan. Sementara untuk China Open, perlengkapan dari Li Ning yang paling banyak dipakai.
“Jadi mau enggak mau kita harus membiasakan diri dengan itu. Membiasakan diri dengan peralatan yang dipakai di pertandingan itu, karena sangat berbeda karakter satu produk dengan produk yang lain,” paparnya lagi.
Belum Bersaing
Derasnya impor perlengkapan olahraga, khususnya shuttlecock untuk bulu tangkis, sebenarnya bukan karena perusahaan Indonesia taka da yang bisa membuatnya. Toh, jika mengintip data Badan Pusat Statistik (BPS), Indonesia ternyata mampu mengekspor shuttlecock ke mancanegara. Nilainya rata-rata mencapai US$156.015 per tahun dalam periode 2013–2018.
Untuk diketahui, produsen shuttlecock sebenarnya sudah banyak bertebaran di Indonesia, mulai dari yang kelas pabrik sampai industri rumahan. Namun lagi-lagi, meskipun produksinya banyak, kualitasnya belum setingkat produksi luar negeri yang menerapkan standar internasional.

NBX, produsen shuttlecock asal Nganjuk, Jawa Tengah, ini menjadi salah satu industri kecil menengah (IKM) yang menggarap produksi shuttlecock sejak beberapa tahun lalu. Tiap bulannya, NBX mampu memproduksi 3 ribu shuttlecock.
Iswandi, Founder NBX mengatakan, sudah lebih dari tujuh tahun NBX memproduksi shuttlecock. UKM ini pun sudah bisa mempekerjakan 30 hingga 40 pekerja untuk membuat shuttlecock. “Perslopnya kita jual Rp60 ribu,” katanya kepada Validnews, Rabu (18/12).
Hanya saja memang pertumbuhan nilai ekspor shuttlecock nusantara masih terlihat labil. Nilai ekspor produk ini bahkan pernah tergelincir ke pertumbuhan negatif pada tahun 2015 dan 2017. Kala itu secara berurutan, pertumbuhan nilai ekspor shuttlecock berada di level -1,44% dan -21,17%.
Hariyanto Arbi, mantan atlet yang juga produsen produk peralatan bulu tangkis dengan merek Flypower mengakui, perkembangan industri bulu tangkis di Indonesia saat ini masih jalan di tempat. Menurutnya, produk-produk buatan dalam negeri masih belum mampu bersaing dengan merek-merek terkenal, seperti Yonex dan Li Ning.
Contoh lesunya industri olahragapun tampak dari industri raket yang sama sekali tidak berkembang. Menurutnya, sampai saat ini tidak ada pabrik yang sanggup untuk membuat raket dengan standar internasional.
“Karena kan memang industri raket di Indonesia kan masih belum ada. Kalau saya, selama masih bisa dibuat di Indonesia pasti saya buat di Indonesia. Kalau enggak, kami ambil dari luar,” ujar pemilik smash 100 watt itu kepada Validnews, Rabu (18/12).
Achmad Budiharto menambahkan, sulitnya industri lokal bulu tangkis berkembang tak terlepas dari adanya persaingan yang tinggi dari competitor asing. Nah, sejauh ini banyak peralatan bulutangkus produksi dalam negeri yang belum tersertifikasi.
“Rata-rata mereka belum certified,” serunya.
Lemahnya daya saing, sejatinya juga berhubungan dengan kemampuan produsen lokal untuk mengontrak atlet top sebagai brand ambassador mereknya. Asal tahu saja, untuk menyokong kebutuhan raket seorang atlet bulu tangkis peringkat 1 hingga 10 dunia, produsen raket asing, berani membayar kontrak seorang atlet dengan banderol tinggi.
Nilainya dalam satu tahun bisa mencapai US$2 juta. Jika dirupiahkan menjadi Rp8 miliar setahun.
“Sekarang produk dalam negeri ada yang berani segitu?” tanyanya.
Kontrak yang dilakukan kepada seorang atlet dengan produsen luar negeri juga biasanya tidak terbatas pada raket. Kontrak akan meliputi keperluan lain untuk atlet seperti sepatu, tas, dan sebagainya.
“Sangat tergantung dari yang mengontraknya tadi. Biasanya kan kalau kontrak itu sudah sekaligus. Ada raket, sepatu, baju, tas semua peralatannya sudah jadi satu,” kata Budiharto.
Tingkatkan Kualitas
Nah, untuk bisa bersaing, mau tak mau, produsen lokal harus mati-matian meningkatkan kualitas produknya. Dengan begitu, baru bisa bersaing dengan merek asing.
“Saya kira bisa saja (bersaing). Asal, mereka bisa betul-betul bersaing secara kualitas dengan produk-produk yang sudah established tadi,” cetus Budiharto.
Direktur Jenderal Industri Kecil Menengah (IKM) dan Aneka Gati Wibawaningsih pun yakin, sebenarnya produk-produk olahraga buatan Indonesia memiliki mutu dan kualitas baik. Hal tersebut dapat dilihat dari bagaimana produk dalam negeri yang sudah bisa diekspor ke luar negeri.
“Ekspor (alat olahraga) itu (porsi) ke Amerika Serikat 42%, kemudian Jepang sekitar 16%, Korea Selatan 8%, Inggris 6%, Australia 3%, dan sisanya ke negara-negara lain,” ujarnya kepada Validnews, Rabu (18/12).
Tak berhenti sampai di sana, lanjut Gati, berbagai cara sejatinya sudah dilakukan pemerintah agar produk olahraga dalam negeri dapat menembus ekspor lebih luas. Misalnya, dengan membuat aneka pameran industri alat olahraga. Ada pula upaya mendigitalisasi pasar yang ada di dalam negeri, sehingga bisa dilihat oleh pasar global.
Niat hati untuk meningkatkan mutu produk boleh saja besar. Namun Iswandi sebagai pelaku pasar jujur mengatakan, ketergantungan dengan barang impor tak bisa dilepaskan begitu saja. Ia mencontohkan, bahan-bahan yang digunakannya untuk membuat shuttlecock, faktanya masih berasal dari luar negeri.
China dan Taiwan masih menjadi pemasok utama untuk bahan baku bulu angsa yang dibutuhkannya. Menurut Iswandi, impor harus dilakukan lantaran kualitas yang ia dapatkan dari bahan baku impor lebih bagus dibandingkan dengan bahan baku lokal.
“Lebih putih sedikit warnanya kalau untuk yang impor,” serunya.
Ditambah lagi, Iswandi dan sekitar 100 UKM perajin lainnya di daerah Nganjuk mengaku, terpaksa melakukan impor lantaran kebutuhan yang dibutuhkan oleh mereka tidak dapat dipenuhi pemasok dalam negeri.
“Ada sebagian lokal. Cumakan yang jelas tidak mencukupi,” tuturnya.
Dukungan Pemerintah
Alih-alih hanya menuntut perkembangan mutu produksi, Arbi dan Flypower-nya justru meminta seluruh pihak terkait, tidak mengadu produsen lokal dengan produsen luar negeri. Khususnya ketika proses bidding dalam mengajukan sponsorship untuk multievent internasional. Menurutnya, mengadu produsen lokal dengan luar negeri dalam bidding itu tidak sebanding.
“Kalau diadu dengan modalnya, kita pasti kalah. Tapi, kalau dikasih kesempatan bersaing secara kualitas, kan kita enggak kalah juga gitu,” ucapnya.
Ia pun meminta pemerintah Indonesia meniru negara lain dalam memajukan industri bulutangkis lokal. Salah satunya dengan mengajukan merek lokalnya sebagai sponsor untuk turnamen-turnamen internasional.
“Misalnya China, yang diajukan pasti Li Ning, karena dia brand lokalnya sana. Terus di Thailand sama, di Jepang juga sama, pasti pakainya produk mereka,” ungkapnya.
Pemerintah juga bisa mengundang produsen industri lokal sebagai sponsor di multievent besar, seperti Southeast Asian Games (Sea Games) dan Asian Games. Pasalnya perhelatan internasional membutuhkan banyak kebutuhan olahraga, shuttlecock salah satunya.
“Biasanya menghabiskan 400 sampai 500 slop shuttlecock yang digunakan dalam sebuah turnamen,” ujarnya.
Haryanto sendiri sebenarnya telah bekerja sama dengan PBSI selama lima tahun terakhir. Kerja sama dilakukan untuk mensponsori pertandingan sirkuit nasional (sirnas) di semua tingkatan, mulai dari junior hingga tingkat dewasa.
Menanggapi hal tersebut, Budiharto mengakui, saat ini khusus untuk turnamen internasional dan latihan atlet dewasa, pihaknya memang masih mengutamakan penggunaan produk luar. Sementara, tingkat junior, sudah disokong oleh produk-produk dalam negeri. Pemilihan merek dalam negeri untuk latihan atlet junior, biasanya lebih karena faktor harga yang lebih bersahabat.
Sekadar informasi, untuk kebutuhan latihan, biasanya rata-rata seorang atlet dapat menghabiskan 5 sampai 8 shuttlecock setiap sesinya. “Bayangkan kalau 1 slop Yonex harganya Rp140 ribu isi 12 buah. Kalau yang pakai merek Victor, itu Rp120 ribu,” pungkasnya. (Rheza Alfian, Bernadette Aderi, Kartika Runiasari, Sanya Dinda)