18 Desember 2024
15:00 WIB
Kisah Lobster: Dari Menu Si Miskin Hingga Hidangan Mewah
"Roda berputar", begitulah kiasan yang menggambarkan kisah lobster dan menu makanan yang identik dengan harga mahal dan hidangan mewah restoran kelas elit itu.
Penulis: Bayu Fajar Wirawan
Editor: Rikando Somba
Ilustrasi lobster disajikan sebagai sebagai makanan mewah. Shutterstock/foodky
Apakah Anda tahu tentang lobster? Saya yakin Anda pasti mengetahuinya. Krustasea laut yang terkenal dengan tubuhnya yang keras ini adalah salah satu bahan makanan laut yang paling dihargai di dunia kuliner saat ini. Namun, tahukah Anda bahwa dahulu lobster adalah makanan orang miskin, hanya dianggap layak untuk dijadikan pupuk atau makanan penjara?
Seiring berjalannya waktu, cerita itu berubah. Kini, lobster telah naik kelas menjadi hidangan mewah yang menghiasi meja-meja restoran bintang lima di seluruh dunia, menjadi simbol kemewahan dan status sosial tinggi. Sesuatu yang dulu dipandang rendah kini dihargai setinggi-tingginya, menunjukkan bahwa bahkan yang tampaknya paling biasa pun bisa mencapai puncak keistimewaan dengan sedikit perubahan pandangan dan kondisi.
Lantas, bagaimana kisah perjalanan lobster tersebut?
Sebagai Makanan Orang Tak Mampu
Pada abad ke-17 dan ke-18, perairan pesisir Amerika Utara, terutama New England, melimpah dengan lobster. Saking melimpahnya, lobster sering kali digunakan sebagai pupuk atau umpan ikan. Setelah badai, lobster bisa dikumpulkan dalam jumlah besar dan sering diumpankan kepada para tahanan, pekerja kelas bawah, dan orang miskin.
Para pelayan dan pekerja di masa itu bahkan kerap mengeluh harus makan lobster terlalu sering. Hingga dalam kontrak kerja disebutkan bahwa pekerja tidak boleh diberi makan lobster lebih dari dua atau tiga kali seminggu. Lobster juga sering dianggap sebagai makanan orang tak mampu dan makanan penjara.
Di Massachusetts pada abad ke-18, para tahanan sering kali diberi makan lobster karena harganya yang murah dan ketersediaannya yang melimpah. Hal ini memberikan lobster reputasi sebagai makanan yang kurang dihargai, menempatkannya di meja makan mereka yang paling tidak beruntung.
Sebelum era lemari pendingin makanan digunakan, lobster sulit dikirim ke daerah-daerah jauh dari pesisir. Namun, ketika teknologi pengawetan makanan seperti kalengan mulai berkembang pada akhir abad ke-19, lobster kalengan menjadi makanan yang umum bagi kelas pekerja di kota-kota industri. Ini membuka jalan bagi lobster untuk bertransformasi dari makanan orang miskin menjadi produk yang lebih luas jangkauannya.
Perubahan Status Lobster
Dengan kemajuan teknologi transportasi pada abad ke-19, nasib lobster mulai mengalami perubahan yang signifikan. Pengembangan transportasi kereta api dan teknologi pendingin memungkinkan lobster segar dikirim ke pasar-pasar yang lebih jauh, termasuk kota-kota besar seperti New York dan Chicago.
Kondisi ini membuka pasar baru bagi lobster dan mulai mengubah persepsi masyarakat terhadap makanan ini. Lobster yang tadinya hanya menjadi makanan orang tak mampu mulai menarik perhatian kalangan yang lebih luas.
Pada awal abad ke-20, restoran-restoran mewah di kota-kota besar mulai menyajikan lobster sebagai hidangan eksklusif. Popularitas di kalangan elit sosial ini mengangkat reputasi lobster dari makanan orang miskin menjadi makanan yang mewah dan bergengsi.
Hidangan lobster yang diolah dengan elegan dan dipresentasikan dengan mewah menjadi favorit di meja-meja restoran bintang lima, mulai dari lobster bisque yang creamy hingga lobster thermidor yang dipanggang dengan keju dan saus bechamel. Lobster roll, hidangan yang sederhana namun elegan, juga menjadi favorit di berbagai belahan dunia. Hal tersebut memantapkan posisi lobster sebagai simbol kemewahan dan status sosial tinggi.
Seiring meningkatnya permintaan dari kalangan elite, harga lobster pun mulai melonjak. Populasi lobster yang mulai menurun akibat penangkapan yang berlebihan juga berkontribusi pada kenaikan harga, menjadikan lobster semakin langka dan berharga. Transformasi ini menjadikan lobster sebagai salah satu makanan paling diidamkan, dari makanan sehari-hari kaum papa menjadi hidangan istimewa yang disajikan dalam setting yang mewah.
Transformasi ini bukan hanya tentang pergeseran pasar, tetapi juga tentang perubahan cara masyarakat menilai dan menghargai sesuatu. Perjalanan lobster dari makanan orang miskin menjadi hidangan mewah adalah pengingat bahwa persepsi terhadap makanan bisa berubah seiring waktu, kondisi sosial, dan ekonomi.
Seperti roda yang terus berputar, begitu pula kisah perjalanan lobster. Sesuatu yang dulu dianggap remeh bisa berubah menjadi sangat dihargai. Sejarah menunjukkan bahwa bahkan hal-hal paling sederhana pun bisa mencapai puncak kemewahan, asalkan ada yang mampu melihat potensi keindahan dan kelezatannya.
Referensi:
https://gizmodo.com/lobsters-were-once-only-fed-to-poor-people-and-prisoner-1612356919aa
https://10best.usatoday.com/interests/food-culture/how-lobster-went-from-prison-trash-food-to-delicacy/
https://medium.com/lessons-from-history/when-lobsters-were-poverty-food-2a115e0694f0
https://spoonuniversity.com/school/nyu/how-lobster-went-from-prison-food-to-an-expensive-delicacy/