03 Juli 2024
18:45 WIB
Mengapa Kita Menguap?
Menguap tidak hanya sebagai tanda kantuk semata, tapi ini merupakan sebagai upaya alami tubuh menjaga keteraturan.
Penulis: Kevin Sihotang
Editor: Rikando Somba
Ilustrasi wanita menguap (yawning). Shutterstock/khosro
Setiap hari, ketika kita merasakan kantuk atau lelah, kita menguap atau dalam bahasa Inggrianya disebut yawning. Semua orang mengalaminya. Hewan pun melakukannya.
Menguap merupakan refleks yang tidak disengaja di mana mulut kita terbuka lebar dan paru-paru menghirup banyak udara. Kemudian udara tersebut dihembuskan secara perlahan. Saat menguap, gendang telinga merenggang dan mata bisa tertutup sehingga menyebabkannya berair.
Meski terlihat biasa dan normal, terdapat sejumlah teori kesehatan seputar menguap.
Melansir laman Medical News Today, menguap dikatakan sebagai upaya alami tubuh untuk mendinginkan otak. Ketika menguap, otot leher dan rahang akan meregang sehingga meningkatkan aliran darah ke bagian leher dan wajah. Ini juga sekaligus dapat meningkatkan suplai oksigen untuk otak.
Kemudian, tarikan napas yang besar dan detak jantung yang cepat akibat menguap juga menyebabkan darah dan cairan tulang belakang (spinal fl6z uid) mengalir ke seluruh tubuh lebih cepat.
Selain karena merasa kantuk dan lelah, menguap juga merupakan tanda seseorang merasa bosan. Melansir Healthline, ketika kita bosan, otak tidak merasa cukup distimulasi dan kinerjanya melamban.
Secara natural kita akan menguap untuk kembali meningkatkan kinerja otak. Hal ini bisa kita lihat ketika ada dua orang atau lebih sedang berbincang, kemudian salah satunya seringkali menguap, bisa jadi orang tersebut merasa bosan selama perbincangan itu berlangsung.
Teori menarik lainnya mengatakan bahwa menguap itu sesuatu yang menular. Sebuah studi yang diunggah ke PLOS ONE, sebuah situs berisikan kumpulan jurnal sains dan kesehatan, mengungkapkan bahwa seseorang yang melihat orang lain menguap, dapat “ketularan” menguap juga. Hal ini terkait dengan korelasi antara kecerdasan, waktu, dan rasa empati.
Sebuah studi lain tercantum dalam jurnal Personality and Individual Differences menemukan hal serupa. Setelah dilakukan percobaan terhadap 135 mahasiswa di Baylor University (Amerika Serikat), disimpulkan bahwa semakin rendah rasa empati yang dimiliki seorang mahasiswa, ia tidak akan tertular ketika sedang melihat mahasiswa lain menguap. Dan, sebaliknya, mahasiswa yang punya empati tinggi, akan ikut menguap setelah menyaksikan orang lain menguap.
Meski secara umum, menguap bukanlah sesuatu yang berbahaya. Intensitas menguap yang berlebihan (lebih dari sepuluh kali dalam sehari), menandakan adanya indikasi yang perlu diwaspadai.
Melansir laman Kementerian Kesehatan, beberapa indikasi menguap berlebih di antaranya adalah kurang tidur, gangguan tidur (seperti sleep apnea atau narkolepsi), efek samping obat-obatan (utamanya obat antidepresan), gangguan kesehatan jantung (menyebabkan gampang kelelahan), stroke (terjadi akibat rusaknya sel-sel otak yang membuat otak kekurangan oksigen), hingga multiple sclerosis atau masalah kronis yang menyerang sistem saraf pusat (otak dan sumsum tulang belakang).
Referensi:
Healthline. (2020). Facts About Yawning: Why We Do It, How to Stop, and More. Diakses dari: https://www.healthline.com/health/why-do-we-yawn#The-theories-of-yawning
Kementerian Kesehatan. (2023). Lebih Sering Menguap? Ini 7 Hal yang Bisa Jadi Penyebabnya. Diakses dari: https://yankes.kemkes.go.id/view_artikel/2228/lebih-sering-menguap-ini-7-hal-yang-bisa-jadi-penyebabnya
|Medical News Today. (2023). Why we yawn and what it means. Diakses dari: https://www.medicalnewstoday.com/articles/318414
Musc Health. (2023). Yawning: Why & What Could It Mean?. Diakses dari: https://muschealth.org/medical-services/geriatrics-and-aging/healthy-aging/yawning