30 Mei 2025
17:30 WIB
Sejarah Pengobatan Sifilis: Dari Racun Merkuri Hingga Terapi Malaria
Ternyata, pengobatan penyakit sifilis pernah mengalami berbagai metode ekstrem. Ada penggunaan racun merkuri hingga terapi malaria.
Penulis: Bayu Fajar Wirawan
Editor: Rikando Somba
The Martyrdom of Mercury’ – pasien sifilis yang ditunjukkan menjalani berbagai pengobatan berbasis merkuri di London, 1709. sciencemuseum-org
Sifilis merupakan salah satu penyakit menular seksual tertua yang tercatat dalam sejarah medis. Sejak penyebarannya yang masif di Eropa pada akhir abad ke-15, penyakit ini telah menjadi momok menakutkan karena gejalanya yang menyeramkan dan tingkat kematian yang tinggi.
Sebelum ditemukannya antibiotik modern, pengobatan sifilis menempuh jalan panjang yang penuh percobaan ekstrem, kegagalan, dan penemuan revolusioner. Dari penggunaan logam berat, seperti merkuri hingga penyuntikan parasit malaria, berbagai metode telah dicoba untuk mengatasi penyakit ini.
Lantas, bagaimana kisahnya?
Asal Usul Sifilis: Antara Mitos dan Bukti Ilmiah
Nama “sifilis” sendiri berasal dari puisi karya dokter Italia Girolamo Fracastoro yang diterbitkan pada tahun 1530, berjudul Syphilis, Sive Morbus Gallicus (“Sifilis, atau Penyakit Prancis”). Dalam kisah alegoris tersebut, seorang gembala bernama Syphilus dihukum oleh dewa matahari karena sikap durhakanya. Sejak saat itu, nama tersebut melekat pada penyakit ini.
Kemunculan sifilis pada akhir abad ke-15 menggemparkan Eropa. Penyakit ini menyebar dengan cepat dan menyerang siapa saja, tanpa memandang status sosial, mulai dari pengemis hingga bangsawan. Namun, hingga kini, asal usulnya masih menjadi bahan perdebatan di kalangan ilmuwan.
Salah satu teori paling terkenal adalah Hipotesis Kolumbia, yang menyatakan bahwa pelaut Christopher Columbus dan anak buahnya membawa penyakit ini dari benua Amerika setelah ekspedisinya pada tahun 1492. Bukti arkeologis dan analisis genetik modern mendukung pandangan ini. Analisis menunjukkan bahwa strain Treponema pallidum, bakteri penyebab sifilis, kemungkinan berevolusi dari infeksi lain yang berasal dari Dunia Baru (Harper, 2008; Arora, 2016).
Menariknya, sifilis juga menjadi ajang saling tuduh antarbangsa. Orang Inggris, Jerman, dan Italia menyebutnya “penyakit Prancis”. Sebaliknya, orang Prancis menamakannya “penyakit Napoli”. Sementara orang Rusia menyebutnya “penyakit Polandia”, dan orang Turki menjulukinya “penyakit Kristen”.
Penyebarannya yang cepat, terutama melalui tentara yang kembali dari Perang Napoli pada tahun 1495, memperkuat persepsi bahwa penyakit ini merupakan wabah yang ditularkan antarbangsa.
Penyakit yang Tak Mengenal Kelas Sosial
Berbeda dengan beberapa penyakit lain yang terbatas pada kelompok tertentu, sifilis menyerang semua lapisan masyarakat. Banyak tokoh besar dalam sejarah diketahui menderita sifilis, seperti filsuf Friedrich Nietzsche dan Arthur Schopenhauer, pelukis Édouard Manet, Vincent van Gogh, dan Paul Gauguin, serta bangsawan seperti Raja Henry VIII dan Tsar Ivan IV. Bahkan Casanova, sosok legendaris yang identik dengan percintaan bebas, tercatat menderita berbagai penyakit kelamin, termasuk sifilis.
Era Awal: Pengobatan dengan Racun
Pada abad ke-16, belum ada pemahaman yang memadai tentang perbedaan antara berbagai penyakit menular seksual seperti gonore, kankroid, dan sifilis. Ketiganya sering disamaratakan. Baru pada abad ke-19 pembedaan yang jelas dilakukan secara ilmiah.
Pengobatan awal sifilis umumnya menggunakan dua pendekatan: guaiakum, resin dari pohon asal Amerika Selatan, atau merkuri.
Meskipun guaiakum populer pada awalnya karena dianggap alami, pengobatan dengan merkuri akhirnya menjadi lebih dominan karena dianggap lebih efektif, meskipun sangat berbahaya. Merkuri diberikan dalam berbagai bentuk: salep untuk dioleskan ke kulit, uap yang dihirup, hingga larutan yang diminum.
Terapi ini dikenal dengan istilah salivasi, karena produksi air liur berlebih dianggap sebagai tanda keberhasilan pengobatan. Namun, efek sampingnya mengerikan: kerusakan sistem saraf, kerontokan gigi, gagal ginjal, bahkan kematian karena keracunan kronis. Ironisnya, metode ini tetap digunakan selama lebih dari dua abad.
Revolusi Terapi: Salvarsan dan Neosalvarsan
Kemajuan signifikan datang pada awal abad ke-20.
Pada tahun 1909, ilmuwan Jerman Paul Ehrlich dan asistennya Sahachiro Hata menemukan obat sintetis berbasis arsenik bernama Salvarsan (atau Arsphenamine). Salvarsan adalah bentuk awal kemoterapi yang dirancang khusus untuk membunuh mikroorganisme tanpa membahayakan sel tubuh manusia—sebuah konsep revolusioner yang disebut Ehrlich sebagai “magic bullet”.
Salvarsan kemudian disempurnakan menjadi Neosalvarsan, yang lebih mudah larut dalam air dan relatif lebih aman. Meskipun lebih efektif dibanding merkuri, obat ini tetap memiliki toksisitas tinggi dan prosedur penggunaannya rumit.
Solusi Ekstrem: Terapi Malaria
Salah satu metode pengobatan sifilis yang paling mencengangkan muncul pada tahun 1917. Psikiater Austria Julius Wagner-Jauregg memperkenalkan malarioterapi—yaitu dengan sengaja menginfeksi pasien sifilis stadium lanjut (terutama yang mengalami neurosifilis) dengan malaria.
Alasannya? Demam tinggi yang ditimbulkan oleh infeksi malaria diyakini mampu membunuh Treponema Pallidum. Setelah beberapa siklus demam, pasien kemudian diobati dengan kina untuk menyembuhkan malaria.
Terlepas dari risikonya, terapi ini menunjukkan hasil positif dan menjadi pengobatan standar pada masa itu. Atas temuan ini, Wagner-Jauregg dianugerahi Nobel Kedokteran pada tahun 1927.
Titik Balik: Penemuan Penisilin
Era pengobatan sifilis mengalami perubahan drastis dengan penemuan penisilin oleh Alexander Fleming pada tahun 1928 dan penggunaannya secara luas pada awal 1940-an. Antibiotik ini terbukti sangat efektif membunuh bakteri Treponema Pallidum dengan efek samping yang minimal dan durasi pengobatan yang singkat.
Penisilin segera menggantikan Salvarsan, Neosalvarsan, maupun terapi malaria. Selama Perang Dunia II, produksi penisilin diprioritaskan untuk mengobati infeksi pasukan Sekutu—termasuk sifilis, yang saat itu sangat umum di kalangan militer. Hingga hari ini, penisilin tetap menjadi pilihan utama dalam terapi sifilis.
Pengobatan sifilis telah melalui perjalanan panjang, dari penggunaan zat beracun yang berisiko hingga hadirnya antibiotik modern yang mampu menyelamatkan jutaan nyawa.
Metode yang kini terasa aneh, seperti pemanfaatan merkuri atau induksi malaria, dahulu dianggap sebagai harapan terakhir dalam keterbatasan ilmu pengetahuan manusia. Setelah melewati proses yang panjang dan penuh tantangan, kini antibiotik modern hadir dengan risiko yang jauh lebih minim untuk mengobati sifilis.
Setiap kemajuan dalam dunia medis merupakan hasil dari perjalanan panjang yang penuh tantangan serta keberanian dalam bereksperimen. Sejarah kedokteran bukan hanya catatan masa lalu, tetapi juga fondasi bagi terciptanya masa depan yang lebih aman dan menjanjikan bagi kesehatan manusia.
Referensi: