c

Selamat

Sabtu, 20 April 2024

EKONOMI

02 Agustus 2017

16:15 WIB

Berkhayal Swasembada Tanpa Sokongan Infrastruktur

Produksi melimpah tiada berarti tanpa dukungan infrastruktur berupa alat pengering dan gudang penyimpanan yang berperan menjaga kelangkaan dan stabilitas harga

Editor:

Berkhayal Swasembada Tanpa Sokongan Infrastruktur
Berkhayal Swasembada Tanpa Sokongan Infrastruktur
Butiran jagung dimasukan ke dalam bak sebelum didistribusikan. pixabay.com

JAKARTA- Klaim Kementerian Pertanian yang menyebutkan produksi jagung dalam negeri telah menyentuh angka 26 juta ton per April 2017 seharusnya dapat menjadi sinyal kegembiraan bagi industri pakan maupun konsumen jagung secara langsung. Namun pada praktiknya di lapangan, jagung—khususnya untuk keperluan pakan—masih sulit diperoleh. Karena langka maka harganya pun tidak ramah.

Direktur Komersial Bulog, Febriyanto kepada Validnews, Rabu (2/8) mengakui belum optimal distrubusi jagung disebabkan jauhnya jarak antara sentra panen dengan kawasan industri pakan. Kondisi ini pun memicu harga tinggi begitu sampai ke tangan konsumen.

“Kalau saya nggak salah, minggu ini Rp4.400—4.500. Minggu sebelumnya malah lebih tinggi, Rp4.700. Kan sekarang mulai panen, ya jadi sudah mulai turun. Nah, cuma kalau dari perspektif peternak yang saya pahami, mereka itu akan terbantu kalau harga jagung itu di kisaran Rp3.600,” terang Febriyanto.

Pernyataan Febriyanto sejalan dengan kajian Visi Teliti Saksama yang menemukan harga rata-rata untuk jagung pipilan kering yang sampai ke tangan konsumen secara nasional mencapai Rp4.500.

Sedangkan berdasarkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 27 Tahun 2017, harga acuan pembelian jagung di petani terbagi menjadi lima golongan. Golongan pertama adalah jagung dengan kadar air 15% yang dihargai Rp3.150 per kilogramnya. Harga sedikit lebih rendah dikenai pada jagung dengan kadar air 20%, yakni Rp3.050 per kilogram.

Sementara itu, jagung dengan kadar air 25% hanya dihargai Rp2.850. Harga pun terus menurun selaras dengan peningkatan kadar air di jagung tersebut. Berturut-turut jagung dengan kadar air 30% dan 35% dihargai Rp2.750 dan Rp2.500 di tingkat petani.

Perbedaan harga jagung ke petani sesuai dengan kadar air dari jagung yang mereka produksi tak ayal kerap membuat petani merugi. Ketua Dewan Jagung Nasional, Maxdeyul Sola kepada Validnews, Senin (31/7), rata-rata kadar air jagung yang baru dipanen dapat mencapai 20—25%.

Dengan kadar air yang demikian tinggi, diperlukan segera pengeringan dalam waktu tidak melebihi 1x24 jam. Jika tidak, aflatoksin akan langsung menyerang hingga membuat jagung berjamur dan berubah warna menjadi hitam. Jika sudah demikian, jagung tersebut sudah dapat dikategorikan rusak.

“Ya contohnya itu produksi banyak, tapi tidak cocok dengan pabrik pakan. Itu berarti rusak kan dia,” ujarnya.

Bagaimanapun, jagung untuk pakan memiliki beberapa kritera kualitas yang harus dipenuhi, yang tercantum dalam SNI. Di antaranya kadar air maksimal 14% dan perubahan warna dari waktu panen maksimal hanya 5%. Harus dipastikan juga jagung-jagung guna pakan tersebut cuma mengandung aflatoksin maksimal 50 ppb dan okratoksin 5 ppb. (https://asosiasi-gpmt.blogspot.co.id/p/bahan-pakan.html)

 

 

Ketiadaan Alat Pengering
Bicara soal swasembada tentu tidak semata-mata peihal angka-angka produksi. Yang tidak kalah penting adalah infrastruktur pendukung sehingga petani maupun konsumen tidak perlu lagi berteriak karena kelangkaan atau harga yang tinggi. Hal ini berhubungan dengan gudang-gudang penyimpanan maupun pengeringan yang sangat minim di sentra-sentra produksi jagung nusantarara.

"Saya baru panen dari Lebak, tidak ada pengering di sana. Saya baru panen dari Sumbawa, sepengamatan saya, tidak ada pengering di sana. Jadi, memang hanya mengandalkan penjemuran mathari,” ucapnya.

Hal ini diakibatkan dari fokus pemerintah yang lebih mengarah kepada angka produksi. Kualitas pun menjadi prioritas nomor sekian. Bagi Maxdeyul meskipun secara target swasembada dapat tercapai, masalah sesuai atau tidaknya komoditas tersebut untuk industri belum dapat dipastikan dan justru cenderung tidak dapat memenuhi kebutuhan industri pakan. Untuk itu, pemerintah perlu juga mulai memikirkan bantuan penyediaan alat pengering guna meningkatkan kualitas produksi yang ada.

“Ya, memang kalau berbicara dari bisnis itu kalau mau mengembangkan produksi harus diikuti dengan penyiapan alat-alat pengering. Jadi, nggak bisa disuruh tanam tanpa menyertakan alat pengering. Itu yang kurang,” Maxdeyul menyimpulkan.

Perusahaan makanan ternak sebagai konsumen tentu berkaitan langsung dengan kualitas jagung dari petani. Ketua Gabungan Perusahaan Makanan Ternak (GPMT) Desianto Budi Utomo secara gamblang menyebut bahwa hingga saat ini tidak ada Gudang pengeringan yang menyebabkan kualitas jagung petani buruk.

Untuk menyiasati minimnya infrasruktur tersebut, langkah yang dilakukan pengusaha-pengusaha makanan ternak selama ini adalah dengan cara panen bergilir sehingga tidak terjadi kelembaban yang berlebihan terhadap jagung yang menumpuk.

“Tidak pada satu kesempatan panen bareng padahal pengeringnya tidak ada. Kemudian dibuatkan lantai jemur, atau dengan terpal, supaya bisa membantu mengeringkan hingga 20% atau di bawah 20%,” jelas Desianto.

Namun bagi pabrik pakan yang memiliki corn drying system (sistem pengeringan) sedikit lebih menguntungkan. Meski demikian kata Desianto kapasitas kemampuan alat pengering juga menjadi kendala.  

“Artinya gini, kapasitas dryer itu maksimum 1.500 ton. Bisa drying up sampai 3 shift. Nah kalau antrian panjang pada waktu panen serentak, itu bisa sampai 2.000-2.200 ribu ton, sedangkan kapasitas hanya 1.500 ton, akhirnya sisanya ditolak. Akhirnya muncul isu di koran, bahwa pada waktu panen raya pabrik pakan tidak mau menerima jagung rakyat. padahal fasilitas tidak memungkinkan,” tutur Desianto

“Kalau menunggu 2-3 hari di dalam truk dalam kondisi basah, kan itu juga tumbuh jamur. Terpaksa kita tolak, karena kadar airnya masih 28-30%. Itu sangat mudah sekali tumbuh jamur karena panas dan ada air di situ,” imbuhnya.

Pokok permasalahan kualitas jagung menurut Desianto memang di fasilitas pengeringannya. Lantah berapa banyak sistem pengering yang dibutuhkan di sentra-sentra produksi. Hal itu menurut Desianto sangat bergantung pada kapasitas alat pengeringnya sendiri. Pada umumnya kapasitas pengiring yang dimiliki pabrik mencapai 500-1.500 ton per hari.

Ke Gudang Penyimpanan
Tidak hanya masalah pengeringan, masalah penyimpanan pun menjadi problematika tersendiri. Hal ini diakui sendiri oleh Bulog. Hingga saat ini kata Direktur Komersial Bulog, Febriyanto, pihaknya memang belum memiliki silo (gudang) yang merupakan gudang khusus untuk penyimpanan jagung.

Jagung-jagung dari petani pun tak ayal diletakkan di mana saja begitu dipanen sehingga membuat kadar airnya tidak kunjung berkurang, justru dapat memicu jamur kian berkembang.

Kondisi ketiadaan silo pun membuat Bulog tidak mampu menyerap jagung dalam petani dalam jumlah besar. Di sinilah Bulog justru terlihat hanya sebagai perantara petani dengan konsumen jagung yang sebagian besar adalah para pengusaha industri pakan.

“Masalah silo, pengeringan, dryer, itu kan kita nggak punya sehingga kalau kami simpan jagung lama-lama untuk stok, nanti jagungnya cepat rusak. Makanya kalau dalam jagung itu, kami biasanya beli langsung dijual lagi, nggak disimpan lama-lama karena takut rusak,” tutur Febriyanto kepada Validnews.

Untuk permasalahan ini, sebenarnya pemerintah telah bekerja sama dengan Gabungan Perusahaan Makanan Ternak (GPMT) guna menyediakan pergudangan di sekitar lahan-lahan panen, terutama di kawasan pengembangan budi daya jagung nasional.

Bulog pun mengakui bahwa masalah pergudangan untuk jagung menjadi salah satu fokus mereka saat ini. Apalagi pada tahun 2017, BUMN tersebut baru mendapatkan penyertaan modal negara senilai Rp2 triliun. Hanya saja, kembali masalah infrstruktur berbiaya mahal ini memerlukan proses yang cukup lama.

Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB) Prof Dwi Andreas memandang wacana swasembada jagung yang didengungkan Kementan tidak terencana dan instan. Andreas menyayangkan pemahaman swasembada hanya mengacu pada angka-angka produksi.

“Kan nggak mungkin juga dalam tempo cepat melakukan investasi untuk pergudangan, apalagi silo. Mereka juga berhitung dari situ. Bulog juga nggak mungkin dalam tempo sangat cepat kemudian mendirikan silo di mana-mana, nggak mungkin juga,” tukas Andres.(Fin Harini, Teodora Nirmala Fau)

 


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar