c

Selamat

Minggu, 16 November 2025

CATATAN VALID

26 Februari 2025

14:30 WIB

Pohon Sawit, Tanaman Hutan Atau Bukan?

Prabowo Subianto menyatakan Indonesia perlu memperbanyak perkebunan kelapa sawit karena sawit juga menyerap karbon dioksida dan tak perlu takut deforestasi. Namun, apakah Sawit termasuk tanaman hutan?

Penulis: Besyandi Mufti

Editor: Rikando Somba

<p>Pohon Sawit, Tanaman Hutan Atau Bukan?</p>
<p>Pohon Sawit, Tanaman Hutan Atau Bukan?</p>

Ilustrasi kebun sawit tampak atas. Shutterstock/Rich Carey

Dalam bidang botani, pohon atau pokok adalah tumbuhan menahun dengan batang memanjang yang menopang cabang dan daun. Definisi pohon dapat berbeda tergantung pada konteksnya.

Secara umum, pohon meliputi tanaman berkayu dengan pertumbuhan sekunder seperti palem, pakis, pisang, dan bambu. Meskipun pohon tidak termasuk dalam kelompok taksonomi tertentu, mereka memiliki karakteristik, seperti batang utama yang mendukung cabang dan daun untuk menangkap sinar matahari sebagai upaya kelangsungan hidupnya. 

Pohon juga dikenal karena umur panjangnya, dengan beberapa spesies mampu bertahan hidup hingga ribuan tahun. Secara historis, pohon telah hadir di Bumi selama sedikitnya 370 juta tahun, dengan populasi saat ini diperkirakan mencapai tiga triliun.

Apa Itu Pohon?
Pohon memiliki struktur unik dengan batang yang mengandung jaringan kayu untuk kekuatan dan jaringan pembuluh yang membawa nutrisi. Lapisan kulit kayu melindungi jaringan dalamnya. Sistem akar yang luas berfungsi untuk menyerap air dan nutrisi, serta menambatkan pohon ke tanah. Di atas permukaan tanah, cabang dan ranting mendukung daun yang menjalankan fotosintesis untuk menghasilkan makanan bagi pohon.

Sebagian besar pohon berkembang biak melalui biji, meskipun ada pula yang menggunakan spora seperti pakis. 

Beberapa pohon menghasilkan bunga dan buah, sementara lainnya seperti tumbuhan runjung menghasilkan kerucut serbuk sari dan biji. Meski berbeda, semua jenis pohon berperan penting dalam ekosistem, mulai dari mengurangi erosi hingga menyerap karbon dioksida dan mendukung keanekaragaman hayati.

Selain fungsi ekologis, pohon memiliki nilai ekonomis dan budaya. Mereka menyediakan bahan bangunan, bahan bakar, buah-buahan, dan banyak produk lainnya. Dalam banyak budaya, pohon dianggap sakral dan menjadi simbol spiritual. Namun, deforestasi akibat ekspansi pertanian, termasuk penanaman kelapa sawit, menjadi tantangan besar bagi kelestarian hutan.

Sawit Bukan Tanaman Hutan
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menegaskan bahwa kelapa sawit bukan tanaman hutan. Pernyataan ini didasarkan pada berbagai peraturan, analisis historis, dan kajian akademis. Sawit tidak dimasukkan dalam kategori tanaman hutan, baik dalam konteks definisi ekologis maupun rehabilitasi hutan dan lahan (RHL).

Dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Permen LHK) Nomor P.23/2021, sawit juga tidak termasuk tanaman yang digunakan untuk kegiatan rehabilitasi. Pemerintah fokus menyelesaikan permasalahan akibat penanaman sawit secara ilegal di kawasan hutan. Praktik monokultur sawit yang ekspansif telah menimbulkan dampak hukum, ekologis, hidrologis, dan sosial.

Menurut KLHK, hutan memiliki fungsi ekologis yang tidak tergantikan. Oleh karena itu, sawit tidak dapat dimasukkan ke dalam kategori tanaman hutan. 

Sebagai alternatif, pemerintah mendorong penerapan teknik agroforestri untuk mengelola kebun sawit campur yang lebih berkelanjutan. Hal ini diharapkan mampu mengembalikan fungsi ekologis hutan tanpa mengorbankan kepentingan masyarakat. Regulasi terkait pengelolaan sawit di kawasan hutan diatur dalam kebijakan turunan dari Undang-Undang Cipta Kerja (UUCK). Permen LHK Nomor 8 dan 9 Tahun 2021 mengatur program jangka benah, yaitu kegiatan menanam pohon kehutanan di sela tanaman sawit. Jenis pohon yang ditanam harus berupa penghasil Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) yang tidak boleh ditebang.

Perlindungan Terhadap Kawasan Hutan
Beleid di atas menegaskan, penanaman sawit baru di kawasan hutan dilarang. Dan, lahan sawit yang sudah ditanam harus dikembalikan ke negara setelah satu siklus tanam. Di kawasan hutan produksi, sawit diperbolehkan untuk satu siklus selama 25 tahun. Di hutan lindung atau konservasi, siklus ini dibatasi hanya 15 tahun. Setelah masa tanam selesai, lahan harus direhabilitasi dengan pohon kehutanan.

Jangka benah, yaitu periode waktu yang diperlukan untuk memperbaiki struktur dan fungsi hutan yang rusak, harus dilaksanakan sesuai dengan tata kelola perhutanan sosial, dengan mempertimbangkan kondisi biofisik dan sosial masyarakat. Teknik agroforestri diterapkan tanpa melakukan peremajaan sawit selama masa jangka benah. Pendekatan ini dianggap sebagai solusi yang adil bagi semua pihak yang terlibat.

Pemerintah juga mengatur sanksi terhadap ekspansi sawit di hutan. Pendekatan ultimum remedium diterapkan dalam penegakan hukum terkait infiltrasi sawit di kawasan hutan. Kebijakan ini bertujuan untuk memberikan keadilan, kepastian hukum, dan manfaat yang optimal bagi masyarakat dan kelestarian hutan. Pemerintah berharap regulasi yang ada mampu menjaga keseimbangan antara kesejahteraan rakyat dan pelestarian hutan.

UUCK juga mempertegas posisi sawit sebagai tanaman perkebunan, bukan tanaman hutan. Ruang tanam sawit sudah memiliki mekanisme yang jelas, sehingga pelanggaran terhadap aturan ini perlu dikawal secara ketat. Implementasi kebijakan seperti PP24/2021 menjadi fokus pemerintah untuk memastikan keberlanjutan hutan dan kesejahteraan masyarakat.

Dengan mengatur sawit sebagai tanaman perkebunan, pemerintah berusaha menghindari konflik antara fungsi ekologis hutan dan kebutuhan ekonomi. Kebijakan ini menjadi langkah penting dalam upaya menciptakan keharmonisan antara manusia dan alam, menjaga keseimbangan lingkungan, dan mendorong pembangunan berkelanjutan.

Di tengah tantangan deforestasi, upaya rehabilitasi hutan melalui teknik agroforestri menjadi solusi jangka panjang. Dengan melibatkan berbagai pihak, pendekatan ini diharapkan mampu menjaga kelestarian hutan sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang bergantung pada lahan perkebunan.

 

Referensi:

  1. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. 2022. [web]: https://ppid.menlhk.go.id/berita/siaran-pers/6404/klhk-tegaskan-sawit-bukan-tanaman-hutan
  2. Antara News. 2022. [web]: https://www.antaranews.com/berita/2688773/klhk-tegaskan-sawit-bukan-tanaman-hutan
  3. Indriyanto. 2006. Ekologi Hutan. Jakarta (ID): Bumi Aksara.
  4. Ariyanto J, Probosari RM, Nurmiyati. 2016. Identifikasi Jenis dan Manfaat Pohon di Wilayah Kampus Utama Universitas Sebelas Maret. Proceeding Biology Education Conference. 13 (1): 711-716.
  5. Morawiec JJ. 2015. Formation of amphivasal vascular bundles in Dracaena draco stem in relation to rate of cambial activity. Trees. 29 (5): 1493–1499.
  6. Rodd T, Stackhouse J. 2008. Trees: A Visual Guide. California (US): University of California Press.

KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar