c

Selamat

Senin, 17 November 2025

EKONOMI

10 Desember 2020

20:26 WIB

Beban Ganda Anggaran Pemda

Setelah berkuasa dan anggaran tersedia, kepala daerah malah kerap ragu merealisasi janji-janji

Editor: Agung Muhammad Fatwa

Beban Ganda Anggaran Pemda
Beban Ganda Anggaran Pemda
Ilustrasi uang. (ANTARA/Ardika/am).

JAKARTA – Persoalan anggaran jelas krusial. Apalagi untuk urusan pembangunan baik di daerah maupun pusat. Pada penghujung tahun anggaran 2020 yang tersisa beberapa hari lagi, masalah ini kembali mengemuka.

Hal yang menjadi soal adalah rendahnya belanja anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD). Ditjen Bina Keuangan Daerah mencatat, per 30 November, hanya Sumatra Barat, Jawa Tengah, dan Gorontalo yang telah merealisasikan belanja daerah melampaui rata-rata APBN, yakni 78,86%. 

Sementara, realisasi belanja APBD 23 provinsi lainnya berada di kisaran 65–78%. Malah ada delapan provinsi yang realisasi belanjanya di bawah 64%.

Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menyebutkan, salah satu musabab, adalah tak beredarnya uang pemda ke masyarakat melalui kegiatan atau program daerah. Miris. Anggaran tersedia malah disimpan.

"Ternyata, ada beberapa provinsi dan kabupaten/kota yang kalau ditotal itu disimpan di bank (per 30 September 2020) sebanyak Rp252,78 triliun," ungkap Tito dalam rapat koordinasi nasional pengendalian inflasi 2020 secara daring, Kamis (22/10). 

Padahal, seharusnya dana tersebut digunakan untuk melaksanakan program daerah yang bermanfaat bagi kepentingan masyarakat secara optimal. Ini menjadi paradoks. Jika mengingat masa-masa kampanye pilkada, para calon kepala daerah yang kini telah menjabat sebagai gubernur, bupati, walikota, dan sebagainya, dulu bersemangat membeberkan berderet program kerja dan menjanjikan ini itu kepada masyarakat. Setelah berkuasa, anggaran tersedia tak jadi realisasi janji-janji.

Kemendagri juga mencatat, Jawa Timur adalah daerah yang paling banyak memiliki simpanan di bank, yakni sebesar Rp27,26 triliun. Kemudian, disusul Jawa Barat sebanyak Rp21,67 triliun dan Jawa Tengah Rp21,12 triliun. Sementara, simpanan di bank yang terendah dimiliki Gorontalo, yakni hanya Rp1,34 triliun.

Memang, ujar Tito, uang tersebut tetap beredar. Tetapi melalui kredit bank kepada sejumlah pengusaha tertentu. "Saya tidak mengerti apa ada pengusaha kecil menengah juga yang diberikan prioritas (oleh bank)," katanya.

Dirjen Bina Keuangan Daerah Kemendagri, Mochamad Ardian Novianto menguraikan bahwa dana APBD pemda yang masih di bank tersebut merupakan uang kas pemerintah daerah yang ada di bank umum. “Bisa dikatakan belum digunakan,” ucap Ardian kepada Validnews di Jakarta, Rabu (9/12).

Ya, pemda memang terpantau membelanjakan uangnya. Seperti yang disampaikan Corporate Secretary BRI, Aestika Oryza Gunarto bahwa pihaknya melihat terdapat perubahan simpanan dana pemda di BRI. Selama masa pandemi covid-19, simpanan dana pemda tercatat lebih rendah dibandingkan dengan sebelum pagebluk. 

"Hal ini menunjukkan adanya peningkatan belanja pemda menjelang akhir tahun 2020," katanya kepada Validnews melalui pesan singkat, Selasa (8/12).

Sebagai perbandingan, posisi dana pemda secara nasional pada akhir September 2020 di BRI tercatat mencapai Rp4,8 triliun. Jumlah itu mengalami penurunan sebesar 5,8%, apabila dibandingkan dengan posisi akhir Maret 2020. Validnews berupaya mencari konfirmasi ihwal dana pemda kepada perbankan BUMN lain, namun Bank Mandiri, BNI, dan BTN enggan memberikan keterangan. 

Meski terjadi perubahan pola penyimpanan dana, penilaiannya, tren perubahan simpanan dana akhir 2020 dibandingkan akhir 2019 tidak mengalami perubahan drastis. "(Memang) terjadi perubahan penyimpanannya, namun tidak signifikan," ujar Gunarto.

Selanjutnya, Gunarto enggan memberikan pernyataan lebih lanjut ketika ditanya berkaitan besaran bunga simpanan deposito pemda di BRI. Namun, sejauh ini, suku bunga dana pemda di salah satu bank Himbara ini mengikuti ketentuan weighted average rate maksimal capping Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada kategori Bank Buku-IV.

Sebagai informasi, OJK pernah mengeluarkan kebijakan supervisi terkait penetapan batas atas suku bunga deposito yang berlaku pada Maret 2016.  Untuk kategori Bank Buku-IV batas atas atau capping suku bunga deposito, ditetapkan sebesar 75 bps di atas BI Rate.

Jika demikian, setidaknya suku bunga deposito BRI berada di kisaran 4,5%, dengan acuan BI7DRR per November 2020 sebesar 3,75%. "Untuk kisaran suku bunganya bervariasi sampai dengan maksimal capping berdasarkan kondisi kebutuhan likuiditas BRI," jelasnya.

Percepat Belanja Daerah
Lewat anggaran, sejatinya pemerintah pusat meminta pemerintah daerah untuk membangun, dan merealisasi belanja. Tujuannya, untuk membantu mempercepat pemulihan ekonomi, khususnya di daerah-daerah terdampak pagebluk. Menurut catatan Kementerian Keuangan, masih ada sisa anggaran sekitar Rp400 triliun dari total belanja APBD Nasional senilai Rp1.080,71 triliun yang belum dibelanjakan pemerintah daerah. Seruan untuk membelanjakan anggaran berkali dilakukan.

“Kami juga mengimbau teman-teman di daerah untuk segera melakukan percepatan dari belanja APBD-nya,” kata Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan, Astera Primanto Bhakti dalam Kemenkeu Corpu Talk Ep. 21: Percepat Pemulihan Sosial Ekonomi, Belanja TKDD 2021 Prioritas Nasional, Selasa (24/11).

Meski demikian, Prima menggarisbawahi bahwa mempercepat realisasi belanja daerah, tentunya tetap dilakukan dengan berkualitas. Dia pun melihat dana daerah yang ada di perbankan masih cukup besar. Dia mencatat, sekitar Rp247 triliun dana pemerintah daerah masih disimpan.

Prima mengakui, biasanya tren dana daerah yang ada di perbankan akan turun pada November dan Desember. Walau begitu, dia bilang pada akhir tahun, dana daerah yang masih terparkir di bank sekitar Rp100-an triliun.

“Jadi ini PR (pekerjaan rumah .red) saya rasa buat kita semua, terutama untuk daerah,” ujarnya.

Prima pun berharap pemerintah daerah untuk dapat mengedepankan sinergitas yang baik antara pusat dan daerah, masyarakat, dan dunia usaha. Jadi, kualitas belanja daerah dapat ditingkatkan dan dapat mendorong ekonomi daerah meningkat lebih baik.

Soal anggaran ini, Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) mengeluarkan riset berjudul “Realokasi Anggaran, Refocusing Program: Studi Terhadap Sejumlah Kabupaten/Kota dan Provinsi” pada November lalu. Riset tersebut masih mencatat, bahkan di masa pandemi yang mestinya 35% dana sudah sangat jelas diperuntukkan bagi penanggulangan covid-19 pun belum terserap optimal.

Padahal selama masa pandemi, Menkeu menerapkan sanksi atas daerah-daerah yang tidak memenuhi batas minimal realokasi anggaran (35%). Jadi, sanksi masih berkisar pada tahap realokasi. Sementara sanksi terhadap daerah yang secara umum daya serap anggarannya rendah, hingga saat ini belum ada.

Polemik Sanksi
Dari kacamata regulasi, menurut pengakuan Ardian, memang tidak ada ketentuan yang memberikan hukuman atas realisasi belanja daerahnya rendah. Hingga kini, belum ada instrumen yang dapat memberikan efek jera kepada pemda yang lamban merealisasikan program.

Salah satu cara ‘menekan’ pemda, adalah dengan mengekspose realisasi APBD setiap daerah. Dengan ekspose ini, diharapkan dapat membuat masyarakat melihat dan menilai sendiri kinerja pemdanya. Setidaknya, diharapkan membuat kepala daerah mikir. Salah satu tindakan tegas dalam mendorong daerah-daerah yang penyerapannya masih rendah, adalah melalui surat teguran yang biasanya dilayangkan tiap awal tahun.

"Dengan diekspose oleh Pak Mendagri mengenai kinerja realisasi, masyarakat bisa melihat kinerja kepala daerahnya (ada sanksi sosial yang muncul dari masyarakat). Jadi, malulah,” ungkapnya.

Ardian menambahkan, alangkah lebih baik kalau pengelolaan APBD tidak hanya diawasi oleh penegak hukum. Masyarakat bisa mengawasi langsung.  

Namun Direktur Eksekutif KPPOD, Robert Endi Jaweng berpendapat lain. Dia mengatakan bahwa sanksi yang diberikan itu bisa terdiri dari dua, yakni sanksi administratif dan sanksi fiskal.

Sanksi administratif berupa teguran tertulis sebanyak dua kali. Kemudian kalau daya serap masih rendah, maka kepala daerah dipanggil ke Jakarta dengan apapun caranya, untuk mengetahui apa yang menghambat serapan anggaran. 

Sementara, sanksi fiskal adalah transfer berbasis kinerja. Artinya, kalau daya serapnya rendah, berarti uangnya masih tersisa banyak. Maka transfer pada tahun anggaran berikutnya bisa dikurangi atau ditahan sampai daerah membelanjakan anggaran yang ada.

Sanksi fiskal diyakini cukup ampuh membuat pemda kapok dan mampu melecut kepala daerah untuk lebih serius menjalankan kewajibannya mengurus masyarakat dan daerahnya masing-masing, juga merealisasikan program yang dulu pernah disusun saat kampanye pilkada.

Faktor Penyebab
Soal penyebab rendahnya belanja, Dirjen Bina Keuangan Daerah Kemendagri Mochamad Ardian Noervianto membeberkan banyak faktor penyebab. Salah satunya adalah banyak kegiatan dan tagihan belum masuk yang sifatnya kontraktual. Ada juga belanja-belanja rutin yang harus dilakukan sesuai waktu. Jadi, semua pengeluaran masih menunggu tagihan masuk.

Selain itu, terkadang realisasi belanja tak maksimal bukan karena anggaran tidak digunakan secara optimal, melainkan karena efisiensi ataupun kegagalan kontrak proyek. Atau, misalnya ketika kontrak gagal, pemerintah pusat lalu mengirimkan dana transfer pada penghujung tahun, seperti dana bagi hasil (DBH). Dana yang mulanya sudah terserap maksimal, tiba-tiba terkesan rendah karena ada transfer uang baru, padahal sebetulnya sudah dibelanjakan.

Di luar faktor administratif, pandemi yang berlangsung hampir setahun juga turut memperlambat kegiatan proyek yang dibiayai oleh pemda. 

Namun, Robert Endi Jaweng menyebutkan, ada tiga problem miss-management anggaran di Indonesia sejak 2001. Ini di luar yang disebutkan Ardian Noervianto. Pertama, soal proporsi anggaran yang lebih banyak dialokasikan untuk birokrasi ketimbang belanja publik. Kedua, kualitas pelaporan, dan ketiga adalah daya serap anggaran yang tidak optimal. Daya serap anggaran inilah yang telah menjadi masalah klasik sejak 2001. Kerangka masalahnya pun selalu klasik, yakni masalah politik, hukum, dan teknis.

"Masalah politik itu terjadi biasanya antara kepala daerah dengan DPD-nya tidak pernah akur, proses pembahasan APBD-nya itu lama, dan ujungnya nanti daya serap anggaran juga rendah, karena kurun waktu pelaksanaan jadi sempit," ungkapnya saat dihubungi Validnews, Selasa (8/12).

Sementara masalah hukum adalah soal kerangka regulasi yang belum sepenuhnya bisa dipahami secara jelas, yang bahkan pada tingkat tertentu membingungkan pemda. Apalagi kalau sudah menyangkut alokasi untuk item yang strategis. Biasanya, ada perbedaan panduan antara Kemendagri dan kementerian sektor terkait, baik dasar atau kerangka hukumnya.

Selanjutnya, masalah teknis. Pada masa pandemi ini, petunjuk teknis tak ubahnya basis data terpadu. Misalnya dalam hal pengalokasian dana bansos.

Kemudian, selama ini salah satu faktor yang membantu daya serap anggaran daerah cukup optimal adalah belanja langsung. Yakni belanja terkait di lapangan, bahkan juga terkait perilaku birokrasi itu sendiri. Misalnya untuk perjalanan dinas, rapat di luar kota, dan lain-lain.

Nah, pada masa pandemi, kegiatan-kegiatan itu tidak bisa dilakukan. Begitu pula dengan belanja langsung untuk kegiatan atau proyek di lapangan. Jangankan pemda, pihak ketiga pun rasanya agak takut bekerja lapangan di masa pandemi. Banyak pelaku usaha yang mengkhawatirkan aspek keamanan, keselamatan, dan kesehatan.

Ekonom Universitas Surakarta, Agus Trihatmoko punya persepsi lain. Dia menuturkan bahwa APBD yang serapannya terlambat itu dikarenakan waktu perencanaan awal yang kurang tepat. Saat merencanakan, pemda biasanya sudah mengira-ngira untuk apa saja anggaran bakal dialokasikan, namun tidak disusun secara detail. Bisa jadi perencanaan tak didasari riset lapangan terlebih dahulu. 

Terkait transfer daerah yang mengendap di bank, Agus menilai pembelanjaan dana hanyalah sistem birokrasi, sehingga ada kehendak atau kepentingan tertentu yang melandasinya. Alasan lain APBD lambat terserap di daerah juga dipengaruhi tarik ulur kepentingan politik dan bisnis.

APBD Terserap Optimal
Lantas, bagaimana agar APBD dapat terserap secara optimal?

Dari sisi pemerintah, Ardian meminta pemda untuk kembali mengevaluasi kegiatan-kegiatan yang sifatnya kontraktual. Apabila pembayaran dilakukan secara kontraktual melalui tiga termin/tahapan pembayaran, maka pemda mesti menggerakkan pihak ketiga untuk mengajukan pencairan tiap tahap.

Dia juga mendorong pemerintah daerah mendesain rencana pengeluaran. Jika pemda sudah menyusun rencana arus kas ternyata masih bersisa, sisa anggaran tersebut mesti segera dibelanjakan untuk masalah penanganan covid-19, baik untuk sektor kesehatan, dampak ekonomi, maupun jaring pengaman sosial.

Melalui Instruksi Menteri Dalam Negeri, mekanisme belanja tidak lagi memerlukan persetujuan dari DPRD. Belanja bisa dilakukan cukup dengan pemberitahuan karena sifatnya darurat dan harus segera dilakukan.

Terhadap carut-marut penyerapan anggaran, Direktur Eksekutif Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi), Sarman Simanjorang tak mau berpolemik panjang. Dia mengatakan, Apkasi mendorong pemerintah kabupaten untuk segera mengakselerasi belanja daerah.

Ke depan, Apkasi bersama Kemendagri dan stakeholders terkait, berencana untuk menjalankan program pembentukan Badan Layanan Usaha Daerah (BLUD). Penyusunan program ini dilandasi agenda reformasi di bidang keuangan negara, dari penganggaran tradisional menjadi penganggaran berbasis kinerja.

“Dengan berbasis kinerja ini, arah penggunaan dana pemerintah tidak lagi berorientasi pada input tetapi pada output,” tutup Sarman. (Fitriana Monica Sari, Rheza Alfian, Khairul Kahfi, Zsazya Senorita, Yoseph Krishna)


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar