c

Selamat

Kamis, 28 Maret 2024

EKONOMI

08 Agustus 2018

17:24 WIB

Bappenas: Haluan Negara Diperlukan Untuk Jaga Kesinambungan

Pasca GBHN, agenda pembangunan nasional ditentukan lewat UU dan RPJP Nasional lima tahunan. Konsekuensinya, bila kinerja pemerintah tidak sesuai rencana, tidak ada sanksi yuridis karena secara politis RPJM Nasional merupakan produk presiden

Editor: Agung Muhammad Fatwa

Bappenas: Haluan Negara Diperlukan Untuk Jaga Kesinambungan
Bappenas: Haluan Negara Diperlukan Untuk Jaga Kesinambungan
Menteri PPN/Kepala Bappenas, Bambang Brodjonegoro. ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan

JAKARTA Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro menilai haluan negara yang dulu dikenal Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) diperlukan. Terutama diperlukan untuk menjaga kesinambungan.

"Haluan negara intinya hanya bagaimana agar UU RPJP, yang sudah ada sampai 2025 dan nanti yang baru itu bisa jadi pedoman yang lebih mengikat kepada setiap pemerintahan yang akan ada, supaya menjaga kesinambungan termasuk urusan sustabinable development ini," ujar Bambang di Kantor Bappenas, Jakarta, Rabu (8/8).

Menurut Bambang, pembangunan tidak bisa diselesaikan hanya dalam waktu lima tahun pemerintahan dan harus berkelanjutan sehingga perlu memiliki payung hukum. "Nah payungnya itu yang kita butuhkan dari UU RPJP. Saya tidak bicara haluan negara karena itu kan ranah politik tapi kita ingin RPJP itu benar-benar dipatuhi dan diikuti oleh pemerintahan dalam periode tersebut," kata Bambang.

Saat ini, berdasarkan UU No 17 tahun 2007 masih berlaku Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) untuk 2005-2025. Dalam RPJP 2025-2045 yang baru nanti, lanjut Bambang, diharapkan terkait haluan negara tersebut dapat diperkuat di dalamnya.

"Tinggal mungkin nanti yang baru kita harus perkuat, apakah wording dalam UU-nya, atau kah bagaimana supaya visi misi setiap presiden terpilih selalu in-line dengan RPJP," tuturnya.

Dahulu, GBHN merupakan bagian dari produk politik hukum, Namun secara politis GBHN difungsikan juga sebagai sarana kontrol sosial untuk pemerintahan. Setelah GBHN dihapus, agenda rencana pembangunan nasional ditentukan lewat UU dan RPJP Nasional dimana rencana lima tahun (RPJMN) ditetapkan melalui Peraturan Presiden (Perpres).

Konsekuensinya, bila kinerja pemerintah tidak sesuai dengan rencana pembangunan, tidak ada sanksi yuridis yang jelas karena secara politis RPJM Nasional merupakan produk presiden. Perbedaan antara GBHN dengan RPJP Nasional sendiri yaitu, GBHN berstatus sebagai TAP MPR karena diproduk oleh MPR yang saat itu berkedudukan sebagai lembaga tertinggi negara, sementara RPJPN berstatus sebagai UU karena diproduk oleh DPR bersama Presiden.

 

 

Model Terbaik
Sebelumnya, Sekretaris Jenderal MPR Ma’ruf Cahyono, mengatakan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) pada masa sebelum perubahan UUD 1945 adalah model terbaik dari dokumen hukum haluan negara yang selama ini diterapkan, karena itu MPR dapat merekonstruksi model GBHN ini untuk diatur dalam UUD 1945.

Hal tersebut dia sampaikan dalam disertasi yang dipertahankan dalam promosi ujian terbuka jenjang Strata Tiga (S3) Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Jayabaya, di Jakarta, Selasa (7/8).

Ia mempertahankan disertasi yang berjudul “Haluan Negara Sebagai Dasar Pertanggungjawaban Presiden dalam Penyelenggaraan Kekuasaan Pemerintahan Berdasar Prinsip Negara Demokrasi Konstitusional” dalam ujian terbuka yang dipimpin Rektor Universitas Jayabaya, Prof H Amir Santoso MSoc PhD. Menurut Cahyono, MPR memiliki kewenangan konstitusional untuk mengubah UUD NRI Tahun 1945 berdasarkan Pasal 37 UUD 1945.

“Oleh karena itu, diperlukan kemauan politik MPR untuk melakukan perubahan UUD NRI Tahun 1945. Untuk dapat menerapkan GBHN sebagai model haluan negara maka UUD NRI Tahun 1945 harus diubah atau diamandemen secara terbatas,” katanya seperti dilansir Antara.

Ma'ruf menjelaskan, dalam amandemen UUD NRI Tahun 1945 ini perlu ada pengaturan posisi MPR sebagai lembaga negara yang memiliki kewenangan menyusun dan menetapkan GBHN serta memberi mandat (GBHN) dan meminta pertanggungjawaban kepada presiden (sebagai mandataris MPR) atas pelaksanaan haluan negara itu.

Selain merekonstruksi model GBHN dan memberi kewenangan kepada MPR, dia juga mengatakan perlu memberikan kewenangan kepada DPR untuk menjalankan fungsi pengawasan atas pelaksanaan haluan negara yang dijalankan oleh presiden.

“Juga perlu memberikan kewenangan kepada Mahkamah Konstitusi untuk menjalankan fungsi mengadili presiden atas pelaksanaan haluan negara,” ucapnya.  

Ia menguraikan pertanggungjawaban merupakan hal yang penting. Kedaulatan rakyat menuntut prinsip agar setiap tindakan pemerintah harus berdasarkan kemauan rakyat, harus dapat dipertanggungjawabkan oleh pemerintah kepada rakyat melalui wakil-wakilnya yang duduk di lembaga perwakilan rakyat.

“Pertanggungjawaban merupakan salah satu syarat bagi tegaknya demokrasi di dalam penyelenggaraan pemerintahan suatu negara,” imbuhnya.

Ia juga menegaskan perlunya prinsip pertanggungjawaban presiden dalam pelaksanaan haluan negara untuk mewujudkan pemerintahan negara yang demokratis dan konstitusional. Karena itu perlu penataan ulang hubungan tata kerja MPR dan presiden dalam pelaksanaan prinsip pertanggungjawaban untuk mewujudkan pemerintahan yang demokratis dan konstitusional.

Ekonomi Hijau
Bambang melanjutkan, Bappenas sejatinya ingin Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 sudah mengadopsi konsep ekonomi hijau, terutama dalam pembangunan rendah karbon.

"Jadi ide kita, PPRK ini adalah dalam rangka penyiapan RPJMN 2020-2024 untuk pemerintah yang akan datang, kita akan berupaya maksimal agar RPJMN itu sudah lebih mengadopsi green growth. Jadi inisiatif ini kita harapkan jadi bagian integral yang sudah masuk dalam RPJMN itu sendiri," ujar Bambang

Ke depan, lanjut Bambang, ia mengharapkan tidak akan lagi ada isu mana yang harus diprioritaskan antara pertumbuhan ekonomi atau mengutamakan lingkungan hidup.

"Kita ingin pertumbuhan ekonomi tercapai, pengentasan kemiskinan membaik, tapi pada saat yang sama tidak mengorbankan lingkungan hidup dan kalau bisa lingkungan hidupnya juga dalam kondisi yang membaik," lanjutnya.

Dalam rangka menyukseskan pembangunan rendah karbon di Indonesia, Bappenas menjalin kerja sama dengan mitra-mitra pembangunan. Tidak hanya berkolaborasi dengan Pemerintah Jerman, Inggris, Norwegia, Denmark, dan Jepang, PPRK Indonesia yang dipimpin oleh Bappenas juga mendapat dukungan dari berbagai organisasi internasional, lembaga riset, dan sektor swasta.

Diantaranya International Institute for Applied Systems Analysis (IIASA), New Climate Economy, WRI Indonesia, Global Green Growth Institute (GGGI), World Agroforestry Centre, ESP3 DANIDA Environmental Support Programme, System Dynamics Bandung Bootcamp, dan Sarana Primadata.

Disamping itu, Kemitraan PPRK Indonesia juga mengajak tiga tokoh pembangunan nasional dan internasional untuk berperan sebagai Duta Pembangunan Rendah Karbon Indonesia, yaitu Wakil Presiden RI Periode 2009-2014 Boediono, Mari Elka Pangestu, dan Lord Nicholas Stern.

Menurut Wakil Presiden RI ke-11 sekaligus Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada, Boediono, pembangunan berkelanjutan adalah tugas bersama. "Melaksanakan pembangunan berkelanjutan adalah tanggung jawab bersama, generasi sekarang kepada generasi mendatang. Semua pemangku kepentingan harus bersinergi dan bekerja sama," kata Boediono.

Sektor publik harus satu visi, yaitu kebijakan antar kementerian/lembaga dan antara pusat dan daerah harus sinkron. Dunia usaha harus membangun mata rantai pasok yang ramah lingkungan, berkelanjutan, efisien energi, dan rendah emisi.

"Masyarakat, sebagai warga negara dan sebagai konsumen, harus aktif mengawasi pemerintah dan bisnis. Jangan sampai nantinya kita dicap sebagai generasi yang alpa akan tanggung jawab sejarahnya," ujar Boediono.

Adapun Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif RI ke-13 dan Menteri Perdagangan RI ke-30, Mari Elka Pangestu berpendapat, untuk menjalankan pembangunan rendah karbon di Indonesia membutuhkan dana yang besar. Menurutnya, tidak akan cukup apabila mengandalkan anggaran pemerintah saja.

Pembangunan rendah karbon. Imbuhnya, juga harus diiringi dengan penguatan dan peningkatan investasi dari berbagai pihak. Lembaga keuangan, dana investasi, swasta, dan organisasi di bidang pendanaan iklim dapat ikut serta bersama-sama, menyajikan, dan menggerakkan modal, informasi, insentif, dan fasilitas untuk pembangunan infrastruktur dan pengembangan teknologi yang efisien dan berkelanjutan.

"Pemerintah perlu mengembangkan skema-skema investasi baru yang didukung kebijakan yang menciptakan kepastian investasi rendah karbon dalam jangka panjang. Termasuk sistem insentif dan disinsentif yang tepat, untuk menggalakkan investasi yang menunjang pembangunan rendah karbon yang nyata dan berdampak luas," ujar Mari.

 

Aktivis Greenpeace bersama sejumlah relawan membentangkan banner sebagai bentuk kampanye mencegah terjadinya kembali kebakaran hutan yg menimpa wilayah lahan gambut di Desa Paduran, Pulang Pisau, Kalimantan Tengah, Kamis (3/12). ANTARA FOTO/Greenpeace/Ulet Ifansasti/pras/15.

Hingga saat ini, pembangunan Indonesia menunjukkan kemajuan yang signifikan, yakni di atas 5% pada 2016 dan 2017. Namun, kemampuan sumber daya alam kita terus menurun akibat beragam tekanan, seperti urbanisasi, limbah dan pencemaran udara, cuaca ekstrem, dan kebakaran hutan dan lahan.

Kualitas keanekaragaman hayati kita pun menurun. Tentunya pertumbuhan ekonomi tidak dapat dipertahankan apabila kita mengabaikan kemampuan sumber daya alam dan mutu lingkungan.

"Pembangunan rendah karbon adalah kisah pembangunan berkelanjutan dan inklusif di abad ke-21. Banyak kesempatan besar bagi Indonesia, dan Indonesia menjadi contoh yang baik dengan menerapkan pembangunan rendah karbon," ujar Lord Nicholas Stern, Komisioner Pembangunan Rendah Karbon Indonesia, co-chair Komisi Global untuk Ekonomi dan Iklim, sekaligus Profesor Ekonomi dan Pemerintahan di LSE.

Kemitraan PPRK merupakan tindak lanjut dari Inisiatif PPRK Indonesia yang diluncurkan pada Konferensi PBB untuk Perubahan Iklim (COP 23 UNFCCC) tahun 2017 di Bonn, Jerman.

Inisiatif tersebut berisi strategi dan pendekatan penyusunan kebijakan terkait pertumbuhan ekonomi, pengentasan kemiskinan, serta pengurangan emisi Gas Rumah Kaca (GRK). Berbasis sains dan ilmu pengetahuan, hasil kemitraan ini diharapkan dapat menjadi panduan penyusunan 2 PPRK Indonesia berlandaskan pada Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS), yaitu rangkaian analisis dan pemodelan sistematis, komprehensif, dan partisipatif yang mengintegrasikan prinsip pembangunan berkelanjutan dalam kebijakan dan pelaksanaan pembangunan.

KLHS dilakukan dengan pendekatan pemodelan dinamika sistem untuk mengevaluasi dampak kebijakan, rencana, dan program terhadap indikator sosial, ekonomi, dan lingkungan. Kajian ini juga menangkap informasi spasial untuk menganalisis batas-batas biofisik perencanaan pembangunan.

Hasil dari KLHS akan melahirkan skenario kebijakan lintas sektor guna mencari pilihan-pilihan kebijakan yang dapat mencapai target pembangunan, mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan, dan menjamin pelaksanaan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi secara berkesinambungan.

KLHS ini juga akan dilengkapi dengan pemodelan investasi untuk menunjukkan angka kebutuhan dan kesenjangan dana pembangunan untuk sektor-sektor seperti energi, kehutanan, dan perikanan, sehingga pemerintah dapat menggalakkan mobilisasi investasi pembiayaan pembangunan rendah karbon secara masif. (Faisal Rachman) 


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentar Login atau Daftar





TERPOPULER