c

Selamat

Sabtu, 27 April 2024

CATATAN VALID

13 Desember 2021

13:00 WIB

Orang Jawa dan Arah Mata Angin

Alih-alih menggunakan patokan kanan dan kiri, masyarakat Jawa lebih senang menunjukkan jalan dengan mata angin.

Penulis: Novelia

Editor: Faisal Rachman

Orang Jawa dan Arah Mata Angin
Orang Jawa dan Arah Mata Angin
Ilustrasi. Orang tua suku jawa yang menggunakan batik dan blangkon khas Jawa, tengah duduk beristirahat. Shutterstock/dok

“Kebiasaan deh kalau ngobrol sama lo, kebanyakan ngalor-ngidul-nya," ujar seorang pegawai kepada rekan sekantornya ketika terlibat dalam obrolan santai. 

Kalimat semacam itu mungkin bukan kali pertama kita dengar di sekitar. Ungkapan ngalor-ngidul seolah telah menjadi bahasa umum yang kerap digunakan masyarakat, lintas suku atau asal tempatnya. 

Namun, tahu tidak, sih, kalau ungkapan ini berasal dari boso jowo alias bahasa Jawa?

Yap! Jika diartikan satu kata demi satu kata, ngalor ngidul terdiri dari kata kerja bahasa Jawa ngalor dan ngidul. Lor dalam bahasa Indonesia berarti utara, sementara kidul berarti selatan. Sementara itu, imbuhan –ng yang mengawali berarti menuju arah tersebut. 

Dengan demikian, kalau didefinisikan secara harfiah, ngalor-ngidul berarti menuju ke utara dan ke selatan atau bolak balik.

Baca juga: Telisik Warisan Budaya Kejawen

Pendeknya, ungkapan ngalor-ngidul sering diucapkan untuk menggambarkan keadaan, ketika sebuah percakapan tak tentu arah pembicaraannya. Ibaratnya, sebentar ke utara, sebentar ke selatan. Awalnya membicarakan suatu tema, kemudian berubah membicarakan tema lain yang sama sekali berbeda.

Kenapa, sih, harus diibaratkan dengan mata angin? 

Tak mengherankan sebenarnya. Pada kehidupan sehari-hari, masyarakat Jawa memang sangat kental dengan konsep mata angin, bahkan hingga era modern seperti kini. 

So, kalau Kamu tidak tinggal di sana, jangan kaget kalau ketika mempertanyakan suatu tempat kepada penduduk Jawa, alih-alih menggunakan penjelasan belok kanan, kiri, ataupun lurus, mereka lebih suka menuntunmu dengan menyebut arah mata angin.

“Mbaknya jalan terus ke utara sampai mentok, terus belok ke timur 500 meter.” 

Begitu kira-kira gambaran penjelasannya. Ketika pertama kali mendapati jawaban ini, dahimu mungkin mengerut. Bagaimana bisa kamu tahu arah utara dan timur, wong kompas saja ndak bawa.

Baca juga: Makna Dawet Ayu Dalam Adat Jawa

Jika ditarik sejarahnya lebih jauh, konsep mata angin sejatinya punya nilai filosofis tersendiri bagi masyarakat Jawa, terutama sepeninggal kejayaan Kerajaan Mataram. 

Dataran Jawa diibaratkan memiliki lima titik arah, dengan tengah yang melambangkan pusat kota atau pemerintahan. Sisanya, kulon (barat), wetan (timur), lor (utara), dan kidul (selatan), menjadi arah yang digunakan dalam bahasa warga sehari-hari.

Arah-arah mata angin tersebut digunakan dalam percakapan sehari-hari masyarakat Jawa. Tak hanya sekadar untuk menunjukkan arah kepada seseorang, namun juga untuk menginformasikan tujuan pergi. 

Misalnya, ketika seseorang yang hidup di Surabaya ingin ke Jakarta, akan terlontar bahasa “Aku arep ngulon.” yang artinya, “Saya akan menuju Barat.”

Tak cuma harfiah soal arah, mata angin di masyarakat Jawa juga kerap digunakan untuk mengisyaratkan konotasi tertentu. 

Baca juga: Asal Mula dan Filosofi Lebaran Ketupat Masyarakat Jawa

Misalnya, ungkapan “gaweane ngidul” atau “kerjaannya di Selatan” akan memberikan kesan negatif pada seseorang. Bukannya apa-apa. Istilah ngidul kerap dimaknai terhubung dengan tempat-tempat prostitusi. Soalnya, tempat-tempat prostitusi biasanya berada di sekitar kawasan pantai wisata yang ada di wilayah selatan.

Kidul atau selatan juga identik dengan keterbelakangan dalam masyarakat Jawa. Istilah yang sempat populer menggambarkan ketertinggalan ini adalah "dul kali" atau selatan sungai. Usut punya usut, ketertinggalan ini memang disebabkan masalah geografis. 

Wilayah selatan Jawa dilintasi sungai Opak yang lebar. Dahulu sebelum dibuatkan jembatan, untuk menyeberangi sungai ini mesti menggunakan gethek atau rakit. Sulitnya akses membuat pembangunan sulit menyentuh daerah ini.

Beda dengan selatan yang punya kesan negatif, daerah pusat hingga barat lebih identik dengan konotasi positif, atau setidaknya netral. Misalnya pertanyaan, “Kapan le arep ngalor?” yang berarti “Kapan mau ke utara?”. 

Kata ngalor atau dalam kalimat tersebut punya kesan baik, sebab daerah utara kental dengan aktivitas belajar, bekerja, atau kegiatan bermanfaat lainnya yang biasa dilakukan di kota.

Nah, sekarang sudah tahu kan tentang kelekatan masyarakat Jawa dan arah mata angin. Jangan bingung lagi ya kalau dijawab dengan utara atau selatan saat mencari toko bakpia. Kalau masih bingung, ya sudah buka smartphone-mu dan minta ditunjukkan oleh mbak-mbak Google Maps saja.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar