20 Maret 2024
11:54 WIB
Penulis: Erlinda Puspita
JAKARTA - Asosiasi ritel dan ekosistem mengaku mendukung Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 36 Tahun 2023 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor yang kemudian direvisi menjadi Permendag Nomor 3 Tahun 2024.
Meski demikian, menurut Anggota Koordinasi Asosiasi Ekosistem sekaligus Ketua Umum Himpunan Peritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo) Budihardjo Iduansjah, pemerintah perlu memberantas dengan tegas impor ilegal termasuk fenomena jasa titipan (jastip) secara massal dari luar negeri.
Budi mengakui, Permendag 36/2023 yang bertujuan melindungi produk dalam negeri, seperti UMKM dan industri yang bahan bakunya bisa terpenuhi di dalam negeri memang baik. Bahkan pihaknya bersama sepuluh asosiasi yang tergabung sangat mendukung tujuan tersebut. Namun, dia menyayangkan bahwa permendag tersebut belum memiliki aturan teknis pelaksanaannya (pertek) yang memberikan kepastian hukum bagi pelaku usaha.
“Kepastian dan kejelasan mekanisme dan prosedur penghitungan pemberian izin sangat diperlukan untuk melindungi pelaku usaha. Sehingga menurut kami, permendag ini bisa ditunda hingga sudah siap,” ujar Budi dalam konferensi pers Berantas Produk Impor Termasuk Jastip di Sarinah, Jakarta, Selasa (19/3).
Dia juga menyampaikan, seharusnya pemerintah bisa memprioritaskan lebih dulu terhadap pengawasan importasi ilegal yang terjadi melewati pelabuhan dan fenomena jastip dengan kargo udara dan laut.
Alasannya, impor ilegal dan jastip tersebut justru mengancam supplier resmi dan produk dalam negeri. Padahal supplier resmi dan produk dalam negeri tersebut telah membayar pajak, sedangkan produk impor ilegal dan jastip justru tidak membayar pajak dan terancam merugikan negara.
Tak hanya itu, Budi juga menyoroti agar pemerintah bisa lebih jelas dalam memberikan pelarangan bagi wisatawan dalam maupun luar negeri yang masuk membawa produk luar negeri. Menurutnya jika wisatawan yang masuk dengan membawa barang sebagai buah tangan atau oleh-oleh, seharusnya hal tersebut jangan dilarang. Sedangkan, wisatawan yang kedapatan membawa produk secara massal, barulah itu yang ditindak.
“Kami mendukung Permendag ini, tetapi untuk mengatur yang jastip, yang open Pre-Order (PO). Sehingga ada orang-orang dari luar negeri yang masuk membawa pakaian berkilo-kilogram, bertas-tas. Nah itu yang mematikan teman-teman supplier semua, yang jual di departemen store enggak ada yang mau beli,” ujarnya.
Dia juga meminta agar Bea Cukai sebagai pihak yang melakukan pemeriksaan di bandara, bisa lebih bijak dalam mengecek dan mengklasifikasikan barang yang bisa masuk dan tidak.
“Untuk yang oleh-oleh harusnya jangan dilarang. Kami mengingatkan agar disosialisasikan kepada masyarakat umum. Petugas di bandara yang bertugas tentunya wajib bersikap sopan dalam melakukan pemeriksaan dan juga dilakukan SOP yang jelas. Bandara bagaimanapun juga menjadi pintu masuk sekaligus mencerminkan wajah Indonesia di global,” kata Budi.
Perwakilan Persatuan Perusahaan Kosmetika Indonesia (Perkosmi), Lia Handayani turut menyampaikan, imbas adanya Permendag 36/2023 tersebut tidak berdampak terhadap ketersediaan bahan baku produksi. Namun memang diakui tetap ada pengaruh lain yang dirasakan, yakni izin impor plastik yang terkendala yang difungsikan sebagai kemasan.
“Kita memang bahan baku selama ini enggak ada hambatan ya. Tapi kalau untuk izin impor plastik ini terkendala, karena beberapa packaging kan ada yang memakai plastik. Nah ini yang terkena larangan terbatas (lartas),” sebut Lia pada Validnews.
Selanjutnya, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Merek Global Indonesia (APREGINDO) Handaka Santosa juga mengingatkan, dengan pemerintah bertindak tegas pada importasi ilegal via jastip, maka potensi kehilangan pajak juga akan semakin minim.
Menurutnya, pendapatan negara melalui pajak yang dibayar peritel produk global cukup besar. Dia merinci di antaranya yaitu untuk memasukkan produk bea masuk yang terdiri dari apparel 25% dan pajak masuk tindakan pengamanan (BMTP), Pajak Pertambahan Nilai (PPN Impor), Pajak Penghasilan (PPh) impor apparel 7,5%, PPh Badan, dan beberapa lainnya.
“Belum lagi kita harus menyewa toko di mall, itu juga ada pajaknya. Untuk PPN sewa itu 11%, PPh finalnya 10%. Belum lagi kalau berhasil menjual maka pajak penjualan ritel (PPN) sebesar 11%. Ada juga pajak dari tenaga kerja, sedangkan setiap toko berukuran 25 meter persegi memerlukan 1 staf,” sebut Handaka.
Sebagai informasi, asosiasi yang tergabung dalam asosiasi ritel dan ekosistem ini terdiri dari Himpunan Peritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo), Asosiasi Pengelola pusat Belanja Indonesia (APPBI), Asosiasi Ponsel Seluruh Indonesia (APSI), Asosiasi Persepatuan Indonesia (APRISINDO), Asosiasi Pemasok Garment dan Aksesoris Indonesia (APGAI).
Kemudian, Asosiasi Motor Listrik Indonesia (AISMOLI), Asosiasi Pengusaha Ritel Merek Global Indonesia (APREGINDO), Asosiasi Mainan Indonesia (AMI), Asosiasi Industri Teknologi Informasi (AiTI) Indonesia, Persatuan Perusahaan Kosmetika Indonesia (PERKOSMI), Asosiasi Matahari Supplier’s Club (AMSC).