09 Juli 2025
19:30 WIB
Sejarah Dan Aplikasi Night Soil
Sebelum ada toilet modern, kotoran manusia diangkut malam-malam lalu dipakai untuk pupuk. Jijik? Mungkin. Tapi night soil ini pernah jadi kunci penting pertanian dunia.
Penulis: Besyandi Mufti
Editor: Rikando Somba
Petani melakukan proses pencampuran limbah serbuk arang tempurung kelapa untuk pembuatan pupuk organik di Desa Suak Ribe, Kecamatan Johan Pahlawan, Aceh Barat, Aceh, Rabu (2/7/2025). ANTARA FOTO/Syifa Yulinnas
Pada masa lalu, sebelum sistem saluran pembuangan modern berkembang, masyarakat mengandalkan metode sederhana untuk mengelola limbah manusia. Salah satu caranya adalah dengan mengumpulkan kotoran manusia, baik tinja maupun urine, dalam wadah-wadah seperti ember atau panci yang diletakkan di dalam rumah.
Limbah ini kemudian diangkut pada malam hari oleh pekerja khusus yang dikenal sebagai "night soil men" untuk dibuang atau dimanfaatkan. Karena proses pengangkutannya dilakukan pada malam hari, maka istilah “night soil” pun muncul. Sistem ini sangat umum di kota-kota besar yang belum memiliki sistem sanitasi memadai, dan menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat.
Tradisi Night Soil Di Berbagai Negara
Di berbagai belahan dunia, penggunaan night soil untuk keperluan pertanian sudah berlangsung sejak zaman kuno. Di Yunani Kuno, limbah dari kota Athena dikumpulkan untuk digunakan sebagai pupuk di lembah sungai Cephissus.
Di China dan Jepang, pengumpulan kotoran manusia menjadi sumber penghasilan tambahan, bahkan nilai jual kotoran manusia bisa berbeda tergantung kualitas makanan yang dikonsumsi. Di Singapura, sebelum kemerdekaannya, pengumpulan night soil masih menjadi sistem utama pengelolaan limbah di kawasan Chinatown. Begitu juga di Mesoamerika, suku Aztec memanfaatkan tinja dalam pembangunan chinampas, pulau-pulau buatan yang subur untuk pertanian.
Tradisi ini menunjukkan betapa manusia telah lama memahami pentingnya mengelola limbah menjadi sesuatu yang bermanfaat.
Namun, metode tradisional pengumpulan night soil tentu tidak lepas dari tantangan. Proses pengangkutan secara manual melibatkan kontak dekat dengan limbah yang berpotensi membawa penyakit.
Petugas membawa ember penuh kotoran dengan memikulnya di bahu, menempuh jalan-jalan kota hingga mencapai tempat pembuangan. Di tengah perubahan sosial dan perkembangan teknologi, budaya night soil mulai ditinggalkan. Perbaikan sanitasi, munculnya toilet modern, serta pengaruh budaya luar ikut mendorong pergeseran cara pandang terhadap kebersihan dan pengelolaan limbah.
Potensi Night Soil Dalam Pertanian
Dari sisi agronomi, night soil sebenarnya menyimpan potensi luar biasa. Secara kimiawi, pupuk ini kaya akan unsur hara utama tanaman seperti nitrogen, fosfor, dan kalium. Bahkan, kandungan nutrisinya lebih tinggi dibandingkan pupuk kandang biasa seperti kotoran ayam, kambing, atau sapi. Ini disebabkan pola makan manusia yang jauh lebih beragam dan bergizi dibandingkan hewan ternak. Oleh karena itu, night soil sebetulnya bisa menjadi alternatif organik yang sangat baik untuk memperbaiki kesuburan tanah, terutama di lahan-lahan yang miskin unsur hara.
Sayangnya, di Indonesia pemanfaatan night soil belum berkembang luas, meskipun di negara-negara seperti Tiongkok penggunaannya sudah lama menjadi bagian dari sistem pertanian.
Salah satu penyebab utama rendahnya pemanfaatan night soil di Indonesia adalah kurangnya penelitian, publikasi ilmiah, dan sosialisasi kepada masyarakat. Ditambah lagi, adanya stigma negatif yang melekat pada kotoran manusia membuat banyak orang merasa jijik atau enggan menggunakannya.
Risiko kesehatan tentu menjadi perhatian utama dalam penggunaan night soil.
Jika tidak diolah dengan benar, kotoran manusia bisa menjadi media penularan berbagai penyakit, seperti infeksi cacingan melalui telur cacing yang terdapat dalam tinja. Untuk itu, pengolahan night soil melalui metode komposting menjadi sangat penting. Dengan teknik ini, patogen berbahaya dapat dimatikan, sehingga produk akhirnya aman digunakan sebagai pupuk organik tanpa mengancam kesehatan manusia.
Kebijakan Terhadap Night Soil
Beberapa negara sudah berupaya keras menghapus praktik pengumpulan manual night soil. India, misalnya, telah melarang praktik "manual scavenging" — yaitu mengangkut kotoran manusia dengan tangan — melalui undang-undang yang disahkan tahun 1993.
Meski begitu, praktik ini sulit diberantas sepenuhnya karena faktor ekonomi, budaya, dan struktur sosial yang kompleks. Masih banyak pekerja dari kasta rendah yang secara turun-temurun melanjutkan profesi ini, meskipun status hukumnya sudah dilarang.
Dalam perkembangan modern, penggunaan night soil bergeser dari bentuk mentah ke bentuk olahan. Di banyak negara, lumpur dari instalasi pengolahan air limbah, atau "bio-solids", kini digunakan untuk menyuburkan tanah pertanian.
Proses pengolahan ini biasanya melibatkan pencampuran dengan kapur dan pengomposan, sehingga sebagian besar kuman dan patogen dapat dibasmi. Dengan demikian, prinsip dasar pemanfaatan night soil tetap hidup, tetapi melalui pendekatan yang jauh lebih higienis.
Masa Depan Penggunaan Night Soil
Ada banyak alasan yang membuat penggunaan night soil terus menurun. Selain karena alasan kesehatan, perubahan gaya hidup, meningkatnya tingkat pendidikan, berkurangnya tenaga kerja yang mau terlibat dalam pekerjaan ini, serta ketersediaan pupuk kimia bersubsidi menjadi faktor-faktor pendorong. Selain itu, perubahan tata ruang kota, masuknya teknologi sanitasi baru, dan pengaruh globalisasi turut mempercepat perubahan ini.
Meski begitu, dalam era pertanian berkelanjutan yang semakin mencari alternatif ramah lingkungan, night soil sebenarnya memiliki masa depan. Dengan pengolahan yang aman dan kontrol ketat terhadap kualitasnya, pupuk berbahan dasar limbah manusia bisa menjadi salah satu solusi untuk mengurangi ketergantungan pada pupuk kimia. Apalagi, di saat permintaan akan pupuk organik meningkat, night soil yang diproses dengan benar bisa menjadi sumber daya berharga untuk pertanian masa depan.
Referensi: