17 November 2025
14:00 WIB
Mengenal Nature-Based Solutions Dan Dampaknya Bagi Lingkungan Indonesia
Di tengah keseimbangan ekosistem, hadir konsep nature-based solutions. Pendekatan ini berfokus pada bagaimana kita bisa memanfaatkan fungsi ekosistem untuk mengatasi berbagai persoalan lingkungan.
Penulis: Oktarina Paramitha Sandy
Editor: Rikando Somba
Ilustrasi bangunan gedung dengan beberapa tanaman hijau, aplikasi konsep natural-based solutions. Shutterstock/artem evdokimov.
Banjir di Jakarta yang datang hampir setiap tahun; kekeringan panjang di Nusa Tenggara Timur; hingga kebakaran hutan di Kalimantan yang terus berulang, membuat kita bertanya, apa dampaknya ke alam sekitar dan sebab-musababnya dengan perubahan iklim?
Semua bencana alam itu bukan sekadar peristiwa alam biasa. Fenomena-fenomena ini menunjukkan bahwa keseimbangan ekosistem kita sedang terganggu.
Indonesia, dengan posisi geografisnya yang berada di antara dua samudra dan dua benua, memang dikaruniai sumber daya alam yang luar biasa melimpah. Namun, di sisi lain, posisi ini juga menjadikan kita salah satu negara yang paling rentan terhadap dampak perubahan iklim global.
Di tengah situasi yang semakin mendesak ini, mulai muncul satu pendekatan yang dinilai mampu menjawab tantangan tersebut; nature-based solutions di Indonesia, atau solusi berbasis alam. Pendekatan ini berangkat dari pemikiran sederhana bahwa alam sebenarnya sudah menyediakan mekanisme alami untuk menjaga keseimbangannya sendiri. Tugas kita adalah memahami, memperkuat, dan memanfaatkannya secara bijak, bukan justru melawan atau mengabaikannya.
Selama ini, solusi untuk mengatasi krisis lingkungan sering kali dikaitkan dengan teknologi tinggi dan biaya besar. Namun, nature-based solutions justru menawarkan cara yang lebih alami, berkelanjutan, dan hemat biaya. Pendekatan ini berfokus pada bagaimana kita bisa memanfaatkan fungsi ekosistem, seperti hutan, mangrove, dan lahan basah, untuk mengatasi berbagai persoalan lingkungan. Dengan menjaga dan memulihkan ekosistem tersebut, kita tidak hanya melindungi alam, tapi juga melindungi kehidupan manusia yang bergantung padanya.
Kita semua pasti paham, Indonesia memiliki potensi yang sangat besar, khususnya yang berkaitan dengan kekayaan sumber daya alam. Mulai dari hutan tropis di Kalimantan dan Sumatra, hingga kawasan mangrove di pesisir utara Jawa dan Papua, semuanya punya peran penting.
Hutan berfungsi sebagai penyerap karbon alami, mangrove melindungi pesisir dari abrasi dan tsunami, sementara lahan gambut menjaga ketersediaan air sekaligus menyimpan cadangan karbon dalam jumlah besar. Indonesia juga dikenal sebagai salah satu negara dengan keanekaragaman hayati tertinggi di dunia, yang berarti kita punya peluang besar untuk menerapkan konsep nature-based solutions secara luas dan efektif.
Namun, tantangan utama bukan terletak pada kurangnya sumber daya, melainkan pada bagaimana kita mengelolanya. Alam sudah bekerja dengan sistemnya sendiri selama jutaan tahun, tapi aktivitas manusia sering kali mempercepat kerusakan tanpa disadari.
Oleh karena itu, konsep nature-based solutions menekankan pentingnya keseimbangan antara kebutuhan manusia dan kelestarian alam. Prinsip dasarnya sederhana, bukan hanya memanfaatkan, tapi juga memulihkan dan menjaga agar alam bisa terus memberikan manfaat bagi generasi mendatang.
Berdasarkan penelitian berjudul Natural climate solutions in Indonesia: Wetlands are the key to achieve Indonesia’s national climate commitment (2022) dijelaskan soal ekosistem lahan basah seperti mangrove, rawa, dan gambut yang berperan besar dalam menyerap emisi karbon. Penelitian tersebut juga menegaskan bahwa pelestarian dan pemulihan lahan basah dapat menjadi kunci bagi Indonesia untuk mencapai target iklim nasionalnya.
Dengan kata lain, menjaga alam bukan hanya tindakan moral, tapi juga langkah strategis untuk menghadapi krisis iklim global.
Apa Itu Nature-Based Solutions (NbS)?
Secara sederhana, NbS adalah pendekatan yang memanfaatkan kekuatan dan fungsi alami ekosistem untuk mengatasi berbagai tantangan sosial dan lingkungan, mulai dari perubahan iklim, bencana alam, hingga masalah pangan dan kesehatan. NbS mencakup berbagai tindakan yang bertujuan melindungi, mengelola secara berkelanjutan, dan memulihkan ekosistem alami maupun yang sudah dimodifikasi. Bisa dikatakan, NbS bukan hanya menjaga alam tetap lestari, tapi juga memastikan manusia mendapat manfaat langsung darinya.
Nbs sendiri harus bisa memberikan manfaat ganda bagi manusia dan juga alam, melalui cara-cara yang mempertahankan keseimbangan ekosistem. Jadi, bukan sekadar menanam pohon untuk menebus emisi, tapi memastikan pohon itu tumbuh di tempat yang tepat, mendukung keanekaragaman hayati, dan memberi manfaat bagi masyarakat sekitar.
Kalau dibandingkan dengan solusi teknologi murni, NbS jelas punya karakter berbeda. Teknologi sering kali menciptakan solusi buatan, seperti membangun tanggul beton untuk mencegah abrasi atau membuat sistem drainase besar untuk mengendalikan banjir. Tapi, NbS mengandalkan sistem alami yang sudah terbukti efektif selama ribuan tahun. Misalnya, daripada membangun tembok laut, menanam mangrove bisa jadi pilihan yang lebih bijak. Akar mangrove memperkuat struktur tanah, meredam gelombang, dan sekaligus menjadi rumah bagi ribuan biota laut.
Pendekatan ini bukan sekadar teori. Di berbagai negara, NbS sudah terbukti berhasil. Di Belanda misalnya, mereka menerapkan program Room for the River, membiarkan sebagian wilayah sungai meluap secara terkontrol agar banjir besar tidak merusak permukiman. Di Kosta Rika, kebijakan restorasi hutan yang dimulai sejak 1980-an berhasil meningkatkan tutupan hutan dari sekitar 20% menjadi lebih dari 50% dalam beberapa dekade. Kedua contoh ini menunjukkan bahwa ketika manusia memberi ruang bagi alam untuk bekerja, hasilnya justru jauh lebih berkelanjutan.
Di Indonesia, potensi besar ini jelas terbuka. Dari hutan hujan tropis di Kalimantan dan Sumatra, hingga mangrove lebat di pesisir utara Jawa dan Papua. Semuanya punya fungsi penting, yakmi menyerap karbon, menahan abrasi pantai, menjaga ketersediaan air tanah, hingga menopang kehidupan masyarakat pesisir. Dengan keanekaragaman hayati yang kita miliki, konsep nature-based solutions di Indonesia menjadi tidak sekadar opsi, melainkan keharusan untuk menjaga masa depan kita.
Sebagai contoh, dikutip dari penelitian Potential of seagrass habitat restorations as nature‑based solutions: Practical and scientific implications in Indonesia (2022), disebutkan bahwa restorasi lamun (seagrass) di Indonesia memiliki potensi besar sebagai NbS karena tidak hanya meningkatkan penyimpanan karbon biru (blue carbon) tetapi juga memperkuat daya tahan ekosistem pesisir terhadap perubahan iklim. Penelitian tersebut menjadi bukti nyata bahwa solusi berbasis alam bisa masuk dalam ranah ilmiah dan aplikatif.
Pendekatan berbasis alam seperti restorasi lamun mampu menjembatani antara ilmu pengetahuan dan kebijakan publik. Artinya, hasil penelitian semacam ini bukan hanya berhenti di laboratorium, tapi bisa langsung diterapkan dalam kebijakan konservasi laut dan mitigasi perubahan iklim. Inilah bukti nyata bahwa nature-based solutions bukan konsep abstrak, melainkan langkah konkret yang bisa membawa perubahan nyata bagi lingkungan dan masyarakat.
Namun, tantangannya bukan soal kurangnya sumber daya, melainkan bagaimana kita merawat dan mengelola aset tersebut dengan benar. Alam telah bekerja secara optimum selama jutaan tahun, sementara tindakan manusia sering mempercepat kerusakan tanpa disadari. Maka dari itu, pendekatan NbS menekankan keseimbangan: bukan sekadar memanfaatkan, tetapi juga memulihkan dan menjaga agar kita bisa terus memperoleh manfaat dari alam, tanpa merusaknya.
Mengapa Nature-Based Solutions Penting bagi Indonesia
Kalau kamu melihat perkembangan iklim di Indonesia beberapa tahun terakhir, kamu pasti menyadari bahwa kondisi lingkungan kita semakin rentan. Hujan yang datang tiba-tiba bisa berubah menjadi banjir besar dalam hitungan jam, sementara kemarau panjang menyebabkan kekeringan yang membuat produktivitas pertanian turun drastis. Belum lagi persoalan deforestasi, abrasi pesisir, serta kebakaran hutan yang setiap tahun membayangi berbagai daerah. Situasi ini menunjukkan bahwa Indonesia membutuhkan pendekatan yang tidak hanya cepat, tetapi juga menyentuh akar masalahnya.
Di sinilah nature-based solutions (NbS) mengambil peran penting. Pendekatan ini menawarkan konsep yang lebih masuk akal bagi negara kepulauan seperti Indonesia: bekerja bersama proses alami, bukan melawannya.
Ekosistem Indonesia sebenarnya sudah memiliki mekanisme pertahanan yang sangat kuat. Seperti misalnya mangrove yang mampu memecah gelombang, hutan yang menjaga keseimbangan hidrologis, dan lahan basah yang menampung limpasan air berlebih saat musim hujan. Ketika ekosistem-ekosistem ini dipulihkan atau diperkuat, kemampuan mereka untuk melindungi masyarakat pun meningkat secara signifikan.
Manfaat NbS juga tampak lebih nyata ketika kamu melihat dampak sosial dan ekonomi yang mengikuti penerapannya. Restorasi mangrove misalnya, tidak hanya meredam abrasi, tetapi juga menghidupkan kembali sumber penghidupan masyarakat pesisir melalui peningkatan hasil perikanan. Sementara itu, rehabilitasi hutan di wilayah hulu dapat memperbaiki kualitas air, menurunkan risiko longsor, dan menciptakan ruang tumbuh bagi keanekaragaman hayati. Jadi, NbS bukan hanya soal lingkungan, tetapi juga soal kualitas hidup masyarakat sehari-hari.
Dari sisi biaya, pendekatan berbasis alam jauh lebih efisien. Untuk perlindungan pantai, restorasi mangrove dapat memangkas pengeluaran hingga setengah dari biaya pembangunan infrastruktur keras seperti tembok laut. Sementara itu, kapasitas penyimpanan karbon dari hutan dan ekosistem pesisir membantu Indonesia mengejar target penurunan emisi tanpa beban investasi teknologi yang terlalu besar.
Bahkan, berdasarkan penelitian berjudul Scaling Nature-Based Solutions (NbS): Lessons from Global Progress and Indonesia’s Path to Sustainability, implementasi NbS bukan hanya menawarkan pendekatan yang ramah lingkungan, tetapi juga memiliki kontribusi nyata terhadap pencapaian target Net Zero Emission Indonesia. Upaya restorasi ekosistem, mulai dari hutan, pesisir, hingga lahan basah—akan memberikan dampak yang jauh lebih besar ketika dikelola dengan pendekatan berbasis komunitas, di mana masyarakat lokal tidak hanya menjadi penerima manfaat, tetapi juga pengelola dan penjaga ekosistem itu sendiri.
Penelitian tersebut memberikan gambaran bahwa model NbS yang melibatkan masyarakat justru lebih berhasil bertahan dalam jangka panjang. Misalnya, kelompok masyarakat pesisir yang terlibat langsung dalam penanaman mangrove menunjukkan tingkat keberhasilan restorasi yang lebih tinggi karena mereka memahami pola pasang surut, kondisi tanah, hingga spesies mangrove yang paling cocok untuk ditanam. Pendekatan semacam ini membuka peluang bagi NbS untuk menjadi lebih dari sekadar program sementara; ia bisa berubah menjadi gerakan kolektif yang melekat pada kehidupan sehari-hari.
Namun, masih ada permasalahan struktural yang masih menghalangi percepatan NbS di Indonesia. Salah satu tantangan terbesar adalah koordinasi antarlembaga yang belum berjalan optimal.
Tantangan lainnya adalah keterbatasan kapasitas teknis di tingkat daerah. Banyak daerah yang sudah memiliki semangat untuk menerapkan NbS, tetapi tidak memiliki cukup pengetahuan teknis mengenai restorasi ekosistem, pemantauan karbon, atau integrasi NbS dalam perencanaan tata ruang. Akibatnya, meskipun potensi NbS besar, pelaksanaannya belum bisa mencapai skala yang dibutuhkan untuk memberikan dampak nasional.
Pada akhirnya, alasan mengapa NbS penting tidak berhenti pada fakta bahwa ini adalah tren global. NbS menjadi relevan karena ia selaras dengan identitas ekologis Indonesia sebagai negara megadiverse. Ketika kamu menerapkan NbS dengan serius, kamu sebenarnya sedang menyiapkan fondasi masa depan yang lebih aman dari bencana, lingkungan yang lebih sehat, dan masyarakat yang lebih siap menghadapi perubahan iklim.
Singkatnya, keberhasilan Indonesia menjaga alamnya hari ini akan menentukan kualitas hidup generasi mendatang, dan NbS adalah jembatan yang membantu kita sampai ke sana.
Berdasarkan penelitian berjudul Scaling Nature-Based Solutions (NbS): Lessons from Global Progress and Indonesia’s Path to Sustainability (2025), negara-negara Asia Tenggara termasuk Indonesia masih bergulat dengan hambatan struktural berupa lemahnya tata kelola, kurangnya pendanaan, dan minimnya integrasi kebijakan lintas sektor. Temuan tersebut memberikan gambaran bahwa pipeline NbS di Indonesia membutuhkan fondasi kelembagaan yang jauh lebih kuat agar hasilnya tidak berhenti di tahap pilot project saja. Berikut ini beberapa kendala yang dihadapi Indonesia:
1. Pendanaan Jangka Panjang dan Koordinasi Antar-Sektor yang Masih Lemah
Kamu perlu memahami bahwa sebagian besar proyek NbS memerlukan investasi jangka panjang. Restorasi mangrove misalnya, bisa membutuhkan waktu lebih dari satu dekade sampai ekosistemnya kembali stabil. Tetapi realitanya, pendanaan publik maupun swasta untuk NbS masih terbatas. Belum banyak instrumen pembiayaan yang dirancang khusus untuk memastikan kesinambungan proyek. Mulai dari tahap perencanaan, rehabilitasi, hingga pemeliharaan di lapangan.
Selain itu, koordinasi lintas sektor kerap menjadi masalah krusial. Di level pusat saja, kebijakan kehutanan, tata ruang, dan perikanan masih berjalan dengan ritme masing-masing. Ketika turun ke level daerah, koordinasinya semakin renggang. Alhasil, banyak proyek NbS berkembang secara terpisah, tumpang tindih, atau bahkan berbenturan dengan proyek pembangunan lain. Ketidaksinkronan seperti ini sering mengurangi efektivitas NbS dan memicu pemborosan anggaran.
2. Kesadaran Masyarakat dan Dunia Usaha yang Masih Rendah
Sebagian besar masyarakat dan pelaku usaha masih memandang solusi berbasis alam sebagai pendekatan yang “kurang modern”. Di sisi lain, banyak dari mereka lebih tertarik pada teknologi tinggi yang terlihat canggih dan instan. Padahal, NbS yang dilakukan secara tepat bisa memberikan dampak yang jauh lebih luas, mulai dari perlindungan pesisir, penyerapan karbon, hingga peningkatan ekonomi lokal.
Kurangnya pemahaman ini memicu rendahnya dukungan dari pihak yang sebenarnya memiliki kapasitas besar, terutama sektor swasta. Tanpa partisipasi aktif dunia usaha, akan sulit untuk memperluas skala implementasi NbS ke wilayah yang lebih luas atau area yang membutuhkan investasi besar. Padahal, pelaku bisnis bisa punya peran penting sebagai investor, kolaborator, maupun penggerak inovasi.
3. Keterbatasan Data Ilmiah dan Kebijakan yang Belum Terintegrasi
Walaupun wacana NbS makin populer, data ilmiah lokal yang menjelaskan efektivitas setiap jenis NbS di Indonesia masih terbatas. Misalnya, seberapa besar kontribusi hutan kota dalam menurunkan suhu mikro, atau berapa persen lahan basah yang perlu direstorasi untuk meredam banjir di wilayah tertentu. Kekurangan data seperti ini membuat kebijakan atau rencana pembangunan sulit mengambil keputusan yang benar-benar berbasis bukti.
Di sisi kebijakan, pemerintah pusat dan daerah belum sepenuhnya memiliki visi yang sama. Rencana tata ruang daerah misalnya, tidak selalu mengakomodasi kebutuhan restorasi ekosistem. Bahkan, di beberapa daerah, kawasan yang seharusnya direstorasi justru dialihfungsikan menjadi area pembangunan ekonomi. Ketidaksinkronan ini menghambat implementasi NbS secara sistematis dan menyulitkan pemantauan jangka panjang.
4. Perlunya Sinergi Nyata antara Pemerintah, Akademisi, Swasta, dan Komunitas Lokal
Kamu perlu melihat bahwa implementasi NbS tidak bisa dikerjakan satu pihak saja. Pemerintah punya peran kunci dalam menyiapkan kebijakan, memberikan kepastian pendanaan, dan membuka ruang kolaborasi. Akademisi harus terus menyediakan riset terkini serta menjadi rujukan ilmiah. Sektor swasta dibutuhkan sebagai penyandang dana dan pelaksana proyek. Sementara itu, masyarakat lokal adalah penggerak utama yang menentukan keberhasilan NbS di lapangan.
Tanpa sinergi ini, NbS hanya akan berhenti di atas kertas atau sekadar menjadi program jangka pendek yang tidak memberikan dampak ekologis maupun sosial yang nyata. Peran komunitas lokal khususnya sangat penting, karena mereka berada paling dekat dengan ekosistem yang direstorasi dan paling memahami dinamika wilayahnya.
Dikutip dari penelitian berjudul Mainstreaming Nature-Based Solutions for Climate Adaptation in Southeast Asia: Policy Gaps and Future Opportunities (2024), menegaskan bahwa Indonesia memiliki posisi strategis untuk menjadi pemimpin implementasi NbS di kawasan Asia Tenggara. Alasannya cukup jelas: Indonesia punya bentang ekosistem yang jauh lebih beragam dibanding negara tetangga. Mulai dari hutan tropis yang luas, mangrove terbesar di dunia, hingga ekosistem gambut dan terumbu karang yang memegang peran penting dalam mitigasi iklim.
Penelitian tersebut menjelaskan bahwa jika ekosistem-ekosistem ini dikelola dengan pendekatan NbS secara serius, Indonesia bisa memperoleh manfaat berlapis. Salah satu temuan kuncinya menunjukkan bahwa integrasi NbS dalam tata ruang wilayah dapat mengurangi risiko bencana secara signifikan, terutama di daerah rawan banjir dan longsor. Dengan memasukkan koridor hijau, kawasan resapan, dan perlindungan daerah aliran sungai sebagai bagian dari perencanaan kota dan desa, kerentanan masyarakat terhadap cuaca ekstrem bisa ditekan hingga 30–40 persen.
Selain itu, penelitian ini juga mengingatkan bahwa sektor pesisir Indonesia menyimpan potensi adaptasi jangka panjang yang sangat besar. Penyelarasan NbS dalam kebijakan pesisir, seperti restorasi mangrove, perlindungan padang lamun, hingga rehabilitasi kawasan pesisir yang rusak, dinilai mampu memperkuat ketahanan ekosistem laut dari tekanan gelombang tinggi dan abrasi. Dengan catatan, pendekatan tersebut harus dilakukan secara terintegrasi—tidak bisa hanya bertumpu pada proyek penanaman semata, tetapi harus menyentuh aspek tata kelola, pengawasan, dan pemberdayaan masyarakat pesisir.
Sementara untuk ekosistem gambut, penelitian Rahman et al. memberikan gambaran yang lebih luas tentang potensi “penyelamatan iklim” yang bisa dicapai Indonesia. Restorasi gambut bukan hanya mengurangi emisi gas rumah kaca dalam jumlah besar, tetapi juga membuka peluang ekonomi melalui pengelolaan lahan berbasis masyarakat seperti budidaya paludikultur. Dengan kombinasi kebijakan yang tepat, sektor gambut bisa menjadi salah satu pusat inovasi NbS paling efektif yang dimiliki Indonesia.
Namun, penelitian itu juga tidak menutup mata terhadap tantangan fundamental. Penelitian ini menekankan bahwa keberhasilan NbS sangat bergantung pada kapasitas daerah, terutama dalam hal pengetahuan teknis, kualitas perencanaan, dan kemampuan mengelola program jangka panjang.
Banyak pemerintah daerah yang masih membutuhkan dukungan untuk memahami bagaimana NbS bisa diintegrasikan dalam rencana pembangunan mereka. Persoalan ini diperparah oleh kebijakan antar-sektor yang belum selaras, misalnya konflik kebijakan antara kehutanan, perikanan, dan tata ruang—yang sering membuat implementasi NbS tersendat di lapangan. Dengan temuan tersebut, masa depan NbS di Indonesia terlihat semakin jelas arahnya.
* Penulis adalah kontributor di Validnews.id
Referensi: