c

Selamat

Kamis, 6 November 2025

CATATAN VALID

03 November 2025

14:30 WIB

Mengulas Fenomena Man Marry Down Dan Yang Terjadi Di Indonesia

Pernah tahu seorang pria dengan status mentereng memilih menikah dengan perempuan dari keluarga sederhana? Ini bukan hanya di film. Ini banyak terjadi dan dikenal dengan istilah “man marry down”.

Penulis: Oktarina Paramitha Sandy

Editor: Rikando Somba

<p>Mengulas Fenomena <em>Man Marry Down&nbsp;</em>Dan Yang Terjadi Di Indonesia</p>
<p>Mengulas Fenomena <em>Man Marry Down&nbsp;</em>Dan Yang Terjadi Di Indonesia</p>

Ilustrasi Man Marry Down. Shutterstock/Hananeko_Studio

Sobat Valid pasti pernah menonton film-film romansa yang menceritakan laki-laki bangsawan menikahi perempuan dari keluarga sederhana. My Big Fat Greek Wedding atau Pretty Woman yang dibintangi Richard Gere dan Juliette Roberts adalah diantaranya. 

Akan tetapi, kalau kita memperhatikan lingkungan di sekitar, mungkin akan ditemukan juga sejumlah pasangan yang dulu dianggap tak biasa. Misalnya, seorang pria dengan posisi tinggi di perusahaan ternama memilih menikah dengan perempuan dari keluarga sederhana. Kasus lain, seorang profesional yang sudah mapan justru jatuh cinta pada seseorang tanpa gelar akademik tinggi, tetapi punya kepribadian yang hangat dan cara pandang hidup yang dewasa.

Di masa lampau, pilihan seperti ini bisa menjadi bahan pembicaraan panjang di lingkungan sekitar. Namun, sekarang, kisah semacam ini mulai dianggap wajar. Bahkan, kondisi atau fenomena ini diterima sebagai hal yang lumrah dalam dinamika hubungan modern.

Fenomena ini dikenal dengan istilah man marry down, yaitu ketika pria memilih menikah dengan pasangan yang memiliki status sosial, ekonomi, atau pendidikan yang lebih rendah darinya. Dalam pandangan tradisional, pernikahan sering kali dipahami sebagai langkah strategis untuk menjaga atau meningkatkan status sosial. Pria diharapkan menikahi pasangan yang setara secara ekonomi, atau bahkan dari kalangan yang lebih tinggi, agar posisinya di masyarakat tetap terjaga.

Namun, di era sekarang, pandangan itu mulai bergeser. Banyak pria yang tidak lagi menjadikan status sosial sebagai faktor utama dalam menentukan pasangan hidup. Bagi mereka, kenyamanan emosional, kesetiaan, dan kesamaan nilai hidup terasa jauh lebih penting daripada perbedaan latar belakang sosial.

Perubahan ini tentu tidak terjadi secara tiba-tiba. Pergeseran peran gender, meningkatnya kemandirian perempuan, serta semakin terbukanya cara pandang masyarakat terhadap relasi sosial menjadi faktor yang mendorongnya. Perempuan kini lebih bebas menentukan jalan hidup, membangun karier, dan membuat keputusan tanpa tekanan norma lama.

Di sisi lain, pria juga mulai meninggalkan beban ekspektasi untuk selalu berada di posisi dominan. Hubungan kini lebih banyak dibangun atas dasar kesetaraan dan saling memahami, bukan lagi semata-mata pertimbangan ekonomi atau status.

Fenomena ini dianggap telah membawa perubahan yang cukup mendasar dalam struktur sosial masyarakat modern. Di mana, pola pernikahan saat ini tak lagi semata-mata berlandaskan pada faktor ekonomi atau status sosial, melainkan mulai bergeser menjadi bentuk kemitraan yang lebih sejajar. Pernikahan kini dipandang sebagai ruang kolaborasi dua individu yang saling melengkapi, bukan sekadar transaksi sosial yang bertujuan menjaga posisi ekonomi keluarga.

Pergeseran ini menandai cara pandang baru terhadap cinta dan komitmen. Dalam banyak kasus, keputusan untuk menikah tidak lagi berfokus pada “apa yang dimiliki” seseorang, melainkan pada “siapa orang tersebut sebenarnya”. 

Pria yang memilih pasangan dengan status sosial lebih rendah, misalnya, bukan berarti menurunkan standar. Bisa jadi, dia justru menunjukkan yang diutamakan adalah nilai-nilai personal, seperti kesetiaan, empati, serta rasa aman emosional.

Dikutip dari penelitian berjudul Socioeconomic Status and Intimate Relationships (2021), ditemukan bahwa status sosial ekonomi memang masih berpengaruh terhadap dinamika hubungan, tetapi pengaruh tersebut tidak lagi menjadi penentu utama. 

Dalam banyak kasus, pasangan dengan komunikasi yang baik, saling menghargai, dan memiliki dukungan emosional yang kuat cenderung memiliki tingkat kepuasan dan stabilitas hubungan yang lebih tinggi, terlepas dari perbedaan status sosial. Penelitian ini juga menemukan bahwa hubungan yang dibangun atas dasar kesetaraan emosional cenderung lebih tahan terhadap tekanan sosial dan ekonomi dibanding hubungan yang didasari oleh motif status.

Fenomena “man marry down” pada akhirnya telah menjadi cermin bahwa nilai-nilai dalam hubungan telah mengalami transformasi besar. Jika dulu status sosial sering dijadikan tolok ukur keberhasilan sebuah hubungan, kini ukuran itu bergeser menuju aspek yang lebih manusiawi, seperti rasa saling percaya, kemampuan untuk mendengarkan, dan kesediaan untuk tumbuh bersama.

Dalam konteks masyarakat yang terus berubah, pola seperti ini juga menjadi sinyal bahwa kita mulai menilai hubungan dengan cara yang lebih dewasa dan realistis. Cinta bukan lagi sekadar simbol status, tetapi menjadi perjalanan dua arah antara dua individu yang ingin berjalan berdampingan, bukan saling mendominasi. Bisa jadi, di situlah letak makna sesungguhnya dari pernikahan yang setara dan berkelanjutan.

Apa Itu Fenomena Man Marry Down?
Secara sederhana, fenomena man marry down menggambarkan situasi ketika seorang pria memilih menikah dengan pasangan yang memiliki status sosial, ekonomi, atau tingkat pendidikan yang lebih rendah dibanding dirinya. Dalam konteks sosial yang lebih tradisional, pilihan seperti ini kerap dianggap tidak lazim.

Masyarakat terbiasa dengan konsep hypergami, atau istilah yang lebih umum dikenal sebagai “woman marry up”, yakni perempuan menikah dengan pria yang memiliki kedudukan sosial atau ekonomi lebih tinggi. Pola ini telah melekat selama berabad-abad karena pernikahan dahulu tidak hanya dimaknai sebagai ikatan emosional, tetapi juga sebagai strategi sosial dan ekonomi untuk mempertahankan, bahkan meningkatkan, posisi keluarga.

Di masa lalu, pernikahan sering kali diatur seperti transaksi sosial yang mempertimbangkan faktor harta, keturunan, dan reputasi keluarga. 

Seorang perempuan dianggap “beruntung” jika berhasil menikah dengan pria kaya atau berpendidikan tinggi, sementara pria diharapkan memilih pasangan yang dapat memperkuat citra dan posisi sosialnya. Karena itu, istilah seperti “menikah ke atas” atau “menikah ke bawah” bukan hanya sekadar ungkapan, tapi juga mencerminkan cara masyarakat memandang hierarki sosial dalam hubungan pribadi.

Namun, cara pandang itu kini mulai berubah. Di tengah meningkatnya akses pendidikan, kesetaraan gender, dan kemandirian ekonomi perempuan, nilai-nilai yang menjadi dasar pernikahan pun mengalami pergeseran besar. Banyak pria masa kini tidak lagi menjadikan status sosial atau ekonomi sebagai ukuran utama dalam memilih pasangan. Mereka lebih menghargai kepribadian, kesetiaan, dan koneksi emosional yang tulus. 

Buat Sobat Valid yang hidup di era ini, mungkin kamu juga merasakannya. pernikahan bukan lagi tentang siapa yang “lebih tinggi,” tapi siapa yang bisa diajak tumbuh bersama dalam arah yang sama.

Media dan globalisasi punya peran penting dalam membentuk cara pandang baru ini. Contohnya bisa kamu lihat dalam serial drama Korea Crash Landing on You, di mana cinta hadir di tengah jurang status sosial yang lebar. Cerita-cerita semacam ini mengubah persepsi publik: bahwa cinta sejati tidak memerlukan kesetaraan status, melainkan saling pengertian dan keberanian untuk bertahan menghadapi perbedaan.

Media sosial pun ikut memperkuat perubahan tersebut. Ketika figur publik dan influencer membagikan kisah cinta mereka yang melampaui batas status sosial, masyarakat mulai menilai hubungan dari sudut pandang yang lebih manusiawi. Orang tidak lagi terpaku pada latar belakang keluarga atau gelar pendidikan, melainkan lebih menghargai ketulusan, perjuangan bersama, dan bagaimana pasangan tersebut saling mendukung dalam kehidupan sehari-hari.

Bahkan, berdasarkan penelitian Educational Assortative Mating and the Decline of Hypergamy in 27 European Countries: An Examination of Trends Through Cohorts oleh Dávid Erát (2020), mengatakan jika tren hypergami atau pola pernikahan di mana pria memiliki tingkat pendidikan lebih tinggi dari pasangannya, menunjukkan penurunan signifikan di 27 negara Eropa. Penelitian ini juga menemukan bahwa dalam beberapa dekade terakhir, proporsi perempuan dengan pendidikan tinggi meningkat pesat, bahkan melampaui pria di banyak negara.

Perubahan ini menggambarkan realitas baru bahwa hubungan romantis kini lebih banyak dibangun atas dasar kesetaraan nilai dan kompatibilitas emosional, bukan lagi status sosial. Pria yang memilih untuk menikah dengan pasangan yang memiliki status ekonomi atau pendidikan lebih rendah tidak otomatis dianggap “turun kelas”, melainkan lebih menekankan pada kecocokan pribadi dan keseimbangan emosional. Banyak dari mereka menilai bahwa kestabilan hubungan, komunikasi terbuka, dan dukungan emosional justru lebih penting dibanding kesetaraan dalam angka pendapatan atau gelar akademik.

Bisa dikatakan, fenomena man marry down juga mengindikasikan adanya pergeseran nilai dalam cara pria memandang peran perempuan.

Di masa lalu, pernikahan sering kali menempatkan perempuan pada posisi pasif, mendukung dari belakang tanpa banyak ruang untuk berkembang. Sekarang, banyak pria yang justru mencari pasangan yang bisa menjadi partner sejajar dalam kehidupan, meskipun tidak selalu setara dalam status sosial. Bagi mereka, keberhasilan hubungan lebih ditentukan oleh kemampuan dua pihak untuk saling menopang dalam menghadapi tantangan hidup, bukan dari kesamaan latar belakang sosial semata.

Pergeseran Peran Gender dan Struktur Sosial
Kalau kamu perhatikan, peran gender dalam masyarakat sekarang sudah jauh berbeda dari beberapa dekade lalu. Dulu, tatanan sosial menempatkan pria dan perempuan pada posisi yang sangat jelas.

Pria dianggap sebagai kepala keluarga yang bertugas mencari nafkah dan menjaga stabilitas ekonomi rumah tangga, sedangkan perempuan diharapkan fokus pada urusan domestik, mengurus anak, memasak, dan memastikan rumah tetap berjalan dengan baik. Sistem seperti ini bertahan begitu lama karena diperkuat oleh nilai-nilai budaya patriarkal dan struktur ekonomi yang menempatkan laki-laki di posisi dominan.

Namun, realitas itu perlahan bergeser. Ketika perempuan mulai mendapat akses pendidikan yang setara, berkarier, dan memiliki penghasilan sendiri, struktur tradisional dalam keluarga ikut berubah. Perempuan kini tidak lagi sekadar berperan sebagai pendukung, melainkan juga pengambil keputusan, bahkan penopang utama ekonomi keluarga.

Di banyak negara, termasuk Indonesia, pergeseran ini sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Kamu bisa melihat banyak perempuan yang kini menjadi pemimpin di tempat kerja, pengusaha sukses, atau profesional di bidang yang dulu didominasi laki-laki.

Perubahan ini bukan sekadar anekdot sosial, tapi juga terbukti secara akademis. Berdasarkan penelitian berjudul Bachelors Without Bachelor’s: Gender Gaps in Education and Declining Marriage Rates (2025), kesenjangan gender dalam pendidikan tinggi telah berbalik arah secara signifikan. Pada era 1970-an di Amerika Serikat, pria masih mendominasi ruang akademik dengan angka pendaftaran universitas yang jauh lebih tinggi daripada perempuan.

Namun kini, proporsi perempuan yang menempuh pendidikan tinggi jauh melampaui pria. sementara partisipasi pria justru mengalami penurunan yang cukup tajam. Penelitian ini menunjukkan bahwa titik balik dalam akses pendidikan tinggi bukan sekadar numerik.Perempuan kini tidak hanya mengejar kesetaraan, tetapi mulai mendominasi bidang yang dulu dianggap ranah laki-laki.

Dampaknya terasa hingga ke ruang paling pribadi, yaitu keluarga. Batas antara peran suami dan istri kini semakin kabur. Kamu mungkin sering melihat pasangan muda yang membagi tugas rumah tangga secara setara.

Pria memasak atau mengantar anak ke sekolah bukan lagi dianggap tidak pantas, melainkan bentuk tanggung jawab dan kasih sayang. Perempuan yang bekerja penuh waktu pun tidak lagi dipandang meninggalkan kewajibannya sebagai istri atau ibu. Semua bergeser menuju konsep kerja sama, dua individu yang saling menopang dan berbagi peran sesuai kemampuan, bukan berdasarkan stereotip.

Bersamaan dengan itu, konsep maskulinitas juga mengalami redefinisi besar. Dulu, menjadi pria sejati berarti harus kuat, tegas, dan menjadi pencari nafkah utama. Kegagalan dalam memenuhi peran ekonomi sering kali dianggap mencoreng harga diri seorang laki-laki. Tapi di era modern, definisi itu tidak lagi relevan. Pria kini lebih banyak dihargai karena kemampuan mereka untuk hadir secara emosional, menjadi ayah yang hangat, pasangan yang suportif, dan manusia yang bisa berempati.

Dalam konteks inilah fenomena man marry down muncul dan semakin sering terjadi. Ketika perempuan kini memiliki posisi sosial dan ekonomi yang kuat, banyak pria yang mulai menilai hubungan bukan lagi dari kesetaraan status sosial, tapi dari nilai-nilai yang lebih dalam. Seperti karakter, kedewasaan emosional, dan kemampuan untuk tumbuh bersama. Pria modern tidak lagi merasa perlu mencari pasangan yang bisa mengangkat status sosialnya, melainkan seseorang yang mampu memberi keseimbangan, dukungan, dan rasa tenang.

Dampak Sosial Fenomena Man Marry Down
Fenomena man marry down kini menjadi salah satu topik menarik dalam studi sosial modern karena menggambarkan bagaimana relasi antara cinta, status sosial, dan identitas gender terus berevolusi. 

Di tengah perubahan besar dalam cara masyarakat memandang pernikahan, pilihan pria untuk menikah dengan pasangan yang memiliki status sosial atau ekonomi lebih rendah kini tidak lagi dianggap menyimpang, tetapi justru mencerminkan realitas baru yang lebih kompleks dan terbuka. Namun, seperti halnya perubahan sosial lain, fenomena ini juga membawa dua sisi: dampak positif yang membangun, sekaligus tantangan yang perlu diwaspadai agar hubungan tetap sehat dan setara.

Salah satu dampak paling terasa dari fenomena ini adalah runtuhnya stereotip lama tentang peran pria dan perempuan dalam hubungan. Selama ini, pria sering ditempatkan sebagai sosok dominan yang harus lebih unggul dalam segala hal. Baik dari sisi penghasilan, pendidikan, maupun posisi sosial.

Tapi sekarang, realitasnya mulai bergeser. Semakin banyak pria yang tidak lagi mendefinisikan nilai dirinya dari seberapa besar gajinya atau seberapa tinggi status pasangannya. Mereka memilih hubungan yang lebih setara, di mana keputusan diambil bersama dan tanggung jawab dibagi sesuai kemampuan, bukan berdasar peran gender. Di sisi lain, perempuan pun punya ruang yang sama untuk berkontribusi dan menentukan arah hubungan. Buat kamu yang hidup di era sekarang, ini bisa jadi sinyal baik bahwa konsep pasangan ideal bukan lagi soal siapa yang lebih tinggi, tapi siapa yang bisa berjalan beriringan.

Meningkatkan Toleransi Sosial
Hubungan lintas kelas sosial yang dulu dianggap janggal kini mulai diterima dengan lebih terbuka. Ketika kamu melihat semakin banyak pasangan dengan latar belakang berbeda bisa hidup bahagia, masyarakat pun ikut belajar untuk tidak menilai hubungan hanya dari permukaannya. Perbedaan pendidikan, pekerjaan, atau kondisi ekonomi tidak lagi dianggap sebagai penghalang, melainkan sebagai bagian dari keberagaman yang justru memperkaya dinamika hubungan. 

Fenomena ini membantu menumbuhkan empati dan menurunkan prasangka sosial yang dulu begitu kuat. Masyarakat mulai memahami bahwa cinta dan komitmen tidak bisa diukur dengan angka penghasilan atau gelar pendidikan.

Dampak Negatif yang Perlu Diwaspadai
Meski penerimaan masyarakat semakin luas, bukan berarti semua orang siap menerima perubahan ini. Stigma terhadap pria yang menikah dengan pasangan berstatus sosial lebih rendah masih kerap muncul, terutama di lingkungan yang memegang teguh nilai-nilai tradisional.  Komentar seperti turun kelas atau tidak bisa mencari pasangan yang setara, masih sering terdengar. 

Buat sebagian pria, hal ini bisa menimbulkan tekanan sosial yang berat, apalagi jika datang dari keluarga atau teman dekat. Padahal, ukuran keberhasilan dalam pernikahan tidak pernah ditentukan oleh status sosial, tapi oleh kualitas hubungan dan rasa saling menghargai di dalamnya.

Di sisi lain, perempuan dalam hubungan seperti ini juga menghadapi tantangan tersendiri. Mereka sering kali dianggap beruntung karena menikah dengan pria berstatus lebih tinggi. Sekilas terdengar seperti pujian, tapi sebenarnya bisa menjadi tekanan terselubung. Perempuan bisa merasa diawasi, dituntut untuk terus layak, atau bahkan merasa tidak cukup baik. Kalau hal ini tidak dibicarakan secara terbuka, rasa tidak aman itu bisa tumbuh menjadi jarak emosional dalam hubungan. Karena itu, penting bagi pasangan untuk saling menegaskan bahwa pernikahan mereka dibangun atas dasar cinta dan komitmen, bukan perbandingan status.

Selain stigma sosial, risiko lain yang perlu diwaspadai adalah munculnya ketimpangan kekuasaan dalam hubungan. Pria yang merasa memiliki posisi ekonomi atau sosial lebih tinggi bisa saja, secara tidak sadar menjadi lebih dominan dalam pengambilan keputusan. Kalau dibiarkan, hal ini bisa menimbulkan ketidakseimbangan dan membuat hubungan terasa tidak setara. Untuk menghindarinya, komunikasi yang jujur dan saling menghargai menjadi kunci utama. Pasangan ini perlu memastikan bahwa setiap keputusan diambil bersama, dan bahwa rasa saling menghormati selalu menjadi fondasi dari hubungan itu sendiri.

Fenomena Man Marry Down di Indonesia
Fenomena man marry down di Indonesia mulai menampakkan dinamika sosial yang menarik untuk diamati. Di tengah masyarakat yang masih diwarnai nilai-nilai patriarki, perubahan cara pandang terhadap pernikahan mulai bergerak ke arah yang lebih progresif, terutama di kalangan generasi muda perkotaan.

Kamu mungkin juga pernah melihatnya secara langsung, seorang pria dengan karier mapan yang memilih pasangan dari latar belakang ekonomi atau pendidikan yang lebih sederhana. Jika dulu situasi seperti ini dianggap turun atau menyalahi norma sosial, kini pandangan tersebut perlahan mulai bergeser. Banyak orang, khususnya generasi muda, mulai melihat pernikahan bukan lagi sebagai bentuk pencapaian status, tapi sebagai kemitraan yang dibangun atas dasar kecocokan, kepercayaan, dan nilai yang sejalan.

Dikutip dari penelitian Men’s Marriage Trends in Asia: Changes and Continuities oleh Gavin Jones dan Xiaorong Gu (2024), tren pernikahan di berbagai negara Asia memang menunjukkan pola yang serupa. Studi tersebut menjelaskan bahwa meningkatnya tingkat pendidikan perempuan, pesatnya urbanisasi, serta perubahan struktur ekonomi turut menggeser persepsi pria terhadap pernikahan.

Banyak pria kini menunda pernikahan, bahkan lebih selektif dalam memilih pasangan, bukan berdasarkan status sosial, melainkan pada nilai-nilai personal seperti dukungan emosional, kemampuan komunikasi, dan visi hidup yang sejalan. Temuan ini juga menegaskan bahwa semakin banyak pria di Asia mulai menerima hubungan yang tidak lagi didasarkan pada hierarki tradisional, melainkan pada kesetaraan dan saling menghargai.

Kondisi ini juga tercermin di kota-kota besar Indonesia seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, dan Bali. Generasi muda profesional di wilayah urban cenderung lebih terbuka terhadap hubungan lintas kelas sosial. Mereka menilai pasangan bukan dari gelar atau latar belakang keluarga, tetapi dari karakter, cara berpikir, dan kemampuan untuk tumbuh bersama.

Kamu mungkin juga bisa merasakannya, banyak pasangan muda yang kini berani menantang pandangan konservatif keluarga demi mempertahankan hubungan yang sehat dan setara. Di kalangan ini, pernikahan lebih dipahami sebagai bentuk kolaborasi dua individu yang saling mendukung, bukan sebagai institusi yang menempatkan salah satu pihak lebih tinggi dari yang lain.

Media sosial memainkan peran besar dalam membentuk persepsi baru ini. Banyak pasangan membagikan kisah cinta mereka lintas kelas dengan jujur dan terbuka, tanpa merasa perlu menyembunyikan perbedaan latar belakang. Cerita-cerita seperti ini membantu menormalisasi hubungan yang lebih egaliter dan membuat banyak orang merasa bahwa mereka tidak sendirian menghadapi stigma sosial.

Namun, kamu juga tahu, media sosial selalu punya dua sisi. Di balik dukungan, ada pula komentar sinis dan penilaian negatif yang kadang datang tanpa empati. Pasangan lintas kelas masih kerap menjadi sasaran cibiran, seolah-olah perbedaan status masih dianggap halangan dalam membangun rumah tangga.

Pada akhirnya, fenomena man marry down di Indonesia menunjukkan bahwa masyarakat sedang berada di masa transisi nilai. Generasi baru mulai mendefinisikan ulang makna pernikahan, bukan lagi soal siapa yang lebih tinggi secara sosial atau ekonomi, tetapi tentang kemampuan untuk membangun hubungan yang seimbang dan saling menghargai. 


* Penulis adalah kontributor di Validnews.id 


Referensi:

  1. Socioeconomic Status and Intimate Relationships (2021) 
  2. Educational Assortative Mating and the Decline of Hypergamy in 27 European Countries: An Examination of Trends Through Cohorts (2020) 
  3. Bachelors Without Bachelor's: Gender Gaps in Education and Declining Marriage Rates (2025) 
  4. Men’s Marriage Trends in Asia: Changes and Continuities (2023) 

KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar