11 Juni 2019
19:01 WIB
JAKARTA – Jarum jam malam itu sudah menunjukkan pukul sekitar 22.30. Alih-alih terlelap, kawasan Mangga Besar, Jakarta, justru masih menunjukkan geliatnya di sisi kuliner. Tenda-tenda beragam penganan masih terpajang teguh menawarkan menu andalannya.
Di kawasan yang dikenal dengan sajian bernuansa Tionghoa ini nyatanya ditemukan pula beberapa tenda yang menawarkan sajian unik yang bisa membuat orang bergidik. Reptil menjadi menu utama yang ditawarkan oleh tenda-tenda yang berukuran tak lebih luas dari 2x3 meter tersebut. Di antara ragam menu reptil, ular kobra menjadi komoditas yang paling direkomendasikan.
Penyajiannya terbilang unik. Ular-ular kobra yang siap diolah menjadi makanan tersebut dibiarkan tetap hidup berhimpitan di kandang kayu berjeruji besi. Jika sedikit betah menatap tumpukan ular dalam kandang tersebut, pengunjung bisa dengan mudah menatap mata ular yang masih terpampang buas. Dengan sesekali, desis kecil terdengar tanda mereka mungkin terasa terancam.
Adalah Raja Kobra Kanza 96 yang merupakan salah satu tenda penjual ular-ular kobra layak konsumsi tersebut. Warung yang sudah 10 tahun beroperasi tersebut punya alasan tersendiri membiarkan kobra tetap hidup selama belum ada yang membeli.
Selayaknya, daging ular harus dibiarkan tetap segar dan dalam kondisi utuh. Racun kobra diyakini menyebar ke seluruh bagian tubuh jika ular tersebut mati lebih dulu dalam kondisi utuh. Daging pun tak layak lagi buat disantap, jika sudah terkontaminasi racun.
“Kalau kobranya mati baru dia menyebar ke seluruh tubuh. Kalau masih hidup, tetap ada di otaknya, ada di rahang,” ujar pemilik warung Raja Kobra Kanza 96, Hendri, kepada tim Validnews pada malam itu, Sabtu (25/5).
Dengan sigap, Hendri mencontohkan bagaimana agar daging ular tetap aman dikonsumsi. Tangannya sigap mengambil salah satu ular yang ada di dalam kandang. Dengan cepat ia menjepit kepala ular dengan tang lalu memenggal kepala ular dengan berjarak beberapa sentimeter dari pangkal kepalanya. Amannya, menurut Hendri, jarak antaran pangkal kepala dan bagian pemotongan harus sekitar 2 sentimeter untuk memastikan racun bisa tidak menyebar.
Uniknya, kobra yang sudah tak berkepala tersebut tidak langsung terkapar lesu. Kepalanya yang terpotong masih berdenyut. Menurut penjelasan Hendri, setidaknya, kepala ular tersebut masih mampu mengeluarkan racun bisa hingga 15 menit setelah dipotong.
Badan ular yang telah terpisah juga masih menggeliat-geliat seperti kulit orang yang habis digelitik. Badan ular akan terus bergerak selama sumsumnya belum dilepas.
Benar saja, ketika Hendri akhirnya sukses mencabut keseluruhan sumsum ular dari kobra itu, tidak ada gerakan lagi. Kemudian, ia tinggal memisahkan darah dan empedu dari daging ular tersebut.
Nah, jika berkenan, darah dan empedu ular yang ditaruh di dalam mangkok kecil, bisa diminum. Harganya sudah sepaket dengan satu ekor ular yang dipotong tersebut. Darah dan empedu biasanya menjadi bagian yang paling dicari konsumen karena mitos kesehatannya yang kencang. Penyajiannya hanya tinggal dicampur arak dan sedikit madu jika suka.
“Manfaatnya buat eksim, gatal-gatal, menambah tenaga, menambah seks, pegal linu, darah kotor, asma, paru-paru, rematik,” terangnya panjang lebar.
Ia melanjutkan, manfaat yang sama sebenarnya pun bisa didapati pada daging ular. Merasa manfaatnya tak jauh beda, Validnews pun hanya mencoba mencicipi daging ular yang diolah menjadi sate. Rasanya tidak jauh berbeda dengan daging ayam. Hanya saja lebih kenyal dan alot.
Satu kobra nyatanya hanya menghasilkan 8 tusuk sate. Bumbunya sendiri bisa dipilih antara bumbu kacang dan bumbu sambal kecap. Hendri menceritakan, khusus untuk warungnya, sate ular yang dibumbui sambal kecap lebih laku.
Cara penyajian daging ular dengan bumbu sambal kecap pulalah yang diterapkan di warung Azka Kobra. Hanya berjarak sekitar 500 meter dari warung Kanza 96, konsep jualan usaha keluarga ini pun tidak berbeda dengan yang sebelumnya. Di mana ular-ular dibiarkan hidup dalam kandang kayu berlapis jeruji kawat untuk nantinya dipenggal jika ada konsumen yang berminat.
Penyajian sate ular di Azka Kobra tampak jauh lebih menarik. Pemilihan tusuk sate disamakan dengan jenis sate kambing. Tujuannya untuk menyiasati daging ular yang memang alot jika disate. Ditambah ada tambahan bumbu dasar untuk membakar sate ular. Campuran rajangan bawang putih, ketumbar, yang kemudian dibalut minyak sayur, menjadi bumbu pembeda.
Pemilik kedai Azka Kobra, Zaelani mengungkapkan, konsumen bisa memilih untuk menggunakan bumbu dasar atau tidak. Tak jarang konsumen memilih sate ular tanpa baluran bumbu dasar guna mendapatkan rasa yang lebih orisinal.
Tetapi diingatkannya, baik dengan bumbu dasar atau tidak, tekstur daging ular akan tetap alot selama pengolahannya disate. Daging ular akan terasa lebih lembut jika diolah dengan metode lain dengan sebelumnya dibaluri dengan perasan nanas terlebih dahulu.
“Kalau sudah jadi olahan, dicampur air nanas dia supaya lebih lembut. Bisa sih disate pakai air nanas, cuma jadi hancur dagingnya,” papar pria berusia 33 tahun ini kepada Validnews, Sabtu (25/5).
Tekstur boleh jadi alot, tapi nyatanya peminat yang menjadi pelanggan loyal kobra-kobra di Azka Kobra tak pudar.
Salah satunya adalah Steven yang mengaku rajin menyambangi kedai kuliner ekstrem tersebut saban bulan. Pasalnya ia merasa cita rasa sate ular di Azka Kobra lebih menggugah selera dibandingkan kedai lainnya di kawasan tersebut.
“Kata orang sih buat stamina,” ujar pria itu.

Raup Cuan
Satu ekor ular di Azka Kobra dipatok Zaelani berkisar antara Rp60–100 ribu, bergantung ukurannya. Semakin besar kobra yang dipilih konsumen, semakin besar harga yang mesti dibayar. Zaelani yang sudah mengelola warungnya selama 6 tahun ini bercerita, satu ekor kobra sedang setidaknya mampu diolah menjadi 12 tusuk sate di warungnya. Harga yang diterapkan pun sudah termasuk empedu dan darah ular tersebut.
Tiap harinya, setidaknya 6–8 kobra mampu Zaelani penggal untuk memenuhi permintaan konsumen yang data ke kedainya. Harga yang ia lemparkan ke konsumen sendiri sebenarnya sudah 2 kali lipat dari modalnya untuk mendatangkan kobra-kobra tersebut dari kawasan Brebes maupun Indramayu.
“Dari Rp30–35 ribu per ekor,” ujarnya menyampaikan modal yang mesti dirogoh untuk tiap seekor ular.
Ia menjelaskan, omzet yang lebih besar sejatinya bisa ia peroleh dengan menjual king cobra. Di kedai tersebut, kandang ular memang terbagi dua. Satu bagian berisi tumpukan kobra biasa. Satu bagian lagi hanya terpajang satu ekor kobra yang mulutnya dililit lakban dengan ukuran berkali-kali lipat lebih besar. King cobra yang bisa dikatakan kobra mengalami gigantisme tersebut dijual Zaelani dengan kisaran harga Rp500 ribu–1 juta.
“Yang king biasanya sudah pesanan untuk restoran. Khasiatnya sama, cuma beda kualitas,” terang Zaelani lagi.
Perbedaan kualitas paling tampak dari jumlah tusukan sate yang bisa dihasilkan oleh king cobra. Dengan ukuran daging lebih tebal, satu kilogram king cobra mampu diolah menjadi 20 tusuk sate. King cobra yang terpajang di kedai Azka Cobra pada Sabtu malam tersebut ditaksir Zaelani bisa seberat 3 kilogram. Jadi, satu ular ditaksir dapat dibagi menjadi 60 tusuk sate.
Berbeda dengan di kedai Raja Kobra Kanza 96, tidak tampak adanya king cobra seperti di warung Zaelani. Hanya saja, selain ular dari Pulau Jawa seperti yang juga dimiliki Azka Cobra, Kanza 96 menawarkan sensasi rasa dari kobra Sumatra. Harganya pun hanya sedikit lebih mahal dibandingkan kobra Jawa.
Di Kanza 96, seekor kobra Jawa dipatok paling murah Rp80 ribu. Satunya bisa menghasilkan minimal 5 tusuk sate. Jika ingin daging yang lebih banyak, konsumen bisa memilih kobra Jawa ukuran besar yang bisa menghasilkan sekitar 10 tusuk sate dengan harga Rp100 ribu.
Harga daging ular di Kanza 96 memang sedikit lebih mahal dibandingkan di Azka Kobra. Selaras, modal yang mesti digelontorkan kedai ini memang agak lebih besar sebab mesti merogoh kocek sampai Rp40 ribu untuk seekor kobra yang didatangkan dari Jawa.
Bahkan jika ingin mendatangkan kobra dari Sumatra, Hendri mesti membeli ular dari penyuplainya di kisaran harga Rp60 ribu per ekor.
“Untungnya sama saja karena kalau Sumatra lebih mahal dijual Rp150 ribu. Lebih cepatnya dari Sumatra karena barangnya bagus, lebih gede, dagingnya lebih banyak,” tutur Hendri.
Setidaknya dari usaha kaki limanya tersebut, Hendri mampu meraup cuan minimal Rp500 ribu per hari. Kalau sedang ramai, ia bahkan dapat mengantongkan Rp1,5 juta per malam.
Omzet tersebut diperolehnya dari penjualan sekitar 7–15 ular kobra. Khusus untuk Sabtu malam menjelang akhir Mei tersebut, Hendri sudah menjual 8 ekor ular di mana sisa-sisa kepalanya sengaja dibiarkan dipajang di atas kandang yang menjadi etalase jualannya.
Hendri menambahkan, omzet yang diperoleh warungnya ditambah dari hasil penjualan penganan lain. Ada abon ular yang dihargai Rp25 ribu untuk ukuran sekitar 100 gram. Ada pula menu sate biawak yang dibanderol seharga Rp40 ribu untuk tiap porsinya yang berisi 10 tusuk sate.
“Paling nyediain 10 porsi per hari,” ujar pria ini.
Penuh Eksotisme
Mangga Besar hanya menjadi titik kecil di mana kuliner ekstrem semacam ular kobra ditransaksikan. Nyatanya berbagai daerah di nusantara juga mempunyai makanan ekstrem andalannya yang kerap membuat penasaran wisatawan.
Sebut saja adanya ulat sutra di Papua yang sering dimakan mentah-mentah. Ada pula jajanan kuliner sate ulat bulu di Purworejo yang mitosnya ampuh menyembuhkan gigi yang sedang ngilu.
Masih di Pulau Jawa, berbagai penganan dari serangga bukanlah hal yang mengagetkan. Bahkan di kawasan Gunung Kidul, olahan serangga goreng—tepatnya belalang—dipromosikan menjadi oleh-oleh khas kawasan tersebut. Realitasnya pula tidak sedikit pelancong yang mampir ke daerah itu kemudian membawa buah tangan belalang goreng.
“Rasanya seperti kerupuk. Garing. Enak kok, kan ada rasa-rasanya juga. Yang manis sih enaknya,” kata Novianti kepada Validnews, beberapa waktu lalu.
Ia mengamini tidak tiap orang menyukai belalang goreng dari Gunung Kidul. Bukan karena rasanya, enggannya orang mencecap jenis makanan yang satu ini lebih dikarenakan bentuk penganannya yang menyerupai kecoak.

Kuliner yang jauh lebih ekstrem bahkan tidak sulit ditemukan di beberapa daerah di Sulawesi. Sebut saja di kawasan Tomohon. Di mana ada sebuah pasar yang menjual berbagai jenis hewan buruan dalam kondisi mentah.
Ada pula kawasan Minahasa yang terkenal dengan sajian camilan tikus panggang menteganya yang digemari warga di kawasan tersebut. Sementara itu, di Manado, kedai-kedai yang menjual tongseng kelelawar bukanlah hal yang langka alias tidak sulit menemukannya. Lalu di Makassar, menjadi lumrah menemukan adanya coto kuda.
Bukan hanya menawarkan rasa ciamik, beragam kuliner eksotis nusantara pun mengiming-imingi manfaat yang membuat kian penasaran konsumennya. Sebagai obat awet muda sampai penyembuh penyakit asma kerap menjadi mitos beragam makanan ekstrem tersebut.
Direktur Indoasia Tours-Jakarta, Ophan Lamara mengemukakan, beragam makanan ekstrem tersebut sejatinya adalah penganan lumrah orang-orang di daerah tertentu. Tidak terkecuali beragamnya kuliner ekstrem di Sulawesi. Di wilayah ini sudah sejak lama penduduk setempat mengenal binatang-binatang tersebut sebagai makanan sumber protein.
“Nah ular juga bukan baru ada sekarang. Ular di beberapa, hampir di semua kota besar Indonesia, menyajikannya sejak dulu. Karena memang ada beberapa orang yang percaya dengan khasiat daging ular,” tuturnya kepada Validnews, Selasa (11/6).
Namun ia memang melihat, ada pergeseran penyajian kuliner ekstrem tersebut dari sekadar konsumsi domestik menjadi ke arah pariwisata. Kondisi tersebut tertangkap dari meningkatnya keberadaan warung-warung makan yang menawarkan sajian kuliner yang tak biasa bagi kebanyakan orang.
“Peningkatan dari sisi keberadaannya secara kuantitas atau jumlah karena ternyata peminatnya juga berkembang. Bisa jadi kita mulai meniru Thailand,” ucap Ophan menganalisis.
Ia menceritakan, di Thailand sendiri beragam serangga aneh laku menjadi jualan kuliner yang memikat wisatawan. Kuliner-kuliner yang dipandang ekstrem tersebut nyatanya tampil eksotik dalam bentuk jajanan ringan di jalan-jalan, mulai dari, semut goreng, belalang goreng, sampai kecoak goreng.
“Tapi yang ramai ya turis, yang punya rasa ingin coba. Di Indonesia juga hal itu terjadi,” tambah pelaku usaha di sektor pariwisata ini.
Digandrungi Bule
Harus diakui, kuliner memang pengiming ampuh untuk mendatangkan pelancong ke suatu wilayah. Mengutip data Kementerian Pariwisata (Kemenpar), wisata kuliner termasuk ke dalam wisata budaya yang merupakan jenis wisata yang paling banyak dilakukan pelancong di nusantara. Dari total wisatawan domestik maupun asing, sekitar 60% memilih wisata budaya dibandingkan wisata alam ataupun wisata buatan manusia (man made).
Wisata kuliner dan belanja sendiri merupakan bagian dari wisata budaya yang paling banyak digemari. Pasalnya 45% pelancong yang melakukan perjalanan wisata budaya turut melakukan wisata kuliner.
Kepada Validnews, Deputi Bidang Pengembangan Industri dan Kelembagaan Kemenpar, Ni Wayan Giri Adyani mengungkapkan, wisata kuliner mampu menyumbang 30% dari pengeluaran wisatawan ketika berpelesir ke nusantara.
“Sedangkan data Bekraf, 42% PDB ekraf disumbang oleh sub-sektor kuliner,” imbuhnya, Selasa (11/6).

Diakui oleh Wakil Ketua Association of the Indonesian Tours and Travel Agencies (Asita), Budiyanto, kuliner memang tak pelak mampu menjadi daya tarik wisatawan untuk menyambangi suatu tempat. Bahkan tak jarang pelancong akan memilih kawasan yang memiliki kuliner unik untuk disinggahi.
“Artinya satu daerah mempunyai kuliner yang beragam dan menarik itu akan lebih gampang dijual daripada mereka yang tidak punya daya tarik kuliner,” katanya kepada Validnews, Selasa (11/6).
Untuk Indonesia sendiri, terdapat pola bahwa sekitar 20–30% pelancong pergi berpelesir dengan tujuan mencari kuliner unik.
Tingginya ikatan antara kuliner dan pariwisata sebenarnya tertangkap jelas dalam data Badan Pusat Statistik (BPS) yang menunjukkan, objek wisata kerap menjadi lokasi usaha penyediaan makanan. Pasalnya berdasarkan data tahun 2017, sebanyak 5,66% penyediaan makanan yang ada di nusantara berada di dalam objek wisata.
Persentasenya hanya kalah dibandingkan jumlah usaha penyediaan makanan dan minuman di mal dan perkantoran yang mencapai 68,51%. Namun perlu diingat, mal sendiri dapat digolongkan sebagai destinasi wisata belanja.
Khusus kuliner daging ekstrem, Budiyanto mengakui, memang bukan jenis penganan yang bisa dinikmati oleh setiap orang. Hanya saja, meskipun dianggap aneh, jenis penganan ini dipandang eksotis sehingga mengundang rasa penasaran, khususnya dari turis asing.
Senada, Ophan mengamini bahwa wisman lebih mudah disasar untuk penjajan kuliner ekstrem semacam ular, kelelawar, bahkan daging tikus. Didesak oleh rasa ingin tahu, setidaknya turis asing memiliki keinginan untuk mencoba hal baru.
Wisman yang tertarik pun biasanya adalah pelancong-pelancong dari benua Biru ataupun di luar Asia. Bule tepatnya. Pasalnya, ketertarikan mereka mencicipi berbagai penganan aneh tidak terkadang aturan norma.
“Iya, pasar sangat ke Barat, cenderung ke wisman,” ujarnya lagi.

Teradang Norma
Di sisi lain Ophan menilai, pasar domestik untuk kuliner ekstrem sangat terbatas Bukan karena terkadang diliputi rasa jijik ataupun takut, penghalang terbesar untuk mencoba kuliner ekstrem lebih dikarenakan adanya halangan norma baik budaya maupun agama.
Alasan ini pulalah yang memuat kuliner ekstrem di Indonesia tidak akan bisa sejaya di Thailand. Sebab pada dasarnya, dari segi budaya tingkat penerimaan masyarakat terhadap makanan aneh masih amat terbatas.
“Kalau Thailand kan memang dikenal sebagai pemakan segala jenis daging dari dulu. Jadi, enggak ada keterkejutan budaya di sana,” tambah Ophan.
Norma bisa saja mengadang kuliner ekstrem untuk merajai lidah domestik. Hanya saja tingginya kedatangan wisman diyakini mampu menghadirkan potensi wisata yang menyajikan petualangan eksotis di nusantara.
Namun, Ophan mengingatkan ada dua hal yang perlu disaksamakan terkait kuliner ekstrem ini, yang pasarnya memang lebih mengarah ke turis asing. Pertama, tingkat kehigienitasan tidak boleh terabaikan. Kedua, insan pariwisata yang ingin mengantarkan tamunya ke sana harus menjelaskan terlebih dahulu mengenai konsep kuliner ekstrem yang akan tersaji.
“Jangan ujug-ujug dibawa terus dijelaskan nanti kita akan menuju tempat makan ular tanpa dijelaskan secara detail. Nanti ada tidak siap secara mental,” sarannya.
Giri dari Kemenpar pun mengakui, wisata kuliner ekstrem di nusantara memang masih sangat terbatas. Segmentasinya pun masih amat kecil dan hanya dijumpai di beberapa daerah. Dibandingkan jenis kuliner lainnya, kuliner ekstrem bukanlah mayoritas.
Menilik ceruk cuan yang bisa disasar, perhatian dengan baik terhadap wisata kuliner ekstrem memang harus digiatkan. Agar nantinya, kuliner ekstrem bisa kian mendongkrak rasa penasaran pelancong untuk berpelesir ke nusantara.
Kamu sendiri, apakah sudah pernah mencoba salah satu dari beragam kuliner ekstrem di Indonesia? Penasaran tidak? (Teodora Nirmala Fau, Fin Harini, Bernadette Aderi, Zsazya Senorita, Sanya Dinda)