13 Januari 2023
18:35 WIB
Penulis: Mohammad Widyar Rahman
Isu soal tenaga kerja, selalu menjadi isu yang hangat untuk dibicarakan. Tak heran, isu ini acap kali menjadi bahan jualan partai politik atau politisi yang tengah mengikuti kontestasi politik.
Ya, isu soal tenaga kerja atau perburuhan, memang isu yang seksi. Pasalnya, isu ini menyangkut langsung hajat hidup orang banyak. Kebijakan soal pengupahan sampai tenaga alih daya atau outsourcing, misalnya, seolah jadi kontroversi yang tiada henti.
Omong-omong soal outsourcing, jika dicermati, sejarahnya ternyata bisa dilihat dari sejarah perburuhan itu sendiri, sejalan dengan dimulainya revolusi industri sekitar tahun 1760-1850 silam. Pada periode ini, terjadi perubahan secara besar-besaran di bidang pertanian, manufaktur, pertambangan, transportasi, dan teknologi yang memiliki dampak yang mendalam terhadap kondisi sosial, ekonomi, dan budaya dunia.
Penggunaan tenaga hewan dan manusia di berbagai bidang pun mulai digantikan oleh mesin. Periode ini pula lah yang jadi awal terjadinya perubahan cara pabrik beroperasi dan mencari tenaga kerja dan bahan baku. Kala itu, industri telah bergulat dalam upaya mendongkrak keunggulan kompetitifnya untuk meningkatkan pasar dan keuntungan.
Industrialisasi yang terjadi pun akhirnya memunculkan kota-kota dan pusat-pusat keramaian yang baru. Banyak petani desa pergi ke kota untuk mendapatkan pekerjaan untuk kehidupan yang lebih layak.
Arus urbanisasi ke kota-kota industri pun membuat jumlah tenaga kerja makin melimpah. Namun, sejalan dengan makin banyak mesin yang digunakan oleh pabrik-pabrik, banyaknya suplai tenaga kerja membuat upah tenaga kerja menjadi murah.
Baca juga: Maksimalkan Produktivitas Kerja Hybrid Di 2023
Hingga berabad-abad berlalu, industrialisasi memunculkan golongan pengusaha dan golongan buruh. Kesenjangan antara pengusaha dan buruh, sering kali menimbulkan ketegangan-ketegangan.
Pada tahun 1950-an dan 1960-an, seruan yang muncul justru diversifikasi untuk memperluas basis perusahaan dan skala ekonomi. Dengan melakukan diversifikasi, perusahaan diharapkan dapat mengamankan keuntungan.
Untuk meningkatkan fleksibilitas dan kreativitasnya, pada tahun 1970-an dan 1980-an, banyak perusahaan besar mengembangkan strategi baru yang berfokus pada bisnis inti mereka. Dalam hal ini organisasi memerlukan identifikasi proses yang kritis dan memutuskan bagian mana yang dapat dialihdayakan (outsource).
Memang, istilah oursourcing “modern” sendiri, tidak dikenal hingga tahun 1950-an. Bahkan tidak dianggap sebagai strategi bisnis yang valid hingga tahun 1980-an. Outsourcing pun tidak secara formal diidentifikasi sebagai strategi bisnis sampai tahun 1989.
Namun, pada 1990-an, ketika organisasi mulai lebih fokus pada langkah-langkah penghematan biaya, mereka mulai mengalihdayakan sejumlah fungsi-fungsi kerja yang diperlukan untuk menjalankan perusahaan, tetapi tidak terkait secara khusus dengan bisnis inti.
Outsourcing pun dilakukan karena beberapa alasan. Di antaranya, kesadaran akan perusahaan mencari kandidat di luar perusahaan, dengan kompetensi yang tepat akan jauh lebih murah ketimbang memberikan pelatihan pada karyawan mereka. Selain itu, ada alasan soal sumber daya yang tersedia secara internal tidak mencukupi dan alasan-alasan lainnya.
Sistem kerja ini juga dirasa membantu manajemen untuk fokus pada gambaran yang lebih besar atau pada masalah yang mungkin terjadi di masa depan. Hal ini juga secara tidak langsung mengarah pada diversifikasi di pasar kerja. Mereka yang memiliki keahlian khusus, diberi kesempatan untuk menunjukkan keahlian mereka kepada khalayak yang lebih luas.
Baca juga: Merekrut Dan Menjaga Loyalitas Karyawan Gen Z
Misalnya, perusahaan dapat memberikan jasa baru terkait akuntansi, sumber daya manusia, pemrosesan data, keamanan, pemeliharaan pabrik, dan sebagainya. Buat kebanyakan perusahaan, mengalihdayakan komponen untuk penghematan biaya, dapat menjadi upaya memperbaiki kondisi keuangan mereka.
Oh ya, catatan saja, keputusan Eastman Kodak untuk mengalihdayakan sistem teknologi informasi yang menopang bisnisnya, dianggap revolusioner pada tahun 1989. Alih daya di bidang teknologi informasi ini dilihat oleh banyak kalangan sebagai kelahiran outsourcing, karena telah menciptakan semacam revolusi dalam dunia korporasi.
Saat ini, evolusi outsourcing telah menjadi bagian dari pengembangan kemitraan strategis demi mencapai hasil yang lebih baik. Konsekuensinya, organisasi cenderung memilih tenaga kerja outsourcing, dengan harapan, si pekerja outsorcing dapat memberikan hasil yang lebih efektif untuk fungsi tertentu.
Referensi:
https://scm.ncsu.edu/scm-articles/article/a-brief-history-of-outsourcing [diakses pada tanggal 9 Januari 2023]