c

Selamat

Rabu, 5 November 2025

CATATAN VALID

23 Oktober 2025

14:00 WIB

Menilik Hubungan Kerja Remote Dan Keberlanjutan Lingkungan

Meski pandemi dan kewajiban social distancing sudah berlalu, beberapa perusahaan masih mempraktikkan sistem kerja remote yang tak mengharuskan kehadiran fisik karyawan di kantor. Mengapa?

Penulis: Novelia

Editor: Rikando Somba

<p>Menilik Hubungan Kerja <em>Remote</em><em id="isPasted">&nbsp;</em>Dan Keberlanjutan Lingkungan</p>
<p>Menilik Hubungan Kerja <em>Remote</em><em id="isPasted">&nbsp;</em>Dan Keberlanjutan Lingkungan</p>

Ilustrasi karyawan menggunakan komputer, menatap laptop, dan berbicara, memimpin konferensi hibrida, panggilan video jarak jauh, rapat virtual, atau pelatihan daring, bekerja di kantor. Shutterstock/insta_photos.

”Lo kerja di mana sekarang? WFH atau WFO?”

Pertanyaan semacam ini akan kerap kita dengar atau ucapkan ketika berjumpa lagi dengan kawan lama di berbagai keempatan. Yap!  Semenjak melalui masa pandemi, pilihan antara kedua model kerja ini jadi hal yang tak asing lagi diterapkan di berbagai kantor; work from home (WFH) ataupun work from office (WFO). 

Kewajiban melakukan social distancing pada masa persebaran Covid-19 lah yang sebenarnya menginspirasi perusahaan untuk menciptakan kerja remote dengan sistem WFH. Tujuannya jelas, agar pekerjaan dapat tetap berjalan tanpa terhalang pantangan bertatap muka dan berinteraksi fisik.

Uniknya, meski kini pandemi sudah jadi kenangan, masih banyak perusahaan yang mengizinkan para pegawainya untuk melakukan WFH. Belakangan bahkan hadir berbagai istilah baru seperti work from café (WFC) atau work from anywhere (WFA) yang tetap mengacu pada sistem kerja remote dan mengizinkan pegawai bekerja di luar kantor. Alasannya, model kerja ini dianggap lebih efisien dan ramah lingkungan. Bagaimana bisa?

Apa Itu Kerja Remote?
Sebelum menghubungkan antara sistem kerja WFF, WFA, WFC, dan lainnya dengan sifat ramah lingkungan, kita perlu mengetahui terlebih dahulu apa definisi dari kerja remote yang yang merupakan prinsipnya. Kata remote yang berarti ’jauh’ pada istilah kerja remote mengacu pada memungkinkannya suatu tugas yang dilakukan seorang karyawan pada tempat berbeda, bahkan bisa terpisah jauh, dari atasan ataupun pemberi kerja. 

Dalam konteks profesional, kerja remote dapat didefinisikan sebagai praktik menjalankan pekerjaan di berbagai tempat di luar kantor, seperti di rumah, kafe, atau coworking space, dengan memanfaatkan berbagai fitur dan alat teknologi komunikasi, termasuk internet. Model kerja ini memungkinkan setiap aktivitas profesional yang biasa kita lakukan di kantor untuk tetap berjalan tanpa kehadiran secara fisik di ruang yang sama.

Meski awalnya banyak diragukan, nyatanya model kerja remote kini tetap diadopsi banyak perusahaan. Sebagian kantor memberlakukan kerja remote secara penuh waktu, dan sebagian lainnya memberlakukan model hybrid, alias beberapa hari bekerja remote dan beberapa hari kerja di kantor. Pelan-pelan, model ini berpeluang bertahan dan menjadi hal yang lumrah dalam sistem kerja modern.

Baca juga: Riset: Gaji, Fleksibilitas Dan Work Life Balance, Preferensi Gen Z Pilih Pekerjaan 

Adopsi terhadap sistem kerja remote hingga saat ini mengundang pertanyaannya. Pasalnya, masa-masa pandemi yang awalnya menjadi alasan dimulainya model kerja ini sudah cukup lama berakhir, sehingga perusahaan sudah tidak lagi diwajibkan melakukannya. Akan tetap, kebiasaan pemberlakuan kerja remote selama pandemi justru memberikan kesadaran bahwa sistem ini justru memberikan banyak manfaat, lebih dari sekadar mengantisipasi penyebaran virus penyakit.

Alasan pertama tentu terkait dengan efisiensi. Bukan rahasia lagi kalau sebagian besar pekerja di kota besar seperti Jakarta harus menempuh waktu yang cukup lama dalam perjalanan menuju kantor. Sistem kerja remote otomatis meminimalisasi waktu dan ongkos yang harus dihabiskan untuk berjibaku mengarungi kemacetan, baik mereka yang berangkat dengan kendaraan pribadi ataupun mereka yang menggunakan transportasi umum. 

Selain karyawan, perusahaan juga memetik keuntungan sistem kerja remote secara tak langsung. Absennya momentum yang harus ditempuh di perjalanan membuat karyawan dapat menyimpan energinya untuk lebih fokus bekerja, tanpa perlu merasa kelelahan dan stres menghadapi apa yang mungkin terjadi selama berlalu lintas.

Bagaimana Dampak Kerja Remote Bagi Lingkungan?
Kita sudah membahas seperti apa kerja remote dan bagaimana ia secara langsung maupun tidak langsung memberikan manfaat bagi karyawan dan perusahaan. Akan tetapi, bukan kedua pihak tersebut yang merasakan manfaat dari sistem kerja baru ini, melainkan juga lingkungan. Ide untuk mematenkan model kerja remote terasa lebih menarik karena punya potensi bikin bumi lebih bisa bernapas. Memangnya, apa saja sih magic dari sistem ini?

Bukan rahasia kalau pemberlakuan kerja remote secara masif pada masa pandemi mampu memperbaiki kualitas udara di kota besar. Tanpa melakukan uji kualitas dengan IQAir, bahkan kita dapat melihat langit yang lebih cerah dan biru ketika kemacetan tidak menjadi rutinitas. Pasalnya, lebih sedikit masyarakat yang bermobilisasi harian dengan kendaraan bermotor. 

Bukti lebih akurat disimpulkan dari hasil sebuah studi yang dipublikasikan dalam Proceedings of the National Academy of Sciences. Kajian ini menemukan bahwa terjadi pengurangan emisi pribadi sebesar 54% pada pekerja yang sepenuhnya melakukan kerja remote dibandingkan selalu bekerja di kantor. Hal ini menunjukkan bahwa pergeseran konsep kerja ke arah remote berpotensi mengurangi jejak karbon secara signifikan.

Jejak karbon dari transportasi nyatanya juga jadi beban perusahaan. Pasalnya, terkait upaya global dalam mengatasi perubahan iklim, sejumlah usaha di sektor industri, energi, hingga pertanian, diwajibkan untuk mengikuti kebijakan inventarisasi emisi. Di dalamnya, terdapat aturan yang menjadi pedoman perusahaan dalam mencatat dan melaporkan jumlah emisi gas rumah kaca (GRK) yang dihasilkan dalam aktivitas operasional.

Masalahnya, perusahaan kerap lupa bahwa kontribusi emisi yang perlu dicatat bukan hanya yang dihasilkan langsung di lokasi kerja, melainkan juga emisi tak langsung seperti perjalanan karyawan dan pihak-pihak lain seperti vendor atau klien, yang ironinya, kerap jadi porsi terbesar dari total emisi. Solusi mitigasinya bisa dipilih; subsidi transportasi rendah emisi, atau mempertimbangkan sistem kerja remote.

Di sisi lain, tentu saja kita tidak bisa melupakan bagaimana tata ruang kantor di era modern menghasilkan emisi yang tak kalah signifikan. Pendingin udara, penerangan, lift, dan fasilitas elektronik lainnya mengakibatkan tingginya intensitas energi. Mengingat sebagian besar listrik kita masih dipasok dari pembangkit berbasis fosil, konsumsi listrik ini tak dinyana berdampak pada emisi karbon yang nyata.

Dampak Pada Rumah dan Kota
”Kalau WFH ya sama aja dong? Konsumsi energinya cuma pindah aja, dari kantor ke rumah!”

Logika ini mungkin sempat terlintas di kepalamu saat tercetus ide kerja remote demi keberlanjutan. Nyatanya argumen ini tidak sepenuhnya salah, tapi tidak pula sepenuhnya benar. Ya, benar bahwa energi yang sebelumnya digunakan di gedung perkantoran berpindah untuk pemakaian listrik di hunian masing-masing. Tapi nyatanya strategi ini tetap punya keuntungan, Sobat Valid!

Sebuah artikel jurnal yang ditulis oleh Hongyue Wu, Yuan Chang, dan Yunfeng Chen (2024) mencoba membandingkan skenario WFH dan WFO. Hasilnya membuktikan bahwa penghematan yang didapat dari berkurangnya penggunaan ruang dan gedung, serta mobilisasi kendaraan, secara umum lebih besar daripada tambahan penggunaan energi di hunian.

Mengurangi polusi dari asap kendaraan dan emisi gedung perkantoran saja? Itu belum semuanya, Sobat Valid! Pemberlakuan kerja remote bahkan bisa menggerakkan dampak berupa perubahan di lingkup yang lebih besar, yakni tata kota! 

Jika sistem kerja remote akhirnya menjadi hal yang dinormalisasi dan diberlakukan mayoritas perusahaan, maka tekanan untuk mengembangkan fasilitas yang secara intensif menghasilkan jejak karbon bisa berkurang, misalnya area lalu lintas dan infrastrukturnya, ruang parkir, dan gedung-gedung perkantoran. 

Sebaliknya, akan terbuka lebar peluang untuk meningkatkan pembangunan hunian di pinggiran kota, mengingat masyarakat tak perlu lagi tinggal di dekat kantor. Begitu juga dengan pengembangan fasilitas-fasilitas hijau dan ruang terbuka, menggantikan ruang yang sebelumnya lebih banyak digunakan untuk sarana dan prasarana comuting masyarakat.

Apa Hubungan Kerja Remote dengan Lingkungan Sehat?
Perubahan yang mungkin terjadi dalam jangka panjang pada rencana tata kota apabila kerja remote menjadi new normal mungkin tak secara langsung terkait dengan keberlanjutan. Tapi ternyata, dampak ini juga jadi salah satu yang mendukung terciptanya lingkungan yang sehat, loh

Ya, ketika kita membicarakan lingkungan sehat, yang dimaksud di sini bukan hanya udara yang bersih, tapi juga mengenai ekosistem perkotaan yang mendukung baiknya kualitas fisik dan mental penghuninya. Tak cuma udara yang tak tercemar, tapi juga memadainya akses hijau, minimnya kebisingan, serta ruang publik yang aman. Nah, ada beberapa alasan yang membuat pemberlakuan kerja remote baik bagi terciptanya lingkungan sehat.

Semakin sedikitnya kendaraan bermotor di jalan akan berdampak pada penurunan emisi NOx, partikulat, dan CO2 yang berpengaruh secara langsung terhadap kualitas udara di perkotaan. Tak hanya mengurangi polusi udara, sepinya lalu lintas juga akan mengurangi kebisingan di jalan raya yang kerap terjadi akibat semrawutnya lalu lintas saat terjadi kemacetan. Misalnya saja suara klakson yang bersahutan, serta kemungkinan konflik yang terjadi antara sesama pengguna jalan.

Penurunan kebutuhan akan ruang kantor jika sistem kerja remote dinormalisasi akan membuat sejumlah area dapat dialokasikan untuk kebutuhan lainnya yang lebih mendukung kesehatan mental dan interaksi sosial antarwarga. Misalnya saja ruang terbuka hijau, trotoar yang lebarnya memadai, hingga berbagai hub atau infrasruktur publik lainnya.

Tantangan Kesehatan Digital
 
Meski memberikan berbagai dampak baik bagi suasana lingkungan dan kesehatan masyarakat, sistem kerja remote juga menyimpan tantangan. Model kerja ini dapat mendorong terciptanya gaya hidup yang minim aktivitas alias sedentary lifestyle, serta mendorong perilaku isolasi sosial bila tidak disertai kebijakan kesehatan kerja yang tepat.

Baca juga: Keamanan Data, Tantangan Baru Bekerja Secara Hibrida  

Kerja remote memang bukan obat mujarab satu-satunya bagi ancaman krisis iklim. Ia hanya salah satu elemen penting yang terbukti efektif mengurangi berbagai bentuk emisi, baik yang berasal dari transportasi hingga kegiatan operasional di gedung perkantoran. Jadi, apakah model ini sekadar tren atau solusi lingkungan yang nyata? 

Semua akan tergantung pada bagaimana berbagai pihak bersinergi mengimplementasikannya, dari pemerintah, perusahaan, hingga para pekerja. Sudah siapkah kita beralih?

 

Referensi:

  1. Tao, Y., et al., Climate mitigation potentials of teleworking are sensitive to… Proceedings of the National Academy of Sciences (PNAS), 2023. PNAS
  2. Wu, H., Greenhouse gas emissions under work from home vs. office, Energy Policy/ ScienceDirect, 2024. ScienceDirect
  3. The Guardian, People who work from home all the time 'cut emissions by 54% against those in office', 18 Sep 2023. The Guardian
  4. Sutton-Parker, J., Determining commuting GHG abatement achieved by IT-enabled remote working, 2021 (Warwick/WRAP). WRAP
  5. Caulfield, B., Examining the potential environmental and travel time benefits of remote working hubs, PMC/MDPI, 2022. PMC
  6. Greenly / industry blogs — ringkasan analitis: Remote vs office: Which one is greener? 2024. Greenly



KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar